Wednesday, October 31, 2012

TB itu....


Tekad Bersama
Target Bersama
Tugas Bersama
Tanggung Jawab Bersama

Monday, October 29, 2012

Sedih Positif dan Negatif



Dari  kajian agama di satu stasiun televisi ada sesuatu yang baru buat aku. Sedih. Ternyata ada yang positif dan negatif. Padahal allah sendiri berfirman jangan bersedih. La Tahzan.  Yang seperti apa yang positif dan yang seperti apa yang negatif. Sedih yang negatif bila sedihnya berkepanjangan pada akhirnya akan membuat orang menjadi kurang produktif. Sehingga sedih negatif, memang secepatnya harus diakhiri.
Tapi ini yang baru bagiku. Sedih positif yang Justru harus dipelihara. Jadi menurut profesor Nazaruddin Umar sedih positif adalah sesuatu kesedihan yang seharusnya sengaja dipelihara. Sedih jenis ini tujuannya adalah unuk memancing supaya kita selalu dekat dengan Sang Maha Segala-galanya. Ya kita selalu ingat bahwa hanya allahlah saja yang mampu membolak-balik hati manusia. Kita senantiasa berharap bahwa hati kita selalu dalam keadaan on dengan allah.
Dari keadaan ini memang tidak selayaknya kita terlalu bergembira dengan apa-apa yang ada di sekeliling kita. Dalam keadaan yang demikian pun kita selalu diingatkan untuk dapat senantiasa bersyukur. Jadi tidak akan berlebihan dalam menanggapi kegembiraan, kebahagiaan dan keadaan –keadaan yang selalu ditafsirkan positif. Dalam keadaan saat orang banyak lupa sama Allah, justru kita seakan menjadi “anomali”. Ada “kesedihan saat gembira” dan ada “kegembiraan saat bersedih” . Istilah yang terakhir adalah istilah saya sendiri dimana semua keadaan adalah akan senantiasa berganti secara temporer, sehingga intinya selalu ada harapan dibalik semua peristiwa yang terjadi.
Saya berpikir, Itulah salah satu kendali yang cukup ampuh dalam mengarungi samudera kehidupan. Tidak ada sedih atau gembira yang permanen sehingga saat kita gembira jangan lupakan sedih posiif, dan sebaliknya saat kita mengalami kesedihan, dibaliknya ada terselip harapan kegembiraan yang pasti akan datang. Insyaallah...

Wednesday, October 10, 2012

Harga Keekonomian Sebagai Bentuk Kendali Biaya JamKesNas


Menuju Jaminan Kesehatan Nasionals
Harga Keekonomian Sebagai Bentuk Kendali Biaya JamKesNas
Tri Astuti Sugiyatmi*
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional  (JamKesNas) sudah di depan mata. Persiapan sudah banyak dikerjakan. Namun sejauh ini masih banyak masalah yang masih mengganjal. Dalam berbagai kesempatan diskusi,  isu pembayaran terhadap provider layanan menjadi bahasan yang paling alot.   Kompleksitas di dalamnya bukan hanya menyangkut beragamnya provider baik  primer  (puskesmas) dan sekunder (RS) di berbagai level, yang mempunyai karakteristik yang berbeda, namun juga keterlibatan dari semua profesi kesehatan yang ada.
Di sisi lain mekanisme pembayaran memang menjadi isu yang sangat “seksi” juga karena adanya persepsi bahwa dunia kedokteran dan kesehatan “haram” hukumnya bila harus membicarakan bayaran, gaji, ataupun upah.   Dalam menghadapi orang sakit  maka  menarik bayaran yang kecil  atau bahkan gratis sama sekali  akan sangat meringankan penderitaannya.
Hal itu pulalah yang kemungkinan  besar dipakai sebagai pembenaran badan penyelenggara asuransi kesehatan untuk  membayar  dokter/provider dengan harga yang jauh dari layak. Tentu saja   tujuannya juga untuk mendapatkanprofit  perusahaan.Istilah   kendali biaya yang memang harus diacu bersama dengan kendali mutuoleh sebuah lembaga asuransi kesehatan seringkali disalahpahami  dengan membayar sebuah profesi/faskes dengan harga serendah-rendahnya.
Penerapan JamkesNas Berkeadilan
Pada saat pasien harus membayar biaya berobatnya sendiri (out of pocket) mungkin alasan tersebut relatif masih diterima, walaupun hal ini pun akan mengundang perdebatan tersendiri.Namun jaman sudah berubah,  persepsi itu semestinya juga berubah. Saat dimana sistem JamKesNas berlaku maka urusan bayar membayarbukan lagi antara dokter dengan pasiennya tetapi bergeser antara dokter dengan badan penyelenggara atau  lembaga pembayar.
Sehingga ”harga kekeluargaan” yang cenderung tidak menghargai  sebuah profesionalisme sudah saatnya ditinggalkan. Membayar dengan harga keekonomian justru diyakini   dalam jangka panjang  justru dapat  menyelesaikan masalah yang  muncul karena pembayaran yang tidak adil atau tidak win-win solution.  Tidak kurang Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH seorang pakar asuransi kesehatan  dari UI dalam berbagai kesempatan menyatakan harga keekonomian merupakan jawaban untuk menyelesaikan  carut marutnya sistem rujukan karena tidak berfungsinya layanan primer,  tidak meratanya sebaran SDM kesehatan khususnya dokter,rendahnya mutu layanan,  serta masalah moral hazard dalam dunia asuransi.
Bagi provider, cara apapun pembayaran apakah dengan model prospektif, retrospektif ataupun kombinasi  sebenarnya tidak terlalu  masalah. Yang jelas, harga keekonomian dapat menjadi sebuah jawaban yang secara alamiah akan menyelesaikan permasalahan diatas. Dokter dan provider akan happy, angka  rujukan dalam batas normal, mutu pelayanan akan tercapai, tersebarnya dokter sampai ke pelosok negeriserta terhindarnya dari mogoknya dokter sebagaimana ancaman yang sudah dikeluarkan oleh PB IDI beberapa waktu yang lalu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pembayaran harga keekoniomian justru bisa sebagai kendali biaya dalam sebuah penerapan JamKesNas Yang berkeadilan sosial dan  dapat diharapkan sebagai momentum untuk menata sistem pelayanan kesehatan yang ada.

triastutisgtm004@gmail.com