Sunday, February 24, 2013

Etika Birokrasi




Membaca “ ETIKA BIROKRASI DALAM MEWUJUDKAN PELAYANAN PUBLIK “ oleh Valdhe Karundeng membuatku makin ngeh bahwa kata sakral ini seringkali dipahami secara salah. Bahwa barangsiapa ada yang tidak menyetujui dengan kebijakan atasan dan pimpinan maka dianggap melanggar etika birokrasi.
Padahal etika birokrasi justru membuka peluang untuk diskusi secara equal untuk bersama mencari kebenaran dan mengedepankan moral dalam pengambilan keputusannya (poin7 dan 8 makalah ini). Karena tentu saja kebenaran bukan hanya bisa muncul dari seorang yang sedang berposisi sebagai atasan dan pimpinan saat ini. Tapi juga bisa dari seorang yang berposisi yang paling bawah sekalipun. 
Lihatlah apa isi ucapannya jangan melihat siapa yang berbicara.

Berikut makalah lengkap dari Valdhe Karundeng yang bisa menjadi bahan bacaan ( Mohon Ijin share ya Pak ) 

ETIKA BIROKRASI DALAM MEWUJUDKAN PELAYANAN PUBLIK
Berbicara tentang Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas,terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan atau gejalayang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggaraturan main yang telah ditetapkan. Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahansangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakantugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan, yaitufungsi pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Jadiberbicara tentang Etika Birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasitersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yangseharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya dimana telahditentukan atau diatur untuk ditaati dilaksanakan.
Etika Administrasi Negara dari American society for Public Administration(Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara), menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut:
1)      Pelayanan terhadap publik harus diutamakan;
2)      Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan publik secara mutlak bertanggung jawab kepadanya,
3)      Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum atau peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari cara terbaik untuk memberi pelayanan publik;
4)      Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi administrator publik. Penyalahgunaan, pemborosan, dan berbagai aspek yang merugikan tidak dapat ditolerir;
Sistem merit  dan kesempatan kerja yang sama harus didukung, diimplementasikan dan dipromosikan;
5)      Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan;
6)      Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empathy merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus dipromosikan;
7)      Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih alternatif keputusan;
8)      Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran (Wachs, 1985).
Setiap kehidupan bermasyarakat, manusia pasti memerlukan pelayanan dari orang lain, baik pelayanan fisik maupun pelayanan administratif. Kaitannya dengan pelayanan publik maka dalam hal ini birokrasi sebagai abdi negara, abdi masyarakat adalah sebagai aparat pelaksana pelayanan (public service) merupakan salah satu fungsi yang diselenggarakan dalam rangkapenyelenggaraan administrasi negara.Moenir (1992), mengatakan pelayanan adalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas yang dilakukan oleh orang lain secara langsung. Menurutnya secara garis besar, pelayanan yang diperlukan oleh manusia pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu “pelayanan fisik yang sifatnya pribadi sebagai manusia” dan “pelayanan administrative yang diberikan oleh orang lain selaku anggota organisasi”. Perihal bentuk pelayanan tersebut, lebih lanjut Moenir mengatakan sebagai berikut :
Pelayanan dengan lisan :
Pelayanan yang dilakukan oleh petugas-petugas dibidang hubungan kemasyarakatan, bidang layanan informasi, bidang penerangan, dan bidang-bidang lainnya yang tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada siapapun yang memerlukan. Agar pelayanan dengan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka pelaku pelayanan harus:
1)      Memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam bidang tugasnya;
2)      Mampu memberikan penjelasan apa yang diperlukan dengan lancar, singkat tetapi cukup jelas sehingga memuaskan mereka yang ingin memperoleh kejelasan mengenai sesuatu;
3)      Bertingkah laku sopan dan ramah-tamah;
4)      Meski dalam keadaan “sepi” tidak “ngobrol” dan bercanda dengan teman, karena menimbulkan kesan tidak disiplin dan melalaikan tugas. Tamu menjadi segan  untuk bertanya dengan memutus keasyikan “ngobrol”;
5)      Tidak melayani orang-orang yang ingin sekedar “ngobrol” dengan cara sopan.
Pelayanan melalui tulisan :
Merupakan bentuk yang paling menonjol dalam pelaksanaan tugas, tidak hanya dari segi jumlah tetapi juga dari segi peranannya. Agar pelayanan dalam bentuk tulisan dapat memnuhi kepuasan pihak yang dilayani, satu faktor kecepatan baik dalam pengolahan masalah maupun dalam proses penyelesaiannya (pengetikan, penandatanganan, dan pengiriman kepada yang bersangkutan).Pelayanan tulisan terdiri dari dua golongan, yaitu: pertama, pelayanan berupa petunjuk, informasi dan sejenisnya yang ditujukan pada orang yang berkepentingan, agar memudahkan mereka dalam berurusan dengan instansi/lembaga; dan kedua, pelayanan berupa reaksi tulisan atas permohonan, laporan, keluhan, pemberian/penyerahan, pemberitahuan dan lain sebagainya.
Pelayanan berbentuk perbuatan :
Dalam kenyataan sehari-hari jenis pelayanan ini memang tidak terhindar dari pelayanan lisan. Jadi merupakan gabungan antara pelayanan lisan dan perbuatan. Hal ini banyak dilakukan dalam hubungannya dengan pelayanan (kecuali pelayanan tulisan). Titik berat dari pelayanan perbuatan ini adalah terletak pada perbuatan itu sendiri yang ditunggu oleh yang berkepentingan. Jadi tujuan utama orang yang berkepentingan adalah mendapatkan pelayanan dalam bentuk perbuatan atau hasil perbuatan, bukan sekedar penjelasan dan kesanggupan secara lisan.
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih banyak merupakan kombinasi dari ketiga bentuk pelayanan tersebut di atas. Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi, yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan seperti ini diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi patut menjadi teladan. Mereka tidak melakukan sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat, misalnya; korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Saturday, February 16, 2013

Tunas Integritas

wow luar biasa untuk peluncuran buku bacaan anak-anak Tunas Integritas oleh Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK). aku belum membacanya tapi dapat membayangkan apa-apa yang termuat di dalamnya. Ya pengembangan karakter untuk anak-anak yang perlu ditanamkan untuk bisa tumbuh menjadi pribadi anti korupsi....persoalan yang sekarang sedang membelit di semua lini kehidupan bangsa ini. Persoalan yang seakan tiada ujung ini....
Nilai anti korupsi ternyata sangat kompleks.  kejujuran, rasa tanggung jawab, disiplin, adil, berani,peduli,  mandiri, kerja keras  dan sederhana.
Ternyata pribadi anti korupsi memang pribadi pilihan yang mempunyai watak yang sangat high quality. Ya  memang orang yang punya kesempatan adalah juga orang pilihan artinya hanya orang yang mempunyai wewenang saja. alias pejabat di level manapun. Jadi pribadi anti korupsi adalah pribadi pilihan diantara pilihan yang sudah baik. Walaupun perilaku mengutip, mengentit, dan sebangsanya juga dapat terjadi di instansi non pemerintah juga.
Kesimpulannya tidak cukup hanya sekedar jujur yang menjadi bekal anti korupsi tetapi harus  ditunjang sikap baik lainnya. Sederhana dalam bersikap wow...sungguh luar biasa pada tataran orang yang mmapu tetapi menerapkan konsep ini. Mudah2 an bacaan ini juga menjadi inspirasi bagi kita yang sudah tua-tua ini selain tentu juga bagia anak-anak kita penerus generasi yang akan datang.
Mudah-mudahan kita diberikan kekuatan untuk selalu mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah...dan menjadi salah satu barisan yang akan mengusung tunas integritas ini. Semoga Allah menjaga kita . Amin.

Wednesday, February 6, 2013

KASUS HIV DAN AIDS TINGGI, BAIK ATAU BURUK?


KASUS HIV DAN AIDS TINGGI, BAIK ATAU BURUK?

Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi
Sejak ditemukannya HIV (Human Immunodeficiency Virus)  pertama kali  pada tahun 1978 di AS maka  perkembangan  jumlah penderita sindroma ikutannya yaitu AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) cepat sekali. Tercatat 3 tahun setelahnya maka 150 negara lain ikut merasakan dampak penularannya. Di Indonesia sendiri  kasus  HIV-AIDS ini pertama kali   ditemukan pada turis asing di Bali tahun 1987 dan sejak saat itu jumlah penderita pun terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada Maret 2012 seluruh propinsi di Indonesia sudah terkena semua dengan kasus yang tertinggi  di propinsi DKI Jakarta, Jatim, Papua dan Jabar. Kementerian kesehatan Rl mencatat angka kumulatif HIV dan AIDS yang dilaporkan dari 1987 hingga Maret 2012 sebanyak 82.870 kasus HIV dan 30.430 kasus AIDS. Sebuah peningkatan yang sangat luar biasa! Namun diyakini bahwa situasi tersebut baru merupakan puncak dari sebuah gunung es. Sementara  “dasar” dari  iceberg phenomen tersebut adalah angka  estimasi yang dikeluarkan oleh  Kemkes  RI pada tahun 2009 lalu  bahwa jumlah penduduk dewasa yang berisiko terinfeksi HIV  diperkirakan mencapai 186.257 dan 6,4 juta orang berisiko tinggi terinfeksi HIV.
Di samping tingginya lonjakan kasus maka pada pelaporan kasus ini di Kemenkes  terdapat data yang cukup mengejutkan yaitu makin meningkatnya jumlah kasus HIV dan AIDS pada perempuan, yang tidak berperilaku seksual berisiko tinggi namun tertular HIV dari pasangan tetapnya yang berperilaku seksual beresiko tinggi. Hal inilah yang menyebabkan anak-anak mereka juga dalam posisi rentan untuk tertular dari orang tuanya yang dalam proses persalinan dan menyusui. Walaupun menurut Hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) tahun 2009 menunjukan angka estimasi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA)tetap pada kalangan risiko tinggi yaitu wanita penjaja seks (WPS) langsung 6%, WPS tidak langsung 2%, waria 6%, pelanggan WPS 22%, pasangan pelanggan 7%, lelaki seks lelaki (LSL) 10%, warga binaan 5%, pengguna napza suntik 37%, dan pasangan seks penasun 5%.
Khusus  di Provinsi Papua dan Papua Barat status epidemi sudah memasuki tingkatan generalized epidemic leveloleh karena prevalensi HIV pada masyarakat umum khususnya populasi 15-49 tahun sudah mencapai 2,4%.
HIV AIDS juga  diketahui dapat ditularkan melalui media  transfusi darah ( karena pada 6 bulan pertama sejak terinfeksi maka donor belum bisa dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium) sehingga  bila  dilakukan donor darah pada kondisi window periode tersebut maka virus ini akan masuk ke dalam tubuh resipiennya (penerima transfusi). Di samping itu maka petugas kesehatanlah yang juga berpotensi untuk tertular pada saat merawat pasien-pasien tersebut.
Sebuah ancaman yang ada di depan mata yang membutuhkan upaya nyata untuk menurunkannya.  Menjadi salah satu target  dalam  Tujuan Pembangunan Milenium (MillenniumDevelopment Goals-MDGs) pada tahun 2015, yang ditandatangani juga oleh Indonesia menjadikan HIV /AIDS mendapat perhatian yang lebih. Sehingga ditemukannya kasus HIV/AIDS di suatu daerah akan memunculkan  banyak pertanyaan yang berisi kekhawatiran dari berbagai pihak.
Beberapa Sudut Pandang
Pemberian cap buruk yang cenderung menghakimi  penderita penyakit ini, dimana semua penderitadianggap karena perilaku buruk penderita, membuat beberapa pihak berpikir bahwa  tindakan yang paling pas saat menemukan penderita adalah  dengan mengucilkannya  bahkan bila perlu mengusirnya (walaupun dengan cara yang halus seperti dipulangkan ke kampung halaman).
Hal ini biasanya dilakukan pada daerah yang menyatakan  bebas HIV/AIDS.Daerah yang demikian  biasanya justru akan mengambil kebijakan  yang cenderung memberi stigma yang pada akhirnya menimbulkan diskriminasi  pada penderita. Pada gilirannya   dikhawatirkan ODHA  yang sudah ditemukan tidak mendapatkan layanan  yang semestinya (termasuk kesehatan). Hal inilah yang  justru akan membuat pencegahan dan penanggulangannya akan semakin sulit.Sehingga pernyataan bahwa daerah tertentu bebas HIV/AIDS justru dianggap akan memacu penyebaran HIV/AIDS yang lebih cepat.
Dapat dipahami bahwa kewaspadaan universal (sikap petugas kesehatan untuk menganggap semua pasien yang ditanganinya positif HIV/AIDS) justru akan menjadi mengendor.  Di samping itu,  kebutuhan akan  layanan standar  seperti kebutuhan akan alat penyeteril  yang harus terpenuhi untuk mencegah penularan   hampir pasti tidak menjadi perhatian utama.
Tidak Sama dengan Penyakit Lain
Satu hal yang harus diingat bahwa penyakit ini adalah seperti gunung es, yang puncaknya kecil sementara  dasarnya sangatlah besar. Sehingga bila tidak ada upaya khusus untuk mencari kasusnya maka biasanya tidak akan diketemukan dalam kondisi dini.  Sementara untuk mencari dan menemukan HIV/AIDS ini tidaklah sama dengan penyakit lain. Bila untuk pemeriksaan kondisi tertentu misalnya tekanan darah tinggi (hipertensi)  dan tulang keropos (osteoporosis)  seringkali dijumpai di mal-mal atau pusat keramaian.  Khusus HIV/AIDS maka harus dilakukan di  sebuah klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) yang menyediakan ruangan tersendiri untuk melakukan konseling. Sementara itu untuk pemeriksaan laboratoriumnya juga  dilakukan setelah pasien secara sukarela bersedia untuk ditest. Begitu juga saat mau membacakan hasil laboratoriumnya juga harus dilakukan  konseling terlebih dahulu untuk mempersiapkan mental saat ada keputusan apakah dia mengidap HIV /AIDS atau tidak.
Hal-hal seperti inilah termasuk juga adanya tenaga konselor yang terlatih yang membuat tidak setiap daerah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memberi layanan penderita yang penularan terbanyaknya melalui transimisi seksual dan pemakaian jarum suntik ini. Juga pasca “tertangkapnya” penderita ini maka langkah selanjutnya juga sudah harus disiapkan. Pengobatan melalui klinik CST ( care, support and treatment) serta pencegahan penularan dari ibu ke anak melalui klinik PMTCT (PreventionofMother To Child Transmission)  sampai pada penanganan pemulasaraan jenazahnya bila si pasien meninggal.
Memang penderita  yang sudah mengarah ke kondisi AIDS dengan infeksi opportunistik   seperti diare berat, infeksi berat lain pasti akan mencari pertolongan ke layanan kesehatan. Namun pada kondisi terminal seperti ini maka upaya pencegahan lebih dini  sudah tidak mungkin lagi diterapkan. Dapat ditebak berapa banyak orang yang kemungkinan sudah tertular. Apalagi bila si pasien tidak mengubah perilaku buruknya karena ketidakadaan informasi tentang hal tersebut.
Jadi ditemukannya kasus-kasus HIV AIDS yang cukup tinggi dapat dinilai baik dari sisi kinerja  surveilans penyakit tetapi sekaligus menandakan ada pola penularan yang  biasanya khas di daerah tersebut.   Khusus di Tarakan pola penularan terbanyak adalah masih melalui transmisi seksual sehingga pencegahan dan penularannya juga harus diarahkan ke sana.
Apalagi data terakhir yang diungkapkan anggota Komisi IV DPRD Encik Widyani baru-baru ini betul-betul memprihatinkan. Walaupun yang disurvei adalah Kaltim secara keseluruhan tetapi setidaknya ada banyak kesamaan dengan situasi Tarakan dan jelas bahwa Tarakan sebagai satu kota yang  masih masuk dalam gambaran survei ini. Bahwa di Kaltim sekitar 20% pada tahun 2010 pelajar SMP dan SMA mengaku sudah pernah melakukan hubungan suami istri  dan mengalami peningkatan pada tahun 2012 yaitu menjadi  hampir 80% anak remaja mengaku melakukan pergaulan bebas ini (Republika,  4 Februari 2013).  Ditambah lagi bahwa tingkat pengetahuan tentang HIV /AIDS di kalangan remaja kita memang juga masih  sangat rendah yaitu <20 75="" ada="" besarnya="" dari="" gap="" inilah="" pengetahuan="" span="" target="" yang="">  yang menjadi  PR kita bersama untuk menanggulanginya dan mencegah penularan sesuai dengan bidang tugas kita masing-masing. Semoga.