Friday, December 28, 2012

ODHA dan Jaminan Kesehatan


Refleksi Hari AIDS Sedunia, 1 Desember 2012
ODHA dan Jaminan Kesehatan
Tri Astuti Sugiyatmi *

Sejak ditemukannya HIV (Human Immunodeficiency Virus)  pertama kali  pada tahun 1978 di AS maka  perkembangan  jumlah penderita sindroma ikutannya yaitu AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) cepat sekali. Tercatat 3 tahun setelahnya maka 150 negara lain ikut merasakan dampak penularannya. Di Indonesia sendiri  kasus  HIV-AIDS ini pertama kali   ditemukan pada turis asing di Bali tahun 1987 dan sejak saat itu jumlah penderita pun terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada Maret 2012 seluruh propinsi di Indonesia sudah terkena semua dengan kasus yang tertinggi  di propinsi DKI Jakarta, Jatim, Papua dan Jabar. Kementerian kesehatan Rl mencatat angka kumulatif HIV dan AIDS yang dilaporkan dari 1987 hingga Maret 2012 sebanyak 82.870 kasus HIV dan 30.430 kasus AIDS. Sebuah peningkatan yang sangat luar biasa! Namun diyakini bahwa situasi tersebut baru merupakan puncak dari sebuah gunung es. Sementara  “dasar” dari  iceberg phenomen tersebut adalah angka  estimasi yang dikeluarkan oleh  Kemkes  RI pada tahun 2009 lalu  bahwa jumlah penduduk dewasa yang berisiko terinfeksi HIV  diperkirakan mencapai 186.257 dan 6,4 juta orang berisiko tinggi terinfeksi HIV. Sebuah ancaman yang ada di depan mata yang membutuhkan upaya nyata untuk menurunkannya, sebagaimana tujuan milenium 2015 (MDG’S) yang ditandatangani juga oleh Indonesia.
Stigma  HIV dan AIDS
Namun kenyataan yang ada di lapangan tidaklah mudah. Banyak kontroversi  dan pro kontra dalam beberapa hal. Awal kemunculan pertamanya  pada  kaum homoseksual menyebabkan sebagian kalangan memberikan stigma atau cap buruk bahwa kondisi HIV dan AIDS adalah sebagai akibat “kutukan” karena perilaku buruk dari pelakunya seperti seks bebas dan pemakai narkoba suntik. 
Sehingga asumsi bahwa HIV-AIDS adalah kondisi yang “dibuat sendiri”  seolah menemukan pembenarannya. Akibatnya dapat ditebak stigma dan diskriminasi bagi penderita AIDS  semakin menjadi-jadi. HIV dan AIDS adalah  sebuah ganjaran setimpal untuk para pendosa. 
Belum lagi upaya pengendalian yang  dirasakan “timpang” oleh sebagian kalangan dimana titik beratnya   hanya pada upaya  kondomisasi saja. Walaupun memang kondom terbukti dapat sebagai barier fisik dari tertukarnya cairan kelamin  tetapi  banyak kalangan  terutama kaum agamawan menyesalkan promosi kondom yang tidak pas bahkan cenderung membabi buta (membagi-bagikan di jalan raya/ mal-mal / maupun bagi anak-anak sekolah).
Walaupun dalam perkembangannya   HIV  tidak hanya menulari pelaku seksual risiko tinggi  saja seperti pada kalangan heteroseksual (77%) termasuk di dalamnya adalah ibu rumah tangga baik-baik yang tertular dari suaminya, tetapi stigma dan diskriminasi sudah terlanjur  tertancap dalam benak masyarakat awam. Banyaknya kasus HIV pada usia dibawah 4 tahun  yang mencapai 547 kasus dan  usia 5 – 14 tahun berjumlah 242 kasus  yang  kemungkinan karena tertular dari ibunya serta sekitar 8 ribuan ibu hamil yang positif HIV  masih belum memudarkan pandangan sinis, tindakan pengucilan bahkan pengusiran kepada para penderita ini.
HIV dan AIDS dalam asuransi
Akibat buruk dari stigma itu ternyata juga berdampak pada dunia asuransi kesehatan. Sebagaimana lazimnya dalam sebuah jaminan / asuransi kesehatan maka terdapat aturan maupun persyaratan untuk dapat mengaksesnya dan memanfaatkan  benefit yang ada baik pada layanan primer  seperti puskesmas ataupun dokter keluarga maupun pada layanan tingkat lanjut di RS. Di samping itu selain terdapat klausul pelayanan yang dijamin dalam asuransi kesehatan, juga tercantum pelayanan yang dibatasi (limitation) serta pelayanan yang menjadi kekecualian (exclusion).
Pelayanan yang tidak sesuai prosedur, pelayanan yang hanya bertujuan kosmetis, kondisi bencana serta bakti sosial memang dirasa wajar bila hal tersebut tidak ditanggung asuransi. Dalam kelompok ini juga biasanya terdapat  kondisi  sakit atau penyakit  yang dianggap “dibuat sendiri”  seperti  ketergantungan obat, alkohol, penyakit akibat rokok,upaya bunuh diri dan infeksi menular seksual (IMS).
Namun yang sering salah kaprah  bahwa dalam HIV dan AIDS seringkali diidentikkan dengan IMS itu sendiri. Dalam kenyataannya memang IMS  menjadi salah satu pintu masuk bagi HIV dan AIDS. Namun  tidak semua HIVdan AIDS disebabkan karena perantara IMS.  Karena  ternyata  pasien HIV  dan AIDS  juga  bisa didapat dari  kegiatan lain seperti transfusi darah, pemakaian jarum suntik yang tidak steril (pasien mendapatkan di layanan kesehatan yang ada),  anak yang tertular karena  dari ibu hamil   yang positif (5,1%)  atau bahkan yang paling ekstrim adalah kejadian HIV dan AIDS  yang bersifat  kecelakaan / human error pada tenaga medis  saat mengelola pasien HIV-AIDS.
Saat ini  untuk pemeriksaan HIV di klinik VCT (voluntary counselling and testing) dan pengobatan pada klinik CST (care support and treatment) pada layanan pemerintah adalah masih gratis. Permasalahan  cukup besar terjadi saat pasien  harus rawat inap.  Bisa jadi karena stigma dan diskriminasi tadi maka  pihak asuransi biasanya tidak mau membayar. Seringkali pihak yang merawat/RS hanya mencantumkan   infeksi opportunistik  (gejala yang tampak dari kondisi AIDS) sebagai diagnosa   dalam catatan medisnya.  Pihak asuransi sangat tidak berkenan bila muncul istilah HIV dan AIDS dalam rekam medik maupun dalam tagihan.
Sekilas hal tersebut tidak menjadi  problem karena pasien toh tetap tertangani. Masalah baru muncul ketika  rekam medis menjadi  kurang mampu telusur dalam kaitannya dengan HIV dan AIDS. Akibatnya tidak sederhana dan bisa jadi  akan sangat panjang. Ujung-ujungnya data epidemiologi  yang  ada menjadi tidak  akurat yang  berakibat pada perencanaan dan pengambilan keputusan yang kurang tepat pada level pengambil kebijakan.
Di sisi lain obat-obat untuk mengatasi  gejala-gejala yang muncul dari HIV-AIDS ini  bisa jadi sangat menguras kantong yang akan membuat berakibat membuat miskin si penderita (katastropik).  Belum lagi penderitaan yang dialami akibat stigma  maupun kondisi fisiknya saat drop  juga akan mempersulit kondisi sosial ekonomi pasien.  Sehingga bantuan pengobatan melalui asuransi  penulis anggap cukup penting sebagaimana jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) seperti selama ini.  Semoga juga dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional  (Jamkesnas) tahun 2014 nanti demikian adanya.  

TIPS DAN TRIKS UNTUK HEMAT



1.       Hemat accu ;
- selalu matikan AC saat mobil berhenti, karena seringkali kita lupa langsung menyetater  mobil saat terburu2 . tidak melihat AC yang masih on. Ini akan membuat accu cepat habis.
- Bila  menunggu tetapi membutuhkan AC maka mesin harus nyala, karena untuk penghematan accu mobil
2.       Hemat belanjaan :
-          Memasak menyesuaikan dengan sayuran yang paling dulu masuk kulkas . Sehingga bila belanja tidak terlalu banyak tetapi yang lengkap.
-          Memasak sesuai dengan kebutuhan
-      Untuk barang pabrikan yang paling hampir dekat yang ED.
3.   Hemat Pulsa :
      -telpon memakai produk yang ada discountnya
      - memanfaatkan fasiitas wv umum.
      - tidak ngobrol untuk hal-hal yang tidak perlu
4.  Hemat bensin:
     - memakai mobil untuk hal-hal  yang butuh tempat yang luas. Belanja ke pasar, mengangkut  lebih banyak orang (supaya manfaat mobil lebih maksimal).
     - merencanakan kegiatan yang satu arah
     -  dengan rute terpendek
     -  Bila terjangkau dengan jalan atau  naik sepeda hal itu malah lebih sehat,
     -  Bila memungkinkan maka saat menunggu,  sebaiknya mesin mobil dimatikan

5.       Hemat listrik :
-          Mematikan listrik yang tidak terpakai (lampu)
-          Mematikan alat elektronik yang sedang tidak dipakai (TV, laptop dll)
-          Memakai produk elektronik yang hemat listrik
6.       Hemat waktu :
-           menjadikan kegiatan dengan manajemen waktu yang baik, menulis jadwal  kegiatan.
-          Untuk hal yang yang dapat disambil maka dikerjakan secara simultan : mencuci di mesin cuci sambil melakukan kegiatan lain. Dll



Monday, December 17, 2012



Endemis, Tarakan Kenalkan Topi Anti DBD
Sabtu, 15 Desember 2012 , 18:55:00
http://www.jpnn.com/picture/thumbnail/20121215_150640/150640_652210_Nyamuk.jpg
TARAKAN – Berdasarkan catatan Dinas Kesehatan Kota Tarakan, sepanjang Januari hingga Oktober tahun ini, terjadi 239 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan 4 penderita diantaranya meninggal dunia. Dimana dari 20 kelurahan yang ada di Tarakan, seluruhnya merupakan endemik atau minimal dalam tiga tahun terakhir di setiap kelurahan selalu ada penemuan kasus DBD. Pihak Dinas Kesehatan Kota Tarakan, melalui Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) pun menyebutkan bahwa data diatas dapat diartikan bahwa kejadian kasus DBD di Tarakan cukup tinggi.

Pun demikian, pada dekade sebelum tahun 2007, secara sporadis ada kelurahan yang bebas dari DBD, dan sejak tahun 2007 hingga 2010, selalu ditemukan kasus DBD di setiap kelurahan. Lalu, pada tahun 2011, Dinas Kesehatan memastikan ada dua kelurahan yang tingkat kejadian kasus DBD-nya nol, yakni Kelurahan Pantai Amal dan Mamburungan Timur.

“Sementara di 2012, ditemukan lagi kasus DBD di setiap kelurahan. Ini menunjukkan bahwa kasus DBD di Tarakan sangat dipengaruhi oleh cuaca Tarakan yang begitu tinggi curah hujannya,” ungkap dr Hj Tri Astuti Sugiyatmi, Kepala Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Bidang P2PL pada Dinas Kesehatan Kota Tarakan, seperti dilansir Radar Tarakan, Sabtu (14/12).

Sementara itu, dilihat dari tingkat Angka Bebas Jentik (ABJ), kelurahan yang paling tinggi ABJ-nya adalah Kelurahan Kampung VI. Ini dikarenakan program pemantauan jentik nyamuk lewat Juru Pemantau Jentik (Jumantik) berjalan secara berkelanjutan. Pun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa di kelurahan ini masih ada kasus DBD.

“Kemungkinan besar, penjangkitan DBD di wilayah Kelurahan Kampung VI berasal dari gigitan nyamuk dari daerah lain saat warga Kampung VI bekerja atau beraktivitas di luar wilayah Kampung VI,” ulasnya.

Selain melakukan pemantauan kasus DBD lewat Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), Dinas Kesehatan juga mengupayakan penanganan penularan DBD dengan mencegah pengembangbiakan jentik nyamuk pembawa virus DBD lewat program abatisasi. Meski abatisasi dinilai cukup efektif untuk memutus rantai pengembangbiakan nyamuk, Dinas Kesehatan tetap mengusahakan cara lain yang lebih efektif dan dapat diterapkan di seluruh rumah tangga. Salah satu cara yang masih dalam tahap pengenalan dan baru diperkenalkan kemarin oleh Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit adalah Topi Anti DBD yang merupakan adaptasi dari model serupa di India namun tidak dengan jala berinsektisida.

Disebutkan dr Tri, pengembangan Topi Anti DBD ini dilakukan pihaknya setelah mendapat pelatihan manajemen DBD oleh Kementerian Kesehatan RI pada bulan Februari lalu. Diliriknya model ini, menurut dr Tri karena dinilai cukup efektif menangani DBD ditambah lagi kondisi di Tarakan yang banyak kemiripan dengan India.

“Masalah di Tarakan itu kan kesulitan mendapatkan sumber air, sehingga kebanyakan masyarakat memanfaatkan air hujan yang ditampung didalam drum atau profil tank. Dan, seperti kita tahu, tempat penampungan air hujan seperti itu adalah tempat istimewa bagi nyamuk bertelur, menyebarkan jentik nyamuk hingga menjadi nyamuk dewasa,” ungkap dr Tri.

Meski belum ada penelitian secara spesifik maupun studi akademis terukur terkait efektivitas Topi Anti DBD memutus rantai pengembangbiakan jentik nyamuk dan mengurangkan ABJ di Indonesia, secara teknis, perangkat yang berbahan jala halus mirip kelambu yang didesain sedemikian rupa sehingga mirip topi atau penutup kepala berkaret elastis ini, mampu mencegah masuknya nyamuk dewasa kedalam penampungan air. Dengan begitu, maka nyamuk dewasa tidak akan mampu menempatkan larvanya yang kemudian menjadi jentik hingga berubah menjadi nyamuk dewasa. “Dengan Topi Anti DBD ini, singkatnya air hujan bisa masuk ke dalam drum atau profil, tapi nyamuk tak bisa masuk karena lubang jalanya begitu kecil,” urai dr Tri.

Jika model ini berkembang luas di Tarakan, maka bisa jadi Tarakan merupakan daerah pertama di Indonesia yang mempopulerkan Topi Anti DBD ke masyarakat. Kelebihan lain dari alat sederhana ini adalah, tak sulit untuk mendapatkan bahan maupun pembuatannya.

”Kain apa saja bisa dirangkai menjadi alat ini, dan harga bahannya juga tidak terlalu mahal. Untuk besar Topi Anti DBD-nya, dapat menyesuaikan dengan besar penampang atas drum atau profil, tak ada masalah,” tukas dr Tri.(ndy)

Sunday, December 16, 2012

Waspadai DBD...dengan "Topi Anti DBD"


Di beberapa daerah kelihatannya kasusnya naik lagi dalam musim penghujan ini. Penyebutan Topi Anti DBD terkesan berlebihan....memang! Memang ini bukan topi sehari-hari yang dipakai di kepala tetapi topinya drum/profil atau berbagai penampungan air lain. Prinsipnya penutup seperti topi dari bahan kasa nyamuk atau kain lain dengan karet sebagai pengikat akan m...
enghalangi nyamuk dewasa untuk bertelur di air yang akan jadi larva, pupa dan nyamuk dewasa lagi... sehingga diharapkan jentik tidak ada, nyamuk tidak ada dan DBD secara otomatis juga akan mengikuti. Untuk daerah yang agak kesulitan air, maka menampung air hujan adalah wajib hukumnya. Selama ini rata-rata warga enggan menutup penampungan airnya dengan alasan kalo ditutup maka tidak mendapat air. Nah topi DBD ini mengakomodir dua hal itu. Tetap mendapat air, dan "mudah-mudahan" secara fisik dapat menjadi penghalang bagi nyamuk untuk bertelur di dalam air tersebut... Topi Anti DBD dapat dibuat dari berbagai macam kain. Bahkan kain perca sekalipun. Memang belum terbukti secara ilmiah...Tapi untuk sebuah trik menyiasati keadaan, bisa jadi menjadi salah satu alternatif di daerah yang relatif mempunyai masalah dengan ketersediaan air bersih...

Friday, December 7, 2012

Cermin itu

Ada buku bagus tentang : "Dilema Bangsaku" :Pandangan Seorang Dokter. kumpulan opini dari seorang ahli bedah yang sangat luar biasa dalam koran Jawa Pos. dr. Ario Djatmiko, SpB pengarangnya.Yah, memang masih banyak dibutuhkan pemikiran kritis seperti ini baik terhadap masalah-masalah kesehatan secara umum maupun dunia kedokteran.
Kadang bila yang menulis "orang lain"  maka seringkali kita menjadi tidak terima bila dikritik2. Tetapi bila kita menerima kritikan itu dari kalangan sendiri yang juga pernah mengalami suka dukanya menjadi mahasiswa kedokteran, dokter muda atau co ass serta pasti pernah menyandang gelar sebagai dokter umum, pastilah akan lebih mengena dan tidak asal berkomentar.
Kita menjadi tersadar bahwa betapa dari kalangan  kita  sendiri , kadang masih menjadi bagian dari masalah dunia kedokteran dan kesehatan itu denan bantuan cermin diri. Yah, dengan  bantuan   cermin itu maka kita jadi bisa melihat muka sendiri. betapa masih banyak bopeng-bopeng wajah diri kita. Muncul luka-luka di sana-sini. Sering kita untuk menutupinya maka hanya mengoleskan bedak tebal-tebal untuk menutupinya. Tetapi kita juga sering tidak bisa mencegah tangan kotor kita mengulik-ulik wajah kita yang pada akhirnya akan membuat bisul dan luka di wajah kita.
Yah untuk melihat wajah dengan baik kita butuh  cermin. Dan di buku ini kita bisa bercermin. Melihat kekuranagn2 kita.... Ada satu prolog yang sangat baik di dalamnya: bahwa membangun reputasi adalah tidak bisa mendadak. Tetapi membutuhkan waktu yang panjang bahkan sangat panjang. Dibutuhkan juga konsistensi sekaligus. Hebatnya  pengarang buku ini sudah membuktikannya... Selamat datang dokter pejuang. Seorang pemimpin. Mudah2 an akan makin banyak lahir dokter2 pejuang yang lain......