Wednesday, March 30, 2011

Bagaimana Mutu Layanan Kesehatan dalam Universal Coverage ?

Bagaimana Mutu Layanan Kesehatan dalam Universal Coverage ?
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi *

Dalam menyongsong situasi Universal Coverage (UC) pada 2014, peta Jalan (roadmap) menuju Jaminan Kesehatan Semesta (Jamkesta) telah disusun. Untuk itu sangat dibutuhkan persiapan-persiapan sejak jauh hari apa-apa yang menjadi titik kritis saat semua orang terjamin dalam sebuah Jamkesta. Belajar dari daerah yang sudah menerapkan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dimana pada daerah tersebut semua fasilitas kesehatan yang ada selalu tidak pernah sepi dari pengunjung, maka kemungkinan besar dalam situasi UC tersebut, akan tumbuh secara hampir bersamaan fasilitas kesehatan dalam jumlah sangat banyak.
Fasilitas kesehatan yang akan muncul nantinya baik berupa puskesmas, RS pemerintah, RS swasta maupun setingkat Balai Pengobatan dan Klinik Praktik Swasta perlu untuk diantisipasi mutu layanannya sebagai sebuah titik kritis berikutnya setelah akses dapat terpenuhi.

Situasi Sekarang
Karena dalam situasi seperti sekarang saja dimana fasilitas kesehatan yang ada belum memenuhi harapan pelanggan yang ada. Seperti gambaran pelayanan kesehatan di RS yang melayani warga miskin yang mengemuka pada sebuah diskusi publik oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) di Jakarta, awal tahun 2010, yang bertajuk, “Menggugat Pelayanan RS Terhadap Pasien Miskin” yang datanya bersumber dari laporan berbasis warga (citizen report card) memperlihatkan bahwa sebagian besar pasien miskin yang datang ke rumah sakit (74,9%) mengeluhkan pelayanan rumah sakit, sedangkan sisanya menyatakan tidak ada keluhan.
Lain si miskin, lain lagi dengan si kaya. Gambaran mutu layanan sedikit banyak dapat tercerminkan dari besarnya dana kesehatan masyarakat kaya, yang “terbang” ke luar negeri untuk sekadar check up maupun pengobatan penyakit yang sebenarnya dapat ditangani di dalam negeri. Dorongan untuk berobat ke luar ini tambah marak lewat tawaran iklan “wisata kesehatan” dengan berbagai kemudahan dan fasilitas di beberapa media cetak dan elektronik.
Wagub Jatim pada 27 September 2010 dalam sebuah acara mengungkapkan tentang larinya dana ke luar negeri sebesar Rp 2 trilyun hanya dari Jatim saja. Sebelumnya pada tahun 2009, Ketua Ikatan Dokter Indonesia pernah pula merilis bahwa pada saat itu ada 1 juta orang berobat ke luar negeri, yang dalam taksiran rupiah mencapai sekitar Rp 20 trilyun. Bayangkan bila dihitung dalam situasi sekarang dan dari seluruh penjuru negeri. Pastilah merupakan Jumlah yang sangat fantastis !
Bila saat ini, di mata si miskin dan si kaya, layanan kesehatan dianggap masih belum memuaskan maka situasi di saat akan bertambahnya jumlah fasilitas kesehatan baru pada UC nantinya maka mutu layanan kesehatan akan menjadi titik kritis baru yang sangat perlu perhatian. Ini menjadi sebuah situasi tanpa pilihan dimana Kemkes harus memfasilitasi regulasi fasilitas kesehatan tersebut. Sementara disadari sejak era otonomi daerah peran regulasi masalah mutu dari pusat sangatlah lemah, sehingga permasalahan yang terkait dengan mutu layanan kesehatan diserahkan pada kebijakan pemerintah daerah masing-masing. Kondisi ini, pada akhirnya akan memberi variasi antara satu daerah dengan daerah lain pada mutu layanan kesehatannya.
Program jaminan mutu yang pernah diperkenalkan pada puskesmas, dalam kenyataannya masih banyak kendala pelaksanaannya. Kurang jelasnya kebijakan dan dukungan, persiapan pada lingkungan yang tidak memadai, pelembagaan proses mutu yang kurang baik, monitoring evaluasi yang tidak memadai, serta kurangnya tindak lanjut mempunyai peranan yang besar dalam menghasilkan situasi mutu seperti terlihat saat ini.
Untuk itulah perlu diupayakan kebijakan mutu yang jelas. Yang tidak hanya memperlakukan sumber daya tenaga, dana serta infrastruktur secara terpisah-pisah tanpa terintegrasi dalam sebuah sistem manajemen. Karena jumlah tenaga medis maupun paramedic yang cukup jumlahnya saja tetapi tanpa dukungan alat-alat yang terstandar (kalibrasi) dengan baik tetap saja belum akan menghasilkan sebuah diagnose yang tepat, misalnya. Bayangkan alat pengukur tekanan darah (tensimeter) yang tidak pernah ditera ulang – seperti pada kebanyakan di puskesmas saat ini- akan menghasilkan tekanan darah yang membingungkan. Karena saat diperiksa dengan alat yang satu menunjukkan darah tinggi sedangkan pada alat yang lain justru sebaliknya rendah atau normal.
Dukungan untuk menjadikan sebuah layanan dasar (puskesmas) mencapai mutu yang baik masih setengah-setengah. Program yang pernah ada seperti quality assurance (QA) seringkali hanya dianggap sebagi sebuah “project”. Dan juga sistem remunerasi yang belum berjalan dengan baik menyebabkan petugas kesehatan merasa bahwa baik buruknya mutu layanan tidak akan berbanding lurus dengan pendapatannya.
Adanya anggapan bahwa puskesmas tidak memerlukan mutu dalam pelayanan kepada pelanggannya yang sebagian besar masyarakat miskin juga sedikit banyak berpengaruh kepada performance puskesmas. Istilah poor quality for poor people dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena toh pada kenyataannya si miskin tidak akan pernah protes pada apapun layanan yang ada. Sebuah situasi yang seolah-olah tanpa pilihan.

Bagaimana Menginisiasi Mutu?
Belajar dari daerah dengan kapasitas fiscal berbeda seperti Kabupaten Sleman di DIY, Kota Tarakan di Kaltim serta di DKI Jakarta yang gigih memperjuangkan mutu layanan kesehatannya di puskesmasnya yang sudah mengantongi sertifikat ISO 9001:2000 maupun ISO 9001:2008 dapat dipetik kesimpulan bahwa dalam masalah mutu tidak semata-mata tergantung pada besarnya anggaran yang tersedia, melainkan juga pada besarnya komitmen dari manajemen puncaknya. Dalam membangun mutu, sesungguhnya biaya mutu baik (cost of good quality) yang dikeluarkan dapat dianggap sebagai sebuah biaya produksi layanan kesehatan sehingga sudah seharusnya sebagai tanggungjawab dari penyandang dana dari fasilitas tersebut untuk mengalokasikannya.

Sesungguhnya mutu yang ada sekarang dalam pertentangan persepsi dua kutub. Di satu sisi bahwa mutu adalah sesuatu yang mahal, luks dan mewah. Sedangkan sisi yang lain sebaliknya mutu adalah murah bahkan bisa gratis. Menurut hemat penulis bahwa dalam perjalanan awal menuju mutu bisa jadinya jatuhnya mahal. Dalam kearifan suku Jawa ada “ Jer basuki mawa bea” yang berarti untuk menuju sesuatu yang baik butuh biaya. Dalam menyediakan peralatan sterilitas yang standar yang tentu saja mahal harganya. Juga jarum sekali pakai untuk pelayanan injeksi maupun kebutuhan sarung tangan yang cukup banyak. Tetapi tentu saja kesimpulan mahal atau murahnya menjadi sangat relatif bila pelayanan yang asal-asalan justru akan menyebabkan percepatan penyebaran penyakit HIV/AIDS maupun Hepatitis. Bayangkan berapa biaya untuk menanggulangi penyakit ini bila terjadi hanya karena kecerobohan petugas tidak mengganti sarung tangan dari satu pasien ke pasien lain, misalnya.
Sehingga istilah bahwa mutu murah bahkan menguntungkan adalah sesuatu yang benar adanya terutama dalam jangka panjang. Bahwa mutu akan mengurangi kemungkinan tuntutan adanya malpraktik maupun diagnosis yang membingungkan terkait pemakaian alat ukur seperti pada kasus tensimeter di atas. Tentu saja mutu akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pekerjaan.
Organisasi layanan kesehatan pada fasilitas kesehatan milik swasta maupun pemerintah sudah seharusnya menganggarkan minimal biaya pencegahan (prevention cost) dan sangat dianjurkan juga biaya penilaian (appraisal cost). Bila ini dapat terlaksana dengan baik, maka kegagalan beserta biaya yang menyertainya (failure cost) otomatis akan jauh berkurang.
Dalam situasi pembiayaan kesehatan yang mengalami peningkatan yang cukup tinggi, sesuai UU Kesehatan no 36 tahun 2009, maka sudah saatnya biaya mutu yang mendukung peningkatan pelayanan Puskesmas (cost of good quality) dapat dianggarkan pada masing-masing daerah dan menjadi sebuah tools dalam menginisiasi mutu untuk bersama- sama dengan faktor lain seperti komitmen manajemen puncak maupun dukungan stakeholder akan menjadikan mutu pelayanan kesehatan menjadi lebih baik. Semoga.
(Tri Astuti Sugiyatmi)

Mutu Layanan Kesehatan Kita Buruk ?

MUTU PELAYANAN KESEHATAN KITA BURUK ?
Miskin – Kaya : Belum Puas
Dalam bukunya “Mutu Pelayanan Kesehatan, Perspektif International” Al-Assaf menyatakan bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh pelayanan kesehatan pada banyak negara mencakup 3 hal yaitu sulitnya dalam mengakses layanan, masalah pembiayaan kesehatan dan buruknya mutu pelayanan kesehatan.
Di Indonesia, untuk dua permasalahan yang pertama secara relatif sudah teratasi. Sejak era otonomi daerah ini, misalnya seperti Kalimantan Timur permasalahan akses semakin membaik dengan bertambahnya jumlah puskesmas dan jaringannya (Trisnantoro, 2007). Sedangkan dalam pembiayaan kesehatan menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Hal ini ditandai dengan disahkannya Undang –Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang mempersyaratkan bahwa anggaran kesehatan harus mencapai 5% dari APBN di luar gaji dan 10% dari APBD di luar gaji. Lahirnya UU no 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) termasuk Jaminan Kesehatan di dalamnya sebenarnya juga sebuah reformasi pembiayaan kesehatan yang pengaruhnya sangat signifikan dalam menyelesaikan permasalahan akses pembiayaan kesehatan bagi seluruh masyarakat.
Namun sebaliknya isu tentang mutu pelayanan sampai sekarang masih menjadi hal yang cukup serius. Tidak hanya di negara kita, bahkan di negara maju sekalipun. Menurut Mukti (2007) kesalahan medis (medical error) di Amerika sebagaimana dilaporkan oleh The Institute of Medicine of The National Academy of Sciences pada sebuah jurnal, angka kematian disebutkan mencapai 44.000 sampai 98.000 akibat kesalahan medis setiap tahunnya. Bahkan Leape cit. Mukti (2001) menyebutkan perkiraan yang lebih besar yaitu mencapai 180.000 pasien meninggal setiap tahunnya karena medical error tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut, Murti (2006) mengemukakan bahwa salah satu isu dalam good governance di sektor kesehatan di era otonomi daerah yang belum sepenuhnya berhasil adalah manajemen lembaga pelayanan kesehatan yang belum berorientasi pada pengguna. Hal ini dibuktikan semakin banyaknya tuntutan masyarakat pada pelayanan kesehatan baik yang berkaitan dengan masalah medik maupun non medik yang mengemuka di media massa baik yang terjadi di rumah sakit, puskesmas bahkan praktik pribadi. Bahkan beberapa kasus keluhan kesehatan ada yang masuk dalam wilayah hukum.
Dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) di Jakarta pada awal tahun 2010 yang diberi tajuk “Menggugat pelayanan RS terhadap pasien miskin” yang datanya bersumber dari laporan yang berbasis warga (citizen report card) memperlihatkan data bahwa sebagian besar pasien miskin yang datang ke RS (74,9%) mengeluhkan pelayanan rumah sakit sedangkan sisanya (25,1%) menyatakan tidak ada keluhan.
Jenis keluhan yang mengemuka dalam diskusi tersebut juga sangat beragam antara lain berhubungan dengan berbelitnya layanan administrasi, ada juga yang berhubungan dengan masalah pelayanan dari tenaga kesehatan baik dokter, perawat dan tenaga lainnya serta keluhan tentang fasilitas dan sarana rumah sakit yang tidak nyaman seperti ruang tunggu dan kurang bersihnya WC / kamar mandi / toilet yang ada. Physical performance dan service performance sama-sama belum baik.
Lain cerita si miskin, lain juga si kaya. Gambaran mutu layanan dapat tercermin dari besarnya dana kesehatan masyarakat kaya -tentu saja- yang lari ke luar negeri untuk hanya sekedar check up maupun pengobatan penyakit yang sebenarnya dapat ditangani di dalam negeri. Hal ini juga dapat terlihat dari maraknya tawaran iklan “wisata kesehatan” dengan berbagai kemudahan dan fasilitas aduhai - nya yang bertebaran di media cetak maupun elektronik kita.
Informasi yang dilontarkan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur pada pertengahan tahun 2010 pada sebuah kesempatan terungkap tentang larinya dana ke luar negeri sebesar 2 T hanya dari Jatim saja. Informasi serupa sebelumnya juga pernah dirilis oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada 30 April 2009 bahwa pada saat itu sebanyak 1 juta orang sudah berobat di luar negeri yang jika ditaksir “hanya” menghabiskan sekitar 20 T saja. Sebuah jumlah yang sangat fantastis. Bandingkan dengan data sekarang yang 2T hanya dikeluarkan oleh Jawa Timur saja. Mungkin bila dihitung dengan baik dari seluruh Indonesia angka tersebut bisa jadi jauh meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Memang banyak sekali alasan dimana orang akan mencari alternatif pengobatan ke luar negeri. Di antara alasan tersebut yang terungkap mungkin terdapat hal-hal seperti : persoalan mutu layanan kesehatan dalam negeri yang masih perlu ditingkatkan walaupun tidak menafikkan juga ada terselip rasa bangga dan gengsi untuk dapat berobat di luar negeri.
Dari kasus pelayanan kesehatan yang masih minus dimata si Miskin dan juga masih kurang memuaskan bagi si Kaya, maka akan menimbulkan pertanyaan layanan kesehatan kita hanya “cocok” untuk kalangan yang mana? Kalangan menengah yang belum teridentifikasi? Memang tidak bisa semudah itu menyimpulkannya. Perlu pembuktian lebih lanjut juga. Namun satu hal yang menggelitik apakah bila ada kesempatan memilih apakah orang dari kalangan menengah ini akan memilih berobat di fasilitas yang ada ataukah di klinik swasta atau memilih sebuah asuransi kesehatan yang punya rujukan ke luar negeri?
Apalagi sampai sekarang menurut Menkes Endang Rahayu S, dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa 1.292 rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia baru 60 persen diantaranya yang terakreditasi ( Kompas, 28 Oktober 2009). Sedangkan untuk puskesmas dari sekitar 8.548 puskesmas, jumlah yang sudah melakukan penjaminan mutu, sistem manajemen mutu (SMM) ataupun pelayanan prima tidak ada data yang memadai.
Mutu Layanan Kesehatan : Belum Diperlukan?
Namun kondisi yang sudah sedemikian memprihatinkan tersebut tidak atau belumlah disadari oleh para pengambil kebijakan yang ada. Memang sudah ada gerakan Bulan Mutu Nasional yang dicanangkan oleh Wakil Presiden pada tanggal 9 November 2010 lalu. Namun menurut hemat penulis hal tersebut masih sangat tidak memadai. Jika ditilik dari pejabat yang hadir dimana hanya ada Menteri Perindustrian saja yang mengesankan mutu hanya dapat diterapkan pada sesuatu yang yang bersifat produk industri semata. Sedangkan mutu sebuah layanan publik, termasuk di dalamnya layanan penyediaan Bahan Bakar Gas Elpiji -yang sudah menelan banyak korban- sama sekali tidak disinggung. Apalagi layanan kesehatan yang dapat dikatakan selama ini dianggap tidak bermasalah.
Demikian juga iklan layanan masyarakat dari BSN (Badan Standarisasi Nasional) beberapa waktu yang lalu, yang sempat tayang di sejumlah stasiun TV nasional maupun internet yang isinya “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai standar nasional bangsanya” (www.detik.com) memang masih memerlukan sosialisasi sampai pada tingkat substansi, karena apa makna dari istilah standar dan Standar Nasional Indonesia (SNI) masih belum banyak dipahami.
Istilah standar sendiri adalah suatu tingkat mutu yang relevan terhadap sesuatu. Agar dapat disebut bermutu maka dalam standar dijelaskan tentang apa yg harus dicapai, tingkat yang harus dicapai, persyaratan yang harus dipenuhi. Istilah standar memang sangat erat kaitannya dengan istilah seperti mutu, keselamatan dan risiko. Sedangkan beberapa dimensi mutu seperti keterjangkauan (access), keamanan dan keselamatan (safety) produk dari risiko, kesesuaian dengan kebutuhan (appropriateness) adalah beberapa syarat produk/layanan jasa untuk dikatakan bermutu yang sebenarnya berujung pada kepuasan dari pelanggan, yaitu masyarakat.
Membicarakan masalah mutu pelayanan kesehatan memang memiliki banyak dimensi dan persepsi. Dalam mendefinisikan mutu, tidak ada yang dapat mencakup semuanya. Mutu akan berbeda jika dilihat dari sisi pasien sebagai penerima layanan, provider pemberi layanan dan pihak pembayar. Jika dilihat dari sisi penerima layanan bahwa apa – apa yang menyebabkan ketidakpuasan dianggap tidak bermutu. Kebiasaan injeksi tanpa indikasi yang sering diminta pasien justru sesuatu yang tidak dibenarkan menurut prosedur yang berlaku dari sisi provider. Pada sisi lain apa yang dianggap pelayanan terbaik untuk pasien menurut provider justru dapat dianggap sebuah tindakan inefisiensi bagi pihak pembayar.
Untuk masalah mutu juga seringkali hanya dihubungkan dengan ketersediaan sumberdaya baik tenaga maupun infrastruktur pendukungnya yang dimaknai secara terpisah-pisah. Padahal masalah mutu sebenarnya sangat terkait dengan manajemen pengelolaan semua sumberdaya tersebut. Sehingga penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) yang dianggap sebagian kalangan tidak berhubungan dengan pelayanan langsung kepada pasien sesungguhnya adalah sebuah upaya efektif dan justru menjadi hal yang niscaya.
Di sisi lain adanya kenyataan bahwa hampir semua program layanan kesehatan untuk orang miskin yang selalu melalui “pintu“ puskesmas seperti munculnya program Jaring Pengaman Sosial - Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang pada tahun berikutnya berlanjut walaupun dengan nama yang berbeda seperti Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM), Askeskin (2005 – 2007) dan Jamkesmas (2008 s/d sekarang) menjadikan adanya pola pikir pada sebagian kelompok bahwa pelayanan murah apalagi gratis seperti di puskesmas dianggap tidak memerlukan mutu yang baik. Mutu pelayanan yang seadanya pada puskesmas seolah menjadi dimaklumi karena dianggap begitulah ciri maupun konsekuensi sebuah pengobatan murah (Bastian, 2008).
Mutu tidak diperlukan bagi sesuatu yang sifatnya masal maupun untuk rakyat kebanyakan. Sehingga pihak manajemen merasa sayang jika untuk mendukung pelayanan yang baik harus mengeluarkan sejumlah biaya, karena menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang merugikan dan sia-sia. Istilah poor quality for poor people rasanya sudah dalam kondisi yang paling ideal. Toh tanpa mutu, pasien miskin tidak akan lari kemana-mana. Sebuah kondisi tanpa pilihan.
Sebenarnya konsep mutu sendiri adalah sebuah pencegahan. Dalam membangun mutu sebuah produk/jasa layanan adalah sesuatu yang dapat direncanakan. Diantisipasi. Dalam hal pekerjaan yang bermutu maka mencegah sesuatu produk barang atau jasa yang jelek sampai ke tangan pelanggan adalah mutlak adanya.
Akibat sulitnya mendefinisikan mutu layanan kesehatan menyebabkan sebagian orang berpendapat bahwa mutu tidak dapat terukur. Bila diukur saja dianggap tidak bisa, maka bagaimana mungkin akan diterapkan? Sebenarnya dalam hal ini biaya mutu (Cost of Quality) bisa juga dianggap sebagai salah satu tools dalam mengukur tingkat kematangan sebuah organisasi maupun tingkat komitmen top manajemen dalam sebuah perjalanan organisasi menuju mutu.
Permasalahan mutu dengan biaya mutunya memang menjadi fenomena yang sangat menarik. Di satu sisi biaya mutu didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk dapat meraih mutu yang baik (good quality). Di sisi lain, biaya mutu dianggap juga sekaligus untuk membiayai sebuah kegagalan yang diakibatkan oleh mutu yang buruk (poor quality). Yang sebenarnya terjadi adalah walaupun ada hubungan antara biaya mutu sebagai sebuah masukan (input) dengan mutu layanan sebagai keluaran (output), tetapi hubungan tersebut tidaklah bersifat paralel.
Untuk menghasilkan produk/ layanan jasa yang bermutu memang dibutuhkan sebuah biaya mutu baik (cost of good quality) yang berupa biaya pencegahan (prevention cost) yang bisa ditambahkan biaya pengawasan/penilaian (appraisal cost) dan pada saat yang sama akan menyebabkan biaya kegagalan (failure cost) akan menurun. Biaya kegagalan itu sendiri adalah sebagai manifestasi dari mutu yang buruk (cost of poor quality).
Dan inilah yang menyebabkan adanya dua kutub persepsi yang berlawanan tentang mutu. Pada pandangan tradisional dimana mutu identik dengan mahal, mewah dan luks menjadikan permasalahan mutu layanan kesehatan menurut golongan ini sebaiknya dibicarakan pada saat masalah akses dan pembiayaan sudah terselesaikan. Dalam kelompok ini masalah mutu hampir tidak pernah menjadi prioritas utama karena adanya keterbatasan anggaran kesehatan yang ada (Al-Assaf, 2009). Namun bila dalam mewacanakan kebutuhan mutu layanan kesehatan harus urut kacang seperti itu maka masalah mutu menjadi semakin jauh untuk dapat tercapai karena ternyata di negara mana pun, akses dan pembiayaan kesehatan tetap menjadi masalah sampai sekarang ini, di negara maju sekalipun.
Di lain pihak adanya pandangan modern tentang mutu yang sangat bertolak belakang dengan yang pertama. Philip Crosby, seorang pakar mutu menyatakan bahwa sebenarnya mutu itu murah bahkan bisa menjadi gratis. Dengan mengeluarkan biaya untuk melakukan perencanaan, koordinasi dan pengawasan semestinya kemungkinan terjadinya keadaan kegagalan yang tidak diharapkan sudah dapat diantisipasi sejak awal. Bila proses itu dapat dilampaui dengan baik maka masalah seperti ini sudah dapat dipetakan jauh-jauh hari dan tentu saja biaya akibat kegagalan akibat program dapat ditekan sedemikian rupa. Sehingga tidak salah bila Crosby menyatakan bahwa mutu itu bisa menjadi barang yang sangat murah seperti dalam sebuah bukunya yang berjudul Quality is Free.
Bila mitos yang ada sudah terbantahkan, maka kapankah waktu yang tepat untuk mengambil keputusan dimana mutu dianggap penting dalam sebuah layanan kesehatan ?
Mutu Layanan Kesehatan dalam Universal Coverage
Dalam menyongsong Universal Coverage pada 2014, kondisi dimana semua penduduk akan terlindungi oleh asuransi kesehatan, maka sesuai dengan peta jalan yang dibuat oleh Kementrian Kesehatan akan bermunculan sekian ribu fasilitas kesehatan termasuk Puskesmas dan Rumah Sakit. Sehingga mau tidak mau bahwa Kemenkes juga harus memfasilitasi regulasi fasilitas kesehatan yang akan bermunculan tersebut dan diharapkan kemudahan akses yang ada tidak menjadi bumerang karena mutunya yang asal-asalan.
Pada kondisi tersebut, asuransi kesehatan dianggap sebagai sebuah konsep yang dianggap paling ideal dalam menggabungkan antara pengendalian biaya sekaligus mutu. Organisasi managed care berusaha memberikan pelayanan yang bermutu dengan pembiayaan yang serendah mungkin yang juga dikenal sebagai istilah kendali mutu dan kendali biaya Namun mutu dalam asuransi kesehatan selama ini lebih banyak dinilai dari kegiatan utilization review, yang mencermati data kunjungan dan utilisasi dari sebuah pelayanan kesehatan untuk kepentingan pengendalian pembiayaan dan administrasi namun belum banyak menyentuh mutu layanan kesehatan dari sudut pelanggan.
Walaupun program jaminan mutu atau Quality Assurance (QA) pernah diperkenalkan pada puskesmas namun dalam kenyataannya masih banyak kendala dalam pelaksanaannya seperti kurang jelasnya dalam hal kebijakan, pernyataan, dukungan, persiapan pada lingkungan pemberi pelayanan yang tidak memadai, pelembagaan proses mutu yang kurang baik, pemantauan dan evaluasi yang tidak memadai serta kurangnya tindakan lanjutan (Wiadnyana et al., 2009).
Selama ini program yang berkaitan dengan mutu seperti QA atau pelayanan prima juga seringkali masih dianggap sebagai sebuah “project” yang berarti akan berakhir seiring dengan habisnya pendanaan yang ada. Akibatnya proses menuju mutu seringkali “kehabisan energi” di tengah jalan.
Bagaimana menginisiasi mutu ?
Menurut Trisnantoro (2009) sejak era otonomi daerah maka peran regulasi masalah mutu sangatlah lemah sehingga pada akhirnya diserahkan pada kebijakan Pemerintah Daerah masing-masing. Di mana pada akhirnya akan sangat tampak perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain pada layanan kesehatannya.
Di tengah situasi yang demikian, ada beberapa pemerintah propinsi maupun pemerintah daerah kabupaten/kota yang sangat memperhatikan mutu pelayanan kesehatan di puskesmas. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah dua daerah dengan kondisi keuangan daerah yang sangat berbeda tetapi sama-sama dapat mendorong implementasi mutu di pelayanan kesehatan dengan sangat baik.
Sementara pada tingkat kabupaten/kota terdapat daerah dengan tingkat gambaran keuangan dan kapasitas fiskal yang berbeda tetapi sama-sama dapat menerapkan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2000. Sleman salah satu kabupaten di Propinsi DIY dengan kapasitas fiskal rendah, sampai dengan tahun 2009 berhasil membawa 13 puskesmas dari 25 puskesmas yang ada meraih sertifikat ISO (International Organization for Standardization) 9001: 2000. Sementara itu Kota Tarakan di propinsi Kalimantan Timur dengan kapasitas fiskal yang sangat tinggi pada tahun 2009 sudah dapat mendorong seluruh puskesmas yang ada (100%) untuk menerapkan Sistem Manajemen Mutu (SMM).
Selain dari daerah tersebut, masih terdapat banyak daerah lain yang juga sampai sekarang masih berproses menuju mutu karena menyadari adanya kenyataan adanya persaingan atau kompetisi baik di pada berbagai tingkatan mulai lokal sampai tingkat global (Mukti, 2007).
Belajar dari daerah yang gigih memperjuangkan mutu layanan kesehatannya dapat dipetik sebuah kesimpulan bahwa dalam masalah mutu tidak semata-mata tergantung pada besarnya anggaran yang tersedia tetapi juga besarnya komitmen dari top manajemen. Dalam membangun mutu sesungguhnya biaya mutu baik (cost of good quality) yang dikeluarkan dapat dianggap sebagai biaya investasi bila dibelanjakan pada asset pendukung mutu seperti alat untuk penyeteril perangkat gigi ataupun biaya produksi layanan kesehatan bila dalam bentuk rapat atau pertemuan yang membicarakan mutu.


Organisasi layanan kesehatan maupun pemerintah pada fasilitas kesehatan milik swasta maupun negeri sudah seharusnya untuk menganggarkan minimal biaya pencegahan (prevention cost) dan sangat dianjurkan juga biaya penilaian. (Appraisal Cost). Bila ini dapat terlaksana dengan baik maka kegagalan beserta biaya yang menyertainya otomatis akan jauh berkurang.
Sebagai contoh adalah pengadaan alat penyeteril alat medis yang memenuhi standar di puskesmas akan banyak menguntungkan dalam jangka panjang. Dalam situasi penularan penyakit lewat darah seperti hepatitis B, HIV/AIDS sangatlah mencemaskan maka akan menjadi sebuah ironi bila pelayanan kesehatan justru menjadi salah satu sumber dalam meningkatkan penyebaran penyakit ini. Pelayanan tindakan gawat darurat, kesehatan gigi atau persalinan tanpa alat pelindung diri yang memadai maupun alat yang terjamin sterilitasnya justru akan mempercepat penyebaran penyakit menular ini. Pada awalnya memang terkesan mahal. Tetapi sesungguhnya dalam jangka panjang akan menjadi lebih murah. Sehingga biaya yang dikeluarkan untuk investasi untuk pembelian alat penyeteril jauh lebih rendah daripada bila sekian orang harus tertular penyakit hepatitis B maupun HIV/AIDS yang tentu saja membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
Dalam situasi pembiayaan kesehatan yang mengalami peningkatan yang cukup tinggi sesuai UU Kesehatan no 36 tahun 2009 maka sudah saatnya biaya mutu yang mendukung dalam peningkatan pelayanan puskesmas (cost of good quality) dapat dianggarkan pada masing-masing daerah, yang diyakini jika bersama dengan faktor lain seperti komitmen kepada proses dari manajemen puncak maupun dukungan stakeholder dapat membangun mutu pelayanan kesehatan di puskesmas dan RS menjadi lebih baik. Semoga.
( Tri Astuti Sugiyatmi)

Standar Mutu Gas elpiji

Sejak merebaknya ledakan gas elpiji atau tabungnya maka istilah SNI ( Standar Nasional Indonesia) makin sering terdengar. Istilah SNI yang digandengkan dengan tabung selang, regulator makin kencang gaungnya. Karena dituding bahwa semua peralatan yang belum mengantongi SNI- sebagai satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia yang dirumuskan oleh panitia teknis dan ditetapkan oleh BSN (Badan Standardisasi Nasional)-itulah yang menyebabkan ledakan gas elpiji tersebut. Namun di sisi lain dari Catatan Seorang Agus Pambagyo - seorang pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) - analisisnya tentang kemungkinan isi elpiji mengalami perubahan menyebabkan publik kembali tersentak. Memang belum ada klarifikasi secara resmi dari pihak berwenang. Tetapi informasi ini setidaknya menggambarkan bahwa standar mutu tentang hal-hal yang berkaitan dengan elpiji ini juga perlu ditetapkan. Tidak sekedar upaya reaktif yang efek jangka panjangnya belum dikaji secara serius.
Istilah standar sendiri adalah suatu tingkat mutu yang relevan terhadap sesuatu. Agar dapat disebut bermutu maka dalam standar dijelaskan tentang apa yg harus dicapai, tingkat yang harus dicapai, persyaratan yang harus dipenuhi. Istilah standar memang sangat erat kaitannya dengan istilah seperti mutu, keselamatan dan risiko. Sedangkan keamanan dan keselamatan (safety) produk dari risiko, kesesuaian dengan kebutuhan (appropriateness) adalah beberapa syarat produk untuk dikatakan bermutu yang ujungnya adalah kepuasan dari pelanggan, yaitu masyarakat.
Dalam hal ledakan gas elpiji maka dapat dikatakan bahwa dimensi keamanan produk, keselamatan dan risiko konsumen sempat menjadi sebuah tanda tanya besar. Walaupun sekarang sudah dilakukan evaluasi dan tindak lanjutnya tetapi korban sudah “kadung” berjatuhan. Kerugian sudah menyeruak. Bahkan disebut-sebut jumlah kerugian akibat ledakan gas tersebut sudah mengurangi keuntungan dari konversi.
Untuk tidak mengulangi hal yang sama maka perubahan komposisi elpiji yang 12 kg juga harus dikaji secara mendalam. Bukan karena akan merugikan konsumen tetapi juga karena bagaimana mutunya?
Konsep mutu adalah pencegahan
Dapat dikatakan bahwa teror bom di rumah dari ledakan gas ini menjadi sebuah bencana nasional. Ironisnya lagi-lagi kita selalu bersikap reaktif dan kurang antisipatif. Setelah jatuh korban yang sangat banyak maka kita baru berpikir kearah mutu, standar atau SNI. Diskusi tentang keamanan produk elpiji baru digelar, pembicaraan tentang standar mutu tabung, selang, regulator maupun karetnya menjadi pembicaraan hangat di mana-mana. Mencari apa-apa yang sekiranya menjadi penyebab bencana ini.
Sebenarnya konsep mutu sendiri adalah sebuah pencegahan. Dalam membangun mutu sebuah produk adalah sesuatu yang dapat direncanakan. Diantisipasi. Dalam hal pekerjaan yang bermutu maka mencegah sesuatu produk barang atau jasa yang jelek sampai ke tangan pelanggan adalah mutlak adanya.
Namun kendala dalam membangun sebuah standar seringkali adalah kurangnya komitmen manajemen puncak terhadap mutu itu sendiri ditambah mitos tentang mutu yang mahal, mewah dan luks yang menyebabkan manajemen merasa sayang mengeluarkan biaya mutu yang mendukung pelayanan yang lebih baik, karena menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang merugikan, sia-sia dan tidak perlu dikeluarkan. Bahkan ada yang berpikiran sesuatu yang sifatnya masal, untuk rakyat kebanyakan, adalah tidak perlu bermutu. Poor quality for poor people.
Di lain pihak adanya pandangan modern tentang mutu yang sangat bertolak belakang. Philip Crosby, seorang pakar mutu menyatakan bahwa sebenarnya mutu itu murah bahkan bisa menjadi gratis. Dengan mengeluarkan biaya untuk melakukan perencanaan, koordinasi dan pengawasan semestinya kemungkinan terjadinya hal-hal tersebut sudah dapat diantisipasi sejak awal. Yakinlah bahwa bila proses itu dilampaui dengan maka masalah seperti ini sudah dapat dipetakan jauh-jauh hari dan biaya akibat kegagalan akibat program dapat ditekan sedemikian rupa. Sehingga tidak salah bila Crosby menyatakan bahwa mutu itu bisa menjadi barang yang sangat murah seperti dalam sebuah bukunya yang berjudul Quality is Free.
Namun pepatah Jawa yang menyatakan bahwa jer basuki mawa bea juga tidak salah. Untuk mendapatkan sesuatu yang baik adalah selalu membutuhkan biaya. Namun biaya untuk melakukan pencegahan ini yang disebut sebagai (prevention cost) dan biaya pemeriksaan atau pengawasan (appraisal cost) sebagai sebuah upaya untuk membangun mutu yang baik (cost of good quality) yang dapat dipastikan akan selalu lebih murah daripada biaya untuk sebuah kegagalan (failure cost) dari sebuah produk/layanan yang tidak terencana dengan baik.
Biaya kegagalan lebih besar dari keuntungan konversi?
Seperti sering dikatakan oleh pemerintah maka tujuan konversi mitan ke gas sudah berhasil menghemat dana pemerintah 20 trilyun rupiah per tahun. Namun, dalam pelaksanaannya yang jauh dari mutu maka keberhasilan tersebut akan terkurangi dengan munculnya biaya kegagalan yaitu biaya yang dipakai untuk mengganti sesuatu pekerjaan yang dilaksanakan secara salah (doing things wrong).
Biaya ini dapat meliputi penarikan produk tabung dan asesorisnya, biaya pengerjaan ulang bila nanti akan diproduksi masal lagi, biaya distribusi kembali. Ini adalah biaya yang terkait dengan prosesnya sendiri.
Sedangkan biaya kegagalan yang terkait dengan korban adalah biaya pengganti kerugian kepada pelanggan seperti biaya pengobatan, perawatan, pemakaman, serta pemberian santunan atas kerusakan rumah dan isinya. Satu hal yang kemungkinan dapat terjadi adalah besarnya biaya tuntutan. Namun masih ada biaya kegagalan lain seperti biaya untuk merespon keluhan pelanggan seperti pembentukan tim pengawas, rapat-rapat dan sebagainya. Satu hal yang harus dipikirkan lebih mendalam adalah biaya akibat kehilangan pelanggan seperti dibuktikan dalam sebuah “pemilu” antara mitan dengan gas di kawasan Jakarta maka suara yang memilih mitan lebih banyak dari pada gas.
Satu hal yang sering terlupakan adalah adanya biaya-biaya yang tidak bisa dirupiahkan (intangible cost) seperti rasa khawatir yang makin menyeruak di masyarakat akan pemakaian gas elpiji, trauma yang sangat mendalam dari para korban, rasa nyeri, penderitaan dan hal-hal yang sifatnya ada tetapi tidak dapat diraba. Demikian juga hilangnya nyawa yang sulit untuk diukur dengan rupiah.
Mungkin bila dikalkulasi biaya kegagalan yang terjadi sejak program konversi yang kurang direncanakan dengan baik ini akan sangat besar. Kabarnya bila satu korban mendapat 25 juta rupiah sedangkan pengganti kerusakan mencapai 100 juta rupiah maka jumlah biaya yang sudah dikeluarkan tinggal mengalikan saja dengan jumlah korban yang ada. Bukan jumlah yang sedikit. Apalagi sampai sekarang korban masih berjatuhan dan belum jelas sampai kapan teror gas ini akan berakhir. Bisa jadi bila masih berlanjut terus maka keuntungan konversi akan hilang ditelan oleh biaya kegagalannya sendiri.
Semoga banyaknya kasus ledakan akhir-akhir ini yang mengancam pada tujuan konversi menjadikan pemerintah menyadari bahwa hal yang berkaitan dengan standar dan mutu suatu layanan / produk sudah harus mulai dipikirkan sejak awal dari sebuah program, termasuk juga dalam penggantian komposisi tabung gas elpiji 12 kg. Semoga


@ email: triastutisgtm004@gmail.com

Saturday, March 26, 2011

Pemasaran Ide : Perlunya Komitmen dan Cost of good quality dalam Membangun Mutu Puskesmas

Ternyata memang sangatlah sulit untuk memasarkan ide. Bagaimana tidak di tengah banjir informasi dari berbagai media yang sedemikian rupa maka pemasaran ide secara tradisional menjadi sesuatu yang mustahil tampaknya. Orang tidak akan melirik sedikitpun apa-apa yang kita tulis bila tidak menarik dan dalam kemasan biasa-biasa saja.  Ternyata penting juga dalam kebiasaan  mendokumentasikan apa-apa yang kita kerjakan , karena dari situ kita belajaar untuk menulis yang baik, mengemas yang cantik. Ini pun sulit karena harus ada media yang mau memuatnya. Sekarang di era informasi seperti ini semua orang bisa menulis di blognya. Namun apakah ada yang baca? itulah pertanyaannya? Aku sendiri cuek aja menulis walaupun ada yang membaca atau tidak. Karena kadang banyak yang membaca namun tidak komen karena malas. Tapi memasarkan ide mutu  di puskesmas adalah seperti berjualan barang yang sedang tidak musim. Jadi tidak ada demam-demamnya sama sekali. Ho...ho apalagi menulis bangsa komitmen, konsekuensi dan konsistensi sesatu yang menjadi big problem in this live. So, lalu apa? Oh ya ketresediaan dana untuk peningkatan sebuah mutu layanan puskesmas. Ya memang untuk menginisiasi mutu dibutuhkan hanya seperti itu saja. Tapi apa yang ditulis menjadi 2 baris itu sungguh sangatlah sulit untuk diaplikasikan.....apalagi dipaasarkan!

Menuju jaminan Kesehatan Semesta :: skenario teknologi informasi : menunggu lahirnya BPJS

MENUJU JAMINAN KESEHATAN SEMESTA :


SKENARIO TEKNOLOGI INFORMASI : MENUNGGU LAHIRNYA UU BPJS

Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi*



Sebuah artikel di harian ini tanggal 25 Maret 2010 yang ditulis oleh Menkes memuat tentang roadmap menuju Jaminan Sosial Nasional dalam bidang kesehatan yang dikenal sebagai Jaminan Kesehatan Semesta ( Jamkesta ) yang mana untuk mencapai kondisi tersebut - tidak hanya cukup memperluas kepesertaan tetapi juga penting untuk mempersiapkan infrastruktur yang dibutuhkan.

Merujuk dari istilah infrastruktur dapat dimaknai dibutuhkannya subsistem pendukung yang cukup handal dari sebuah sistem Jamsosnas. Dengan kata lain, kebutuhan infrastruktur yang meliputi fisik serta non fisik menjadi subsistem pembangun struktur dari situasi yang juga sering disebut sebagai Universal Coverage tersebut. Kebutuhan akan infrastruktur yang dimaksudkan sebenarnya sebagian sudah terlihat pada peta jalan yang sedang dirancang, namun demikian masukan dari berbagai pihak kiranya tetap mendapat tempat sewajarnya, sehingga peta jalan yang sifatnya final nantinya akan semakin sempurna.



Teknologi Informasi adalah keniscayaan

Sistem informasi manajemen yang berbasiskan Teknologi Informasi (SIM-TI) sebagai salah satu infrastruktur pendukung pelaksanaan Jamkesta, selanjutnya disebut sebagai teknologi informasi atau TI saja, sudah disadari pentingnya dan terbukti menjadi salah satu blok yang akan dicermati pada pelaksanaannya nanti. Tidak perlu diperdebatkan lagi bila dalam hal ini, teknologi informasi memang menjadi sebuah keniscayaan.

Kebutuhan SIM yang handal dalam mendukung semua kegiatan sudah lama disadari oleh manajemen PT Askes sebagai lembaga asuransi kesehatan besar di negeri ini, bahkan keberadaannya sudah menjadi salah satu misi yang akan mendukung semua proses bisnis di dalamnya adalah bukti bahwa rancangan SIM berbasis TI harus dipikirkan jauh hari sebelum Jamkesta itu berjalani.

Belajar dari PT Askes yang sedang mengembangkan ASTERIX ( Askes Integrated and Responsive Information exchange) yang diklaim dapat menjawab kebutuhan teknologi informasi dalam mengelola sebuah risiko dan Bridging System sebuah upaya untuk memadukan dengan SIM dari provider makin memberikan kesadaran pada kita semua bahwa SIM-TI menjadi sebuah PR yang cukup besar dalam rangka mendukung Jamkesta.

Dapat dibayangkan bila nanti semua penduduk Indonesia yang kira-kira berjumlah sekitar 250 juta - an akan menjadi peserta dan berasal dari ribuan pulau yang ada, bila dikelola tanpa dukungan SIM -TI yang memadai maka akan terjadi “kekacauan” dalam sistem administrasi yang ada.

Untuk itu dalam rangka menyelesaikan PR besar ini harus didukung oleh sebuah proses manajemen yang sangat baik. Pilihan SIM- TI yang akan digunakan nantinya juga harus dapat mengakomodir keperluan teknis para pengguna langsung, auditor serta yang tidak kalah penting adalah pihak manajemen sebagai “pemilik” proses bisnis itu sendiri.



COBIT - sebagai kerangka berpikir

Dalam banyak artikel di sebutkan bahwa banyak sekali standar maupun tools dalam sistem informasi berbasis komputer maupun auditnya dengan keunggulannya masing-masing. Setidaknya tercantum ada COSO (Committee of the Sponsoring Organizations, COBIT ( Control Objective for Information and related Technology), SARBOX (Sarbanes-Oxley Act ), ISO (International Organization of Standardization) 17799 , dan BASEL II.



Dari pilihan-pilihan tersebut tampaknya COBIT dapat menjadi sebuah alternatif terbaik yang dapat digunakan dalam mempersiapkan SIM-TI yang digunakan dalam menyongsong pelaksanaan Jamkesta yang akan datang.

Dalam COBIT dikenal empat (4) domain besar yang sangat perlu diperhatikan yaitu : Perencanaan dan organisasi (plan and organise), Pengadaan dan implementasi (acquire and implement), Pengantaran dan dukungan (deliver and support) serta Pengawasan dan evaluasi (monitor and evaluate).

COBIT yang dikembangkan oleh Information System Audit and Control Association (ISACA) melalui lembaga yang dibentuknya yaitu Information and Technology Governance Institute (ITGI) pada tahun 1992 cukup komprehensif untuk dapat diterapkan dalam sebuah kerja besar yang akan menorehkan sejarah yang cukup penting dalam pelaksanaan sistem Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) di negeri ini.





Skenario TI : menunggu momentum



Pertanyaan berikutnya setelah menyadari bahwa kebutuhan akan TI sebagai sebuah keharusan dan “memilih” COBIT sebagai kerangka berpikir dalam mempersiapkan segala sesuatunya dalam menyongsong Jamkesta, maka kapankah saat yang tepat untuk memulai pekerjaan yang sangat penting ini?



Kelahiran UU BPJS ( Undang-Undang Badan Penyelanggara Jaminan Sosial) yang sampai sekarang sedang digodok oleh DPR memang mempunyai arti yang cukup strategis dalam pengembangan TI yang dibutuhkan.



Keputusan apakah nantinya akan dikembangkan satu badan penyelenggara saja sebagai pembayar (single payer) ataupun lebih dari satu badan penyelenggara jaminan kesehatan (multi payer) yang direpresentasikan oleh UU BPJS itu maka keberadaan SIM-TI sebagai salah satu pendukung Jamkesta tetap tidak akan tergoyahkan.



Skenario kebutuhan TI pertama pada kondisi BPJS tunggal sudah tergambar seperti pada PT Askes sekarang dengan bridging system-nya walaupun tentu saja berbeda besaran dan kompleksitasnya. Sementara bila UU BPJS menetapkan ada lebih dari satu badan penyelenggara yang tersebar di pusat (BPJS pusat) maupun daerah (BPJSD) maka SIM –TI justru akan berperan sebagai “ pengikatnya” sebagai skenario kedua.



Konsep Jaminan Kesehatan Daerah dengan Skema Desentralisasi Terintegrasi - seperti rancangan Prof.dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD, dari UGM Yogyakarta - akan menjadi sangat efektif bila TI yang diterapkan nantinya akan menjadi salah satu faktor yang berkontribusi besar pada hal pengintegrasian sistem tersebut. Hal ini dapat dianalogikan dengan yang berlaku pada banyak lembaga perbankan yang berhasil mengintegrasikan sistem yang berbeda dengan sebuah model kartu ATM tentu saja beserta perangkatnya yang dapat digunakan secara bersama. Dengan sebuah kartu peserta, sebagai produk dari sebuah SIM –TI, maka prinsip portabilitas - pemberian jaminan kesehatan dapat terus berkelanjutan walaupun peserta berpindah tempat, pekerjaan bahkan BPJSD sekalipun asalkan masih di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia - akan tetap dapat terjaga.



Sehingga apapun keputusan yang keluar dari Senayan mengenai UU BPJS – single payer ataupun multi payer- segera dapat ditindaklanjuti dengan rancangan SIM – TI yang paling tepat. Maka kombinasi beberapa prinsip penyusunan informasi yaitu kualitas (quality), tanggung jawab (fiduciary responsibility) dan keamanan (security) yang dihasilkan COBIT dan diterjemahkan menjadi efektifitas, efisiensi,kerahasiaan, integritas, ketersediaan, kepatuhan dan keandalan justru akan menjadi semakin “kaya” dengan fungsi teknologi informasi yang menjadi faktor “pengintegrasi “ sistem yang berbeda tanpa menghilangkan karakteristik daerah yang ada, bila kondisi multi payer yang terjadi. Semoga.