Oleh: Tri Astuti Sugiyatmi
Associate Researcher Pusat KPMAK FK UGM
Sampai dengan 31 Maret tahun 2010, sebanyak 32 propinsi dan 300 kabupaten /kota telah melaporkan kasus AIDS. Ini menunjukkan epidemi AIDS
di Indonesia sejak pertama kali ditemukannya pada tahun 1987 mengalami
kenaikan yang cukup besar. Pada beberapa daerah, terlihat angka
kesakitan dan kematian yang semakin bertambah.
Berbagai upaya pengendalian sudah
dikerjakan. Program pencegahan yang bertujuan agar setiap orang mampu
melindungi dirinya agar tidak tertular HIV atau
menularkan pada orang lain sudah sering kita dengarkan pada berbagai
kegiatan seperti penyuluhan, seminar maupun konsultasi.
Setelah kegiatan ini berjalan maka dengan dibukanya klinik VCT (voluntary counseling and testing) yaitu tes HIV sukarela disertai dengan konseling maka
penemuan kasus menjadi tahap berikutnya. Klinik yang pada umumnya di
support oleh Global Fund (GF) di beberapa daerah menjadi pintu masuk
bagi orang dengan HIV untuk menjalani pengobatan bila memang kondisinya sudah memungkinkan. Tahap berikutnya untuk pasien tersebut adalah ke CST (Care , Support and Treatment) untuk mendapatkan dukungan serta pengobatan maupun ke arah PMTCT(Prevention of Mother to Child Transmission) bagi ibu hamil yang terinfeksi
Selama ini biasanya permasalahan memang
muncul setelah pasien dinyatakan positif. Pada waktu dilakukan
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa pembiayaan biasanya tidak menjadi
masalah. Karena rata-rata klinik VCT yang ada biasanya disupport oleh
pendanaan dari GF. Bila pasien sudah harus diterapi ( yaitu bila
kondisi CD4 dan Viral Load dalam jumlah tertentu ) maka ARV/ART juga
sudah didanai oleh GF.
Tetapi yang menjadi permasalahan yang cukup besar saat pasien harus rawat inap. Pasien yang rawat inap dengan AIDS, biasanya pihak asuransi /bebarapa jamkesda tidak mau membayarnya, terkecuali pada jamkesmas.
Entah mengapa pihak asuransi
biasanya tidak mau membayar, sehingga seringkali pihak yang merawat
hanya mencantumkan diagnosa infeksi opportunistik (sebagai gejala yang
tampak dari kondisi AIDS) dalam catatan medisnya.
Sekilas hal tersebut tidak menjadi
problem karena toh pasien tetap tertangani. Masalah baru muncul ketika
rekam medis menjadi kurang mampu telusur : dalam hal kasus2 HIV/AIDS. Dalam hal ini otomatis kasus medis akan tertutup dan bisa ikutannya akan sangat panjang. Data epidemiologi HIV/AIDS
yang kurang akurat yang bila diikuti akan berakibat pada perencanaan
dan pengambilan keputusan yang kurang tepat pada level pengambil
kebijakan.
Yang juga tidak dapat di anggap sepele, akibat dari hal ini maka pemberian stigma pada penderita HIV – AIDS masih tetap tinggi. Semua penderita HIV AIDS
dianggap hasil dari perbuatan buruknya sendiri yang tidak pantas untuk
ditanggung oleh asuransi. Seperti kasus merokok, penyakit menular
seksual lainnya, HIV-AIDS tidak bisa ditanggung. Memang
dalam beberapa klausul yang sering muncul dalam asuransi maka yang
tidak termasuk (pengecualian) adalah yang bersifat kosmetik tanpa
indikasi medis. Wajar bila operasi hanya untuk memancungkan hidung
dengan pertimbangan kosmetik tidak akan ditanggung. Hal ini juga seperti
percobaan bunuh diri yang biasanya juga tidak ditanggung asuransi.
IMS, HIV-AIDS dan asuransi
Infeksi virus HIV yang kemudian bisa berkembang menjadi kondisi AIDS
memang bisa ditularkan oleh hubungan seksual sebagaimana penyakit
infeksi seksual lainnya seperti gonorrhea, sifilis dan beberapa lainnya.
Infeksi menular seksual (IMS) memang menjadi pintu masuk bagi masuknya virus HIV ini yang bisa berlanjut menjadi AIDS dalam beberapa waktu kemudian. Namun demikian banyak pasien HIV –AIDS
yang bisa jadi bukan karena hubungan seksual tetapi didapat dari
kegiatan lain seperti transfusi darah, pemakaian jarum suntik yang tidak
steril ( ini mungkin hanya relevan pada beberapa waktu yang lalu, saat
belum informasi penyakit ini masih jarang) yang bisa menjadi pintu
masuk. Atau bisa jadi karena dari ibu hamil yang positif yang
menularkan kepada bayinya. Atau bahkan ibu rumah tangga baik-baik yang
tertular dari suaminya. Atau bahkan yang paling ekstrim adalah kejadian
HIV-AIDS yang bersifat “kecelakaan” pada tenaga medis akibat mengelola pasien HIV-AIDS.
Jadi kondisi orang dengan HIV-AIDS
yang seperti inilah yang sebenarnya memang seharusnya ditanggung oleh
asuransi. Bagaimana tidak, obat-obat untuk mengatasi gejala-gejala yang
muncul dari HIV-AIDS ini bisa jadi sangat menguras
kantong. Bisa jadi sangat katastrofik. Belum lagi penderitaan yang
dialami akibat stigma yang ada juga akan mempersulit kondisi sosial
ekonomi pasien. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa pasien dengan HIV/AIDS
sulit untuk diterima bekerja kembali di masyarakat untuk membantu
perekonomiannya. Sehingga bantuan pengobatan melalui asuransi penulis
anggap cukup penting.