Friday, September 21, 2012

Penguatan Puskesmas, Kunci Sukses Jaminan Kesehatan Semesta



Tri Astuti Sugiyatmi*
Dalam sistem pelayanan kesehatan maka pelayanan yang dilakukan  idealnya adalah dengan sistem  rujukan berjenjang. Mulai dari  yang paling bawah puskesmas sebagai Rawat Jalan Tingkat Pertama ( RJTP) maupun Rawat Inap Tingkat pertama (RITP) dan selanjutnya baru ke rumah sakit . Rumah sakit sendiripun juga mulai dari tipe yang paling rendah ke yang paling tinggi sebagai Rawat Jalan Tingkat  Lanjutan (RJTL) Maupun Rawat Inap  Tingkat Lanjutan (RITL).  Dalam hal ini puskesmas  dapat dikatakan sebagai “gate keeper” dalam sistem rujukan berjenjang itu. Seperti halnya dokter keluarga yang sekarang sudah berlaku di dalam sistem rujukan yang berlaku di ASKES.
Namun kenyataan yang ada  sekarang Puskesmas hanya akan cenderung dilewati saja tanpa bisa berbuat banyak.  Dalam kondisi ini maka  RS akan  menjadi sebuah “puskesmas raksasa”, karena kasus-kasus ringan pun akan masuk ke sana. Sedangkan kasus berat sebagai porsi  tempat rujukan lanjutan kadang-kadang malah tidak tertangani ataupun tertangani dengan antrian yang cukup panjang. Dalam kasus Jaminan persalinan (Jampersal) di daerah Sendawar sebagai contoh, terdapat  banyak kasus kelahiran non risiko tinggi yang  masuk ke  RSUD Harapan Insan Sendawar. Hal ini berakibat program ini berjalan tidak efektif.
Bila hal-hal  seperti ini dibiarkan  maka bukan tak mungkin program besar yang akan menjamin seluruh penduduk ini akan  kesulitan ke depannya.  Hal ini memang bisa jadi karena sosialisasi yang kurang baik di masyarakat. Namun satu hal yang juga mungkin adalah  karena  puskesmas  yang ada kurang kuat, kurang bermutu, kurang menarik dan kurang dipercaya oleh pelanggannya maka sistem rujukan tidak akan banyak berfungsi dan  pemanfaataan puskesmas rendah.   
Butuh Penguatan di Semua Lini
Selama ini permasalahan di puskesmas yang sering terjadi adalah kurangnya biaya operasional puskesmas. Dengan adanya dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) yang juga dapat dimanfaatkan  untuk upaya kegiatan, kegiatan penunjang, manajemen puskesmas serta perbaikan ringan maka semestinya permasalahan puskesmas yang mendasar  tidak terjadi lagi. Dalam hal ini  manajemen  puskesmas juga harus diperkuat. Dengan adanya dana yang cukup berlimpah seperti BOK   yang sifatnya suplemen dari APBD II maka dibutuhkan  manajemen yang tangguh dalam hal pengelolaan kegiatan maupum administrasi keuangan sehingga dana BOK dapat terserap dan terlihat “perbedaan” sebelum dan sesudah adanya dana operasional. Dulu sebelum ada dan operasional maka puskesmas cenderung terlihat kurang terawat, kotor, cenderung tidak menarik, maka semestinya dengan adanya berbagai dana tersebut kesan seperti itu dapat dihilangkan.
Penguatan puskesmas yang lain adalah adanya layanan inovasi di puskesmas. Walaupun konsep puskesmas tetap basic six namun tidak ada salahnya bila sumberdaya ada dan memenuhi maka bisa dilakukan pelayanan inovasi seperti puskesmas sayang lansia (lanjut Usia), puskesmas 24 jam, konsultasi psikologi (seperti di Kabupaten Sleman), puskesmas dengan layanan VCT (Voluntary Counselling and Testing HIV/AIDS) seperti di puskesmas kota Tarakan, puskesmas keliling  dsb. Pelayanan  unggulan dan inovasi  puskesmas juga akan mengembalikan trust pelanggan kepada  fasilitas pelayanan kesehatan plat merah ini. Puskesmas selama ini sering diplesetkan hanya dianggap dapat melayani “pusing, keseleo dan masuk angin”. Padahal dengan keragaman sumberdaya yang ada  puskesmas bisa banyak berbuat untuk melakukan inovasi yang ujung-ujungnya untuk menarik minat pelanggan.
Penguatan puskesmas yang lain adalah dengan program penguatan mutu  puskesmas seperti penerapan sistem manajemen mutu (SMM), pelayanan prima ataupun sertifikasi juga penting dikerjakan. Pada daerah perkotaan yang masalah akses tidak menjadi persoalan utama maka mutu puskesmas sudah saatnya untuk dipikirkan. Selama ini puskesmas dikesankan hanya untuk masyarakat miskin yang tidak pernah mempermasalahkan mutu pelayanan. Namun dengan semakin kritisnya masyarakat maka masalah mutu puskesmas sudah harus menjadi agenda utama.  
Memang untuk meraih mutu pelayanan di puskesmas tidak harus yang berbiaya mahal seperti sertifikasi ISO 9001:2000 ataupun ISO 9001:2008, namun juga  bisa dengan cara lain yang pada prinsipnya akan meningkatkan performance puskesmas. Untuk daerah perbatasan, terpencil dan kepulauan  (DPTK) maka  penulis sarankan: kaidah housekeeping dari Jepang adalah 5 S yaitu : Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi 5 R yaitu ( Ringkas , Rapi, Resik, Rawat dan Rajin) sangat mungkin untuk dilaksanakan. Dengan 5 R yang hampir tanpa biaya itu, puskesmas bisa “tampil beda” dan membuat pengunjung merasa nyaman.
Dengan adanya rencana Universal Health Coverage pada tahun 2014 nanti,   dimana jumlah fasilitas kesehatan terutama puskesmas juga akan ditambah, maka satu hal bahwa dana semacam BOK juga sudah harus disiapkan untuk puskesmas yang baru tadi. Dalam sebuah kesempatan Rakor tanggal 1 Agustus 2012  beberapa waktu yang lalu  presiden SBY meminta supaya Kemenkes menggarap BPJS lebih serius, karena sebagai investasi awal dalam BPJS tidak main-main,  25 Triliun. Pertanyaannya, apakah di dalamnya sudah  termasuk  dana penguatan puskesmas atau belum. Karena bagaimanapun input berupa dana, tenaga, infrastruktur adalah pondasi awal yang harus ada terlebih dahulu. Baru kemudian penguatan manajemen, inovasi, dan mutu juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Karena  berhasil atau tidaknya Jaminan Kesehatan Semesta ini bisa diperkirakan  dari keadaan puskesmas yang ada sebagai lini pertama yang memegang kendali sistem rujukan.
Kepustakaan :
1.            Program Jampersal Tak Efektif Akibat Selalu Dirujuk ke RSUD HIS
2.            Petunjuk Teknis: Bantuan Operasional Kesehatan tahun 2012, Kemenkes RI  2011
3.            Profil Dinas Kesehatan Kota Sleman tahun 2011
4.            Profil Dinas Kesehatan Kota Tarakan Tahun 2011
5.            Tri Astuti Sugiyatmi, Naskah Tesis :  Analisis Biaya Mutu (Cost of Quality) Dalam Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Sleman, DIY, KPMAK- IKM-UGM
6.            http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/01/m82619-sby-minta-kemenkes-garap-bpjs-lebih-serius

Tuesday, September 11, 2012

Yuk, Sedekah Sampah !




Momentum bulan Ramadhan adalah seolah-olah  identik dengan bulan sedekah. Karena janji Allah bahwa semua kebaikan pahalanya akan dilipatgandakan pada bulan ini, maka seakan-akan sedekah menjadi lebih baik dilakukan di bulan ini. Padahal tentu bukan berarti  demikian.   Oke, mungkin  itu masalah yang agak sedikit berbeda dengan hal yang akan saya tulis di sini, walaupun  ada persamaannya yaitu  tentang sedekah.
Ya dengan momentum Ramadhan inilah, ide tulisan ini muncul. Sedekah Sampah. Istilah sedekah sampah saya kutip dari leaflet sebuah masjid d Yogyakarta. Ya dalam leaflet itu dikatakan bahwa “sampah” pun bisa menjadi sedekah. Di masjid ini menerima pakaian pantas pantai, koran bekas, atau apapun yang sudah tidak berguna bagi si pemiliknya (yang berarti bisa disebut sampah) untuk dapat diberikan pada masjid yang akan mengubahnya / menyalurkannya untuk yang membutuhkan. Sangat inspiratif.
Nah, terinspirasi dari hal tersebut, saya berpikir bahwa sedekah sampah juga bisa diterapkan dalam arti yang sebenarnya. Sampah rumah tangga  yang sebenarnya yang ada di rumah kita seperti botol minuman kemasan, kaleng, kertas, kardus,  dll juga bisa disedekahkan untuk yang membutuhkan. Ya menurut saya hal ini memang menjadi” sedikit merepotkan”. Karena kita harus memilah sampah-sampah yang  ternyata masih punya nilai ekonomi ini dengan sampah lainnya. Sesuatu yang selama ini malas kita kerjakan karena berpikir  bahwa itu  hanyalah pantas dikerjakan oleh pencari barang bekas/pemulunhg saja.
Tapi menurut saya, dengan program dari dinas terkait untuk  reuse ( memanfaatkan kembali), reduce (mengurangi volume/jenis sampah) dan recycle (mendaur ulang) dari sampah maka sebenarnya hal tersebut bisa kita kerjakan di rumah dengan mudah. Tidak harus membutuhkan  2 atau 3 bak sampah dengan warna yang berbeda: 1 untuk tempat sampah amnorganik dan satu lagi untuk sampah yang organik seperti yang terlihat pada instansi sekolah, perkantoran dan fasilitas kesehatan.  Untuk tingkat rumah tangga, cukup dengan menggunakan kresek bekas /kardus pun jadi.
Saat kita membuang sampah yang anorganik itu maka kita kumpulkan dalam 1 tempat. Bila sudah terkumpul banyak maka tinggal kita ‘sedekahkan” pada pemulung/pencari barang bekas. Kita panggil  si pemulung dan dengan senang hati akan mengambilnya. Bila perlu kita cari informasi nomor telpon / HP si pencari barang bekas. Sehingga saat kita perlu membuang sampah tadi maka kita tinggal kirim pesan pendek (SMS) atau telpon saja.  
Dalam momentum Ramadhan dan lebaran di kota kita ini, ada kebiasaan masyarakat yang akan mengkonsumsi minuman kaleng, botol maupun gelas plastik dalam jumlah yang diperkirakan lebih daripada biasanya.  Sendirikan tempat sampahnya/ plastik kresek untuk tempatnya.
Atau bisa juga dalam sebuah acara buka bersama, halal bihalal, atau pesta  di rumah/ tempat gedung pertemuan, atau bahkan masjid, maka tinggal si pemilik hajat memerintahkan orang di “belakang “ untuk memilah sampah. Bila acara sudah kelar, nah saat itulah bisa kita panggil si pemulung untuk mengambilnya   secara langsung atau lewat nomor HP nya. Langsung beres. 
Yang seringkali terjadi  saat  ini adalah pada saat acara masih berlangsung maka pemulung sudah siap dengan karungnya dan mulai beroperasi. Hal ini  membuat tidak nyaman. Saat sebagian orang menikmati makanannya maka sebagian yang lain mengais sampahnya.
Sebenarnya program sedekah sampah akan menempatkan pemulung dalam posisi yang lebih terhormat. Mengambil sampah  yang sudah tidak berguna bagi pemiliknya, saat acara sudah selesai dengan tidak merendahkan martabat kemanusiaannya.
Sebenarnya  dalam konsep ini keuntungan ada pada kedua belah pihak. Si pemilik sampah tidak perlu repot membawa sampah anorganik itu ke tempat pembuangan sementara.Sementara Si pemulung akan mendapat manfaat dari sampah tersebut untuk dijualnya kembali. Dari penjualannya itu si Pemulung mendapatkan uang.  Mungkin hal inilah yang mendasari konsep sedekah sampah. Bila konsep sedekah sampah menjadi sebuah gerakan yang lebih besar maka yakinlah bahwa banyak pihak akan merasakan keuntungannya.
Saatnya bagi kita untuk dapat berbagi dengan sesama walaupun  dengan sekedar sampah.  Mudah-mudahan upaya kecil ini bisa mengurangi volume sampah dan meningkatkan upaya pendaurulangan sampah kembali. Mari,  bersedekah sampah!


·      
·         Email : triastutisgtm004@gmail.com
·    

Monday, September 3, 2012


BPJS  dan Kedaulatan Kesehatan di Perbatasan
Tri Astuti Sugiyatmi *

UU BPJS sudah disyahkan. Masa persiapan menuju  jaminan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC ) hanya tinggal  dalam hitungan  18 bulan saja dengan   banyaknya pekerjaan rumah  yang mesti diselesaikan. 
Bagaimana penggajian tenaga kesehatan dalam era BPJS,   kecukupan tenaga dokter, pemenuhan infrastruktur pendukung  seperti  kecukupan tempat tidur (TT),  mekanisme pengumpulan dana  bagi tenaga kerja  informal dan  permasalahan regulasi  adalah sebagian dari permasalahan yang  masih mengganjal.  Belum lagi  permasalahan transformasi kelembagaan  dari  PT Askes menjadi  BPJS  Kesehatan yang bersifat nirlaba.

Tantangan BPJS Kesehatan di Wilayah Perbatasan
Dengan banyaknya permasalahan yang terjadi maka BPJS Kesehatan dalam hal ini PT Askes  harus  menempatkan  salah personel  terbaiknya di daerah-daerah yang cenderung  bermasalah  dalam bidang kesehatan yaitu DTPK (Daerah  Terpencil, Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan).
Permasalahan di ketiga kawasan khusus itu adalah serupa seperti kondisi geografi yang sulit, adanya iklim/cuaca yang berubah-ubah, wilayah yang cenderung sangat luas, status kesehatan masyarakat yang masih rendah, kurangnya sarana dan prasarana kesehatan, adanya keterbatasan jumlah dan jenis  sumber daya manusia kesehatan, serta kurang baiknya mutu pelayanan kesehatan yang ada.
Khusus permasalahan BPJS Kesehatan di daerah perbatasan  menjadi sangat kompleks, karena yang dihadapi bukan sekedar hal tersebut di atas. Seperti banyak di di muat oleh media massa, bahwa perbatasan kita diibaratkan halaman belakang rumah, yang  terkesan kumuh dan tidak enak untuk dilihat sehingga   sangat kontras bila dibandingkan dengan kondisi perbatasan negeri tetangga yang cenderung lebih gemerlap, terang benderang dalam arti yang sebenarnya  dan lebih menarik.
Masyarakat perbatasan   cenderung distrust terhadap layanan kesehatan sendiri  karena keadaan fasilitas kesehatan kita di daerah perbatasan belum cukup memenuhi harapan masyarakat.  Sehingga tidak heran bila sebagian warga negara kita di  Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, daerah di sebelah barat Indonesia  berturut-turut  lebih memilih untuk ke Tawao   di Sabah atau Kuching- Sarawak  atau ke  Selangor , semuanya di Malaysia untuk mendapatkan layanan kesehatan yang lebih bermutu dengan  biaya yang terjangkau.
Bila selama ini hanya  motif ekonomi  saja yang mendasari  mereka berobat ke luar negeri     dengan biaya yang dikeluarkan dari kantong sendiri (out of pocket) namunagak berbeda dengan suasana akhir-akhir ini di daerah perbatasan. Tingginya kesenjangan antara  wilayah mereka dengan negeri tetangga akhirnya memicu masalah lain seperti ancaman disintegrasi bangsa.   Beberapa kelompok masyarakat / perorangan mengancam mau berpindah kewarganegaraan  menjadi warga negara Malaysia, seperti kasus di Kalimantan Barat tahun lalu menjadi sebuah ancaman kedaulatan yang nyata-nyata di depan mata.
 Di sisi lain, salah seorang pakar jaminan  sosial khususnya kesehatan Prof. dr. Hasbullah Thabrany MPH., Dr.PH  dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dalam sebuah wawancara dengan sebuah televisi swasta beberapa waktu  yang lalu menyatakan bahwa untuk masalah portabilitas di perbatasan bisa  juga  memakai  faslilitas ke negeri tetangga. Karena permasalahan kesehatan khususnya kasus-kasus emergensi  butuh kecepatan dan tentu saja kedekatan dengan fasilitas kesehatan yang memadai  sebagai salah satu  kuncinya.
Wujudkan Kedaulatan Kedaulatan  di Perbatasan
Walaupun secara prinsip  pelayanan kesehatan tidak ada yang salah dengan usulan  guru besar FKM UI tersebut, namun menurut penulis  agak berbeda persoalannya bila kita sudah berani mencanangkan UHC sebagai sebuah program nasional. Masih kedodorannya dalam hal pelayanan kesehatan dasar dan sistem rujukannya  dapat sebagai indikasi ketidaksiapan BPJS Kesehatan dan ketiadaan perencanaan yang baik  justru  akan menyebabkan membuat  kedaulatan kesehatan bahkan kedaulatan negara kita akan lebih terpuruk.
 Sebagai langkah  awal pelaksanaan UHC bisa jadi hal tersebut masih dimungkinkan. Tetapi tetap saja untuk jangka panjang, BPJS Kesehatan mempunyai kewajiban  untuk mempersiapkan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu  dan sistem rujukan  untuk ke   Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) lanjutan  di negeri sendiri.
BPJS Kesehatan yang  sudah hampir pasti dipegang oleh PT Askes ,  tentu saja menjadikannya mempunyai kewajiban  untuk  menyiapkan  pelayanan yang sebaik-baiknya pada saatnya nanti. Dalam masa persiapan ini semestinya PT Askes harus  lebih pro aktif untuk memulai menghubungi dinas kesehatan setempat.  Apakah program UHC yang punya visi sangat mulia itu benar-benar sudah tersosialisasi dengan baik. Jangan-jangan program  nasional ini hanya populer di pengambil kebijakan di pusat saja, belum menyentuh ke daerah. Dari kerjasama ini semestinya juga bisa dipetakan bagaimana kesiapan infrastruktur, tenaga dan segala hal yang mendukung terselenggaranya pelayanan kesehatan.  Karena bila hal-hal mendasar  seperti tenaga, infrastruktur  sebagai sebuah input  dalam pemberian pelayanan kesehatan  belum terpenuhi maka proses selanjutnya dan output pun dapat ditebak hasilnya.
 Jangan sampai peluang UHC untuk menyejahterakan masyarakat  justru menjadi sebuah titik lemah karena buruknya mutu pelayanan dari sisi input.  Sehingga kita berharap banyak dengan BPJS  Kesehatan ini.   Keberhasilannya,  akan  menjadi jawaban bahwa masih ada harapan masyarakat  di perbatasan untuk menikmati layanan kesehatan yang bermutu  yang menjadi haknya sebagai warga Republik ini.
           Dokter di Dinas Kesehatan Kota Tarakan dan Associate Researcher di Pusat Kebijakan  Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan , Fakultas Kedokteraan,  Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
           Email : triastutisgtm004@gmail.com


BPJS dan Kedaulatan Kesehatan di Perbatasan


BPJS  dan Kedaulatan Kesehatan di Perbatasan
Tri Astuti Sugiyatmi *

UU BPJS sudah disyahkan. Masa persiapan menuju  jaminan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC ) hanya tinggal  dalam hitungan  18 bulan saja dengan   banyaknya pekerjaan rumah  yang mesti diselesaikan. 
Bagaimana penggajian tenaga kesehatan dalam era BPJS,   kecukupan tenaga dokter, pemenuhan infrastruktur pendukung  seperti  kecukupan tempat tidur (TT),  mekanisme pengumpulan dana  bagi tenaga kerja  informal dan  permasalahan regulasi  adalah sebagian dari permasalahan yang  masih mengganjal.  Belum lagi  permasalahan transformasi kelembagaan  dari  PT Askes menjadi  BPJS  Kesehatan yang bersifat nirlaba.

Tantangan BPJS Kesehatan di Wilayah Perbatasan
Dengan banyaknya permasalahan yang terjadi maka BPJS Kesehatan dalam hal ini PT Askes  harus  menempatkan  salah personel  terbaiknya di daerah-daerah yang cenderung  bermasalah  dalam bidang kesehatan yaitu DTPK (Daerah  Terpencil, Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan).
Permasalahan di ketiga kawasan khusus itu adalah serupa seperti kondisi geografi yang sulit, adanya iklim/cuaca yang berubah-ubah, wilayah yang cenderung sangat luas, status kesehatan masyarakat yang masih rendah, kurangnya sarana dan prasarana kesehatan, adanya keterbatasan jumlah dan jenis  sumber daya manusia kesehatan, serta kurang baiknya mutu pelayanan kesehatan yang ada.
Khusus permasalahan BPJS Kesehatan di daerah perbatasan  menjadi sangat kompleks, karena yang dihadapi bukan sekedar hal tersebut di atas. Seperti banyak di di muat oleh media massa, bahwa perbatasan kita diibaratkan halaman belakang rumah, yang  terkesan kumuh dan tidak enak untuk dilihat sehingga   sangat kontras bila dibandingkan dengan kondisi perbatasan negeri tetangga yang cenderung lebih gemerlap, terang benderang dalam arti yang sebenarnya  dan lebih menarik.
Masyarakat perbatasan   cenderung distrust terhadap layanan kesehatan sendiri  karena keadaan fasilitas kesehatan kita di daerah perbatasan belum cukup memenuhi harapan masyarakat.  Sehingga tidak heran bila sebagian warga negara kita di  Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, daerah di sebelah barat Indonesia  berturut-turut  lebih memilih untuk ke Tawao   di Sabah atau Kuching- Sarawak  atau ke  Selangor , semuanya di Malaysia untuk mendapatkan layanan kesehatan yang lebih bermutu dengan  biaya yang terjangkau.
Bila selama ini hanya  motif ekonomi  saja yang mendasari  mereka berobat ke luar negeri     dengan biaya yang dikeluarkan dari kantong sendiri (out of pocket) namunagak berbeda dengan suasana akhir-akhir ini di daerah perbatasan. Tingginya kesenjangan antara  wilayah mereka dengan negeri tetangga akhirnya memicu masalah lain seperti ancaman disintegrasi bangsa.   Beberapa kelompok masyarakat / perorangan mengancam mau berpindah kewarganegaraan  menjadi warga negara Malaysia, seperti kasus di Kalimantan Barat tahun lalu menjadi sebuah ancaman kedaulatan yang nyata-nyata di depan mata.
 Di sisi lain, salah seorang pakar jaminan  sosial khususnya kesehatan Prof. dr. Hasbullah Thabrany MPH., Dr.PH  dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dalam sebuah wawancara dengan sebuah televisi swasta beberapa waktu  yang lalu menyatakan bahwa untuk masalah portabilitas di perbatasan bisa  juga  memakai  faslilitas ke negeri tetangga. Karena permasalahan kesehatan khususnya kasus-kasus emergensi  butuh kecepatan dan tentu saja kedekatan dengan fasilitas kesehatan yang memadai  sebagai salah satu  kuncinya.
Wujudkan Kedaulatan Kedaulatan  di Perbatasan
Walaupun secara prinsip  pelayanan kesehatan tidak ada yang salah dengan usulan  guru besar FKM UI tersebut, namun menurut penulis  agak berbeda persoalannya bila kita sudah berani mencanangkan UHC sebagai sebuah program nasional. Masih kedodorannya dalam hal pelayanan kesehatan dasar dan sistem rujukannya  dapat sebagai indikasi ketidaksiapan BPJS Kesehatan dan ketiadaan perencanaan yang baik  justru  akan menyebabkan membuat  kedaulatan kesehatan bahkan kedaulatan negara kita akan lebih terpuruk.
 Sebagai langkah  awal pelaksanaan UHC bisa jadi hal tersebut masih dimungkinkan. Tetapi tetap saja untuk jangka panjang, BPJS Kesehatan mempunyai kewajiban  untuk mempersiapkan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu  dan sistem rujukan  untuk ke   Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) lanjutan  di negeri sendiri.
BPJS Kesehatan yang  sudah hampir pasti dipegang oleh PT Askes ,  tentu saja menjadikannya mempunyai kewajiban  untuk  menyiapkan  pelayanan yang sebaik-baiknya pada saatnya nanti. Dalam masa persiapan ini semestinya PT Askes harus  lebih pro aktif untuk memulai menghubungi dinas kesehatan setempat.  Apakah program UHC yang punya visi sangat mulia itu benar-benar sudah tersosialisasi dengan baik. Jangan-jangan program  nasional ini hanya populer di pengambil kebijakan di pusat saja, belum menyentuh ke daerah. Dari kerjasama ini semestinya juga bisa dipetakan bagaimana kesiapan infrastruktur, tenaga dan segala hal yang mendukung terselenggaranya pelayanan kesehatan.  Karena bila hal-hal mendasar  seperti tenaga, infrastruktur  sebagai sebuah input  dalam pemberian pelayanan kesehatan  belum terpenuhi maka proses selanjutnya dan output pun dapat ditebak hasilnya.
 Jangan sampai peluang UHC untuk menyejahterakan masyarakat  justru menjadi sebuah titik lemah karena buruknya mutu pelayanan dari sisi input.  Sehingga kita berharap banyak dengan BPJS  Kesehatan ini.   Keberhasilannya,  akan  menjadi jawaban bahwa masih ada harapan masyarakat  di perbatasan untuk menikmati layanan kesehatan yang bermutu  yang menjadi haknya sebagai warga Republik ini.
           Dokter di Dinas Kesehatan Kota Tarakan dan Associate Researcher di Pusat Kebijakan  Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan , Fakultas Kedokteraan,  Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
           Email : triastutisgtm004@gmail.com