Waspada Puncak Musim
Penghujan:
AWAS.... DBD MENGANCAM KITA !!
Tri Astuti Sugiyatmi*
Isu-isu tentang perubahan iklim (climate change) akibat proses pemanasan
global (global warming) cukup mengemuka dalam beberapa waktu ini. Beberapa
bidang kehidupan diyakini akan terkena dampaknya. Bidang lingkungan hidup
termasuk di dalamnya adalah sumber daya
air serta bidang kesehatan juga menjadi
salah satu bidang yang cukup rentan
terkena perubahan iklim ini.
Tarakan, Sebagai kota pulau tentu
juga harus mulai mengantisipasi
peristiwa yang sekarang menjadi
perhatian seluruh dunia ini. Tarakan dikatakan oleh orang awam “tidak ada
musim” yang menggambarkan tidak ada batas yang tegas antara musim kemarau dan
penghujan sebagaimana laiknya di berbagai pulau besar seperti pulau Jawa. Ternyata,
dari sebuah studi yang berdasarkan dari data pengamatan jangka panjang
yang dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) bersama dengan Pemkot
Tarakan pada tahun lalu yang didukung
oleh GIZ serta AusAID menyatakan dalam kaitannya dengan curah hujan maka
Tarakan mempunyai dua kali puncak hujan
yaitu sekitar April dan November dengan rata-rata curah hujan sekitar 310 mm
per bulan. Di samping itu temperatur
udara rata-rata kota Tarakan yang
sekitar 26,90C dengan variasi kurang dari 10C.
Dengan curah hujan dan temperatur
yang sedemikian rupa maka kota kita menjadi rentan dengan
beberapa penyakit yang mengancam. Penyakit yang seringkali dipengaruhi
oleh perubahan pada keadaan iklim yaitu
suhu dan curah hujan adalah penyakit demam berdarah dengue (DBD), malaria serta
diare.
Ancaman DBD
Khusus untuk penyakit DBD yang
sering memakan korban jiwa dalam
beberapa tahun terakhir, dengan hampir seluruh kelurahan dalam situasi yang endemis (selama 3 tahun berturut-turut selalu ada
kasus DBD di wilayahnya) maka tidak ada salahnya mulai sekarang kita mulai
menginventarisir permasalahan yang ada di lingkungan masing-masing. Terkait
dengan hal tersebut maka yang bisa dikerjakan secara dini dan dalam jangka
panjang adalah memastikan bahwa lingkungan rumah aman dari bahaya DBD ini.
Wilayah pesisir dengan jumlah
penduduk yang cukup padat dengan cakupan air bersih yang kurang mencukupi
dianggap mempunyai risiko yang cukup
tinggi terhadap penyakit ini. Kita bisa
maklum karena dengan padatnya penduduk maka otomatis kebutuhan air akan
meningkat sehingga daerah yang belum teraliri pipa PDAM maka akan berusaha
untuk menampung air hujan sebanyak mungkin di berbagai tempat penampungan. Nah, ternyata bahwa tempat penampungan air
(TPA) inilah yang menjadi salah satu “Surga” bagi perindukan nyamuk Aedes aegypty sebagai penyebab DBD.
Nyamuk ini akan bertelur di air yang tidak berhubungan dengan tanah yang tidak
tertutup. Telur ini akan menjadi jentik dan berubah jadi pupa dan akan kembali
menjadi nyamuk kembali dalam waktu sekitar 1-2 minggu. Sehingga memang dapat
dipahami bila hasil studi ini
memprediksikan bahwa akan terjadi
kenaikan angka DBD pada tahun-tahun mendatang menjadi sebuah ancaman yang sudah ada di depan
mata, saat ini juga menghadapi April sebagai puncak musim hujan.
Selama ini angka bebas jentik
(bukan bebas nyamuk !!) di kota Tarakan
masih cukup rendah. Hanya berkisar sekitar atau bahkan kurang dari 50 % saja. Artinya
bila kita memeriksa 100 rumah maka rumah dengan bebas jentik hanya berkisar 48
tempat saja . Padahal kabarnya di Singapura ABJ nya mencapai 90 %. Maka tentu saja menjadi sesuatu yang “wajar”
bila DBD menjadi endemik di Tarakan.
Strategi Adaptasi
Menghadapi hal tersebut maka dibutuhkan suatu strategi dan kegiatan
adaptasi dalam menghadapi ancaman DBD yang
sampai sekarang tidak ada obat dan vaksinnya ini. Sebenarnya untuk
menaikkan ABJ tidak terlalu sulit. Hanya dibutuhkan
ketelatenan dan konsistensi yang tinggi yang tinggi. Maka dibutuhkan upaya kerjasama yang tidak bisa hanya
dikerjakan oleh orang kesehatan sendiri seperti rekomendasi dari hasil studi
ini juga.
Para pengelola kantor atau gedung
baik tempat umum harus ikut peduli dengan kondisi ini. Diharapkan pada gedung kawasan bisnis (pasar, pusat
perbelanjaan), tempat umum lain seperti pelabuhan, bandara, hotel, restoran,
sekolah, gedung perkantoran harusnya sudah mulai care dengan tempat penampungan air yang ada di gedungnya. Sering kita dapati kamar mandi di tempat-tempat
tersebut terisi air sekaligus jentik, yang menandakan aktivitas
pembersihan tidak dirutin dikerjakan
minimal dalam 1-2 minggu itu.
Begitu juga rumah tangga yang
juga mempunyai tempat penampungan air seperti profil tank, dispenser,
penampungan air di belakang kulkas, vas
bunga, gentong air dan drum seringkali juga menjadi tempat yang luput dari
pemeriksaan jentik.
Tingginya angka konsumsi terhadap
makanan kemasan menyebabkan sampah seperti
botol, kaleng, beserta wadah plastik yang berserakan yang terbuka akan dapat menampung air hujan juga menjadi
tempat perindukan nyamuk yang punya ciri-ciri hitam berbintik putih ini.
Fogging dan Larvasidasi
Sebelum Masa Penularan
Kegiatan lain seperti fogging
selama ini yang sering kali dianggap sebagai “tindakan nyata” terhadap DBD ini
hanya menempati porsi yang tidak terlalu signifikan dalam pengendalian DBD ini.
Fogging hanya menyemprotkan asap yang sudah dicampur dengan insektisida hanya sanggup menjangkau nyamuk dewasa saja
dalam radius fogging tersebut. Sementara
telur, jentik dan kepompongnya yang ada di air tidak tersentuh dengan
asap ini akan siap menjadi nyamuk dewasa lagi dalam beberapa
waktu kemudian.
Memang saat terjadi kasus penularan DBD maka fogging berfungsi
hanya memutus rantai penularan. Sehingga seringkali fogging diibaratkan pemadam
kebakaran, datang saat sudah terjadi !!. Memang tidak terlalu salah,
karena sebelum terjadi penularan
pemberian fogging dalam banyak studi dianggap
tidak terlalu bermakna dalam
menurunkan angka kasusnya.
Yang sering terjadi setelah
pemberian fogging masyarakat merasa
sudah “aman” tanpa merasa perlu bergerak kembali dengan kegiatan
lanjutannya maka biasanya justru kasus
akan kembali bermunculan. Pada saat terjadi kewaspadaan masyarakat melemah justru
biasanya kasus akan semakin meningkat.
Untuk daerah Tarakan yang menjadi
penampung air dalam jumlah besar maka program larvasidasi ( pemberian
insektisida di air) lebih mempunyai dampak yang baik daripada fogging. Larvasida
mempunyai efek yang lebih panjang yaitu sekitar
3 bulanan.
Sementara untuk kegiatan yang
lebih ramah lingkungan adalah dengan pemberian ikan-ikan pemakan jentik atau
dengan memberi “topi Anti DBD” yaitu sebuah modifikasi tutup air dari bahan
kelambu (kasa anti nyamuk). Topi anti
DBD mempunyai keuntungan dimana orang tetap dapat menampung air tetapi
diharapkan nyamuk akan terhalangi saat akan bertelur.
Memang dalam menghadapi ancaman DBD maka tidak ada cara lain selain
bekerja sama untuk meningkatkan ABJ dengan berbagai cara. Kombinasi berbagai
kegiatan tersebut harus kita laksanakan sesuai kebutuhan, situasi dan kondisi.
Kita bersama dapat memulainya dengan kegiatan sederhana yaitu, 3M (
menutup dan menguras penampungan air serta menyingkirkan benda bekas). Sesuatu yang mempunyai makna lain dengan
menyitir AA Gym tapi cocok juga untuk
kita dalam menghadapi ancaman DBD. Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal yang
kecil dan dari Mulai dari sekarang !!!
*Kasi Pengendalian dan Pencegahan Penyakit - Dinas
Kesehatan Kota Tarakan