Refleksi Hari AIDS
Sedunia, 1 Desember 2012
ODHA dan Jaminan Kesehatan
Tri Astuti Sugiyatmi *
Sejak ditemukannya HIV (Human Immunodeficiency Virus) pertama kali
pada tahun 1978 di AS maka perkembangan jumlah penderita sindroma ikutannya yaitu AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome)
cepat sekali. Tercatat 3 tahun setelahnya maka 150 negara lain ikut merasakan
dampak penularannya. Di Indonesia sendiri
kasus HIV-AIDS ini pertama
kali ditemukan pada turis asing di Bali
tahun 1987 dan sejak saat itu jumlah penderita pun terus meningkat dari tahun
ke tahun.
Pada Maret 2012 seluruh propinsi
di Indonesia sudah terkena semua dengan kasus yang tertinggi di propinsi DKI Jakarta, Jatim, Papua dan
Jabar. Kementerian kesehatan Rl mencatat angka kumulatif HIV dan AIDS yang
dilaporkan dari 1987 hingga Maret 2012 sebanyak 82.870 kasus HIV dan 30.430
kasus AIDS. Sebuah peningkatan yang sangat luar biasa! Namun diyakini bahwa situasi
tersebut baru merupakan puncak dari sebuah gunung es. Sementara “dasar” dari
iceberg phenomen tersebut
adalah angka estimasi yang dikeluarkan
oleh Kemkes RI pada tahun 2009 lalu bahwa jumlah penduduk dewasa yang berisiko
terinfeksi HIV diperkirakan mencapai
186.257 dan 6,4 juta orang berisiko tinggi terinfeksi HIV. Sebuah ancaman yang
ada di depan mata yang membutuhkan upaya nyata untuk menurunkannya, sebagaimana
tujuan milenium 2015 (MDG’S) yang ditandatangani juga oleh Indonesia.
Stigma HIV dan AIDS
Namun kenyataan yang ada di
lapangan tidaklah mudah. Banyak kontroversi
dan pro kontra dalam beberapa hal. Awal kemunculan pertamanya pada kaum homoseksual menyebabkan sebagian kalangan
memberikan stigma atau cap buruk bahwa kondisi HIV dan AIDS adalah sebagai
akibat “kutukan” karena perilaku buruk dari pelakunya seperti seks bebas dan
pemakai narkoba suntik.
Sehingga asumsi bahwa HIV-AIDS
adalah kondisi yang “dibuat sendiri”
seolah menemukan pembenarannya. Akibatnya dapat ditebak stigma dan
diskriminasi bagi penderita AIDS semakin
menjadi-jadi. HIV dan AIDS adalah sebuah
ganjaran setimpal untuk para pendosa.
Belum lagi upaya pengendalian
yang dirasakan “timpang” oleh sebagian
kalangan dimana titik beratnya hanya
pada upaya kondomisasi saja. Walaupun
memang kondom terbukti dapat sebagai barier fisik dari tertukarnya cairan
kelamin tetapi banyak kalangan terutama kaum agamawan menyesalkan promosi
kondom yang tidak pas bahkan cenderung membabi buta (membagi-bagikan di jalan
raya/ mal-mal / maupun bagi anak-anak sekolah).
Walaupun dalam perkembangannya HIV tidak hanya menulari pelaku seksual risiko
tinggi saja seperti pada kalangan
heteroseksual (77%) termasuk di dalamnya adalah ibu rumah tangga baik-baik yang
tertular dari suaminya, tetapi stigma dan diskriminasi sudah terlanjur tertancap dalam benak masyarakat awam.
Banyaknya kasus HIV pada usia dibawah 4 tahun yang mencapai 547 kasus dan usia 5 – 14 tahun berjumlah 242 kasus yang
kemungkinan karena tertular dari ibunya serta sekitar 8 ribuan ibu hamil
yang positif HIV masih belum memudarkan
pandangan sinis, tindakan pengucilan bahkan pengusiran kepada para penderita
ini.
HIV dan AIDS dalam asuransi
Akibat buruk dari stigma itu
ternyata juga berdampak pada dunia asuransi kesehatan. Sebagaimana lazimnya
dalam sebuah jaminan / asuransi kesehatan maka terdapat aturan maupun
persyaratan untuk dapat mengaksesnya dan memanfaatkan benefit yang ada baik pada layanan
primer seperti puskesmas ataupun dokter
keluarga maupun pada layanan tingkat lanjut di RS. Di samping itu selain
terdapat klausul pelayanan yang dijamin dalam asuransi kesehatan, juga
tercantum pelayanan yang dibatasi (limitation)
serta pelayanan yang menjadi kekecualian (exclusion).
Pelayanan yang tidak sesuai
prosedur, pelayanan yang hanya bertujuan kosmetis, kondisi bencana serta bakti
sosial memang dirasa wajar bila hal tersebut tidak ditanggung asuransi. Dalam
kelompok ini juga biasanya terdapat kondisi sakit atau penyakit yang dianggap “dibuat sendiri” seperti
ketergantungan obat, alkohol, penyakit akibat rokok,upaya bunuh diri dan
infeksi menular seksual (IMS).
Namun yang sering salah
kaprah bahwa dalam HIV dan AIDS
seringkali diidentikkan dengan IMS itu sendiri. Dalam kenyataannya memang
IMS menjadi salah satu pintu masuk bagi
HIV dan AIDS. Namun tidak semua HIVdan AIDS
disebabkan karena perantara IMS. Karena ternyata
pasien HIV dan AIDS juga
bisa didapat dari kegiatan lain
seperti transfusi darah, pemakaian jarum suntik yang tidak steril (pasien
mendapatkan di layanan kesehatan yang ada), anak yang tertular karena dari ibu hamil yang positif (5,1%) atau bahkan yang paling ekstrim adalah
kejadian HIV dan AIDS yang bersifat kecelakaan / human error pada tenaga medis
saat mengelola pasien HIV-AIDS.
Saat ini untuk pemeriksaan HIV di klinik VCT (voluntary counselling and testing) dan
pengobatan pada klinik CST (care support
and treatment) pada layanan pemerintah adalah masih gratis. Permasalahan cukup besar terjadi saat pasien harus rawat inap. Bisa jadi karena stigma dan diskriminasi tadi
maka pihak asuransi biasanya tidak mau
membayar. Seringkali pihak yang merawat/RS hanya mencantumkan infeksi
opportunistik (gejala yang tampak dari
kondisi AIDS) sebagai diagnosa dalam
catatan medisnya. Pihak asuransi sangat
tidak berkenan bila muncul istilah HIV dan AIDS dalam rekam medik maupun dalam
tagihan.
Sekilas hal tersebut tidak
menjadi problem karena pasien toh tetap
tertangani. Masalah baru muncul ketika
rekam medis menjadi kurang mampu
telusur dalam kaitannya dengan HIV dan AIDS. Akibatnya tidak sederhana dan bisa
jadi akan sangat panjang. Ujung-ujungnya
data epidemiologi yang ada menjadi tidak akurat yang
berakibat pada perencanaan dan pengambilan keputusan yang kurang tepat
pada level pengambil kebijakan.
Di sisi lain obat-obat untuk
mengatasi gejala-gejala yang muncul dari
HIV-AIDS ini bisa jadi sangat menguras
kantong yang akan membuat berakibat membuat miskin si penderita (katastropik). Belum lagi penderitaan yang dialami akibat
stigma maupun kondisi fisiknya saat drop juga akan mempersulit kondisi sosial ekonomi
pasien. Sehingga bantuan pengobatan
melalui asuransi penulis anggap cukup
penting sebagaimana jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) seperti selama
ini. Semoga juga dalam pelaksanaan Jaminan
Kesehatan Nasional (Jamkesnas) tahun
2014 nanti demikian adanya.