Thursday, July 11, 2013

Antara DBD dan HIV /AIDS di Kota Tarakan



Antara   DBD dan HIV /AIDS di Kota Tarakan
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi*
Di kota Tarakan, DBD dan HIV/AIDS adalah dua penyakit yang sama-sama kondisinya sangat mengkhawatirkan. Ada beberapa persamaan dan perbedaan  kedua penyakit  yang  menyedot perhatian masyarakat ini.  Seperti sudah banyak diketahui oleh masyarakat luas semua kelurahan di Tarakan sudah endemis DBD ( dalam 3 tahun berturut-turut selalu ada kasus)  dengan jumlah kasus yang cenderung bertambah. Demikian juga dengan kasus HIV/AIDS. Dari data yang ada,  jumlah kasus yang ada di Tarakan  juga masih terus bertambah.

Potensi penularan
Walaupun DBD dan HIV/AIDS sama-sama disebabkan oleh virus tetapi kedua penyakit ini sangat berbeda pola penularannya.Pada DBD, penyebabnya adalah virus dengue yang ditularkan  melalui   oleh gigitan nyamuk   sedangkan  sindroma AIDS disebabkan karena Human immunodeficiency virus (HIV) dimana  penularan   dapat terjadi melalui cairan kelamin,  lewat darah maupun dari penularan dari ibu ke anak.
Pada DBD, penularan penyakitnya melalui vektor nyamuk Aedes Aegypt yang punya ciri badannya loreng2 hitam putih. Tempat perindukan nyamuk Aedes Aegypty di tempat penampungan air bersih  yang akan berkorelasi dengan pertambahan  jumlah penduduk. Apalagi  kondisi penyediaan air bersih yang masih belum begitu baik  sehingga penampungan air hujan menjadi sesuatu  hal yang biasa. Belum lagi  perilaku masyarakat yang  enggan  untuk melakukan 3M ( menutup, menguras maupun menyingkirkan /mengelola barang bekas)  dan  juga lingkungan kita yang masih banyak terdapat  sampah plastik yang berserakan yang tentu saja juga menjadi perindukan nyamuk yang menyukai air bersih ini. Data-data yang ada di Tarakan terkait dengan Angka Bebas Jentik juga masih jauh dari harapan.
             Pada epidemi  HIV/AIDS, penularan yang paling banyak  berasal dari transmisi seksual dan pemakaian narkoba suntik (penasun), walaupun ada juga penularan dari ibu yang mengidap HIV ke anak yang dikandungnya (transmisi ibu dan anak). Potensi penularan di Tarakan yang terbanyak adalah banyaknya tempat /lokasi yang  disebut  hotspot sebagai tempat transaksi maupun untuk “mengeksekusi “  kejadian hubungan seksual yang berisiko. 
Menurut estimasi Kementerian Kesehatan di seluruh Indonesia  sebanyak 3,3 juta lelaki membeli seks, di mana 2,2 juta perempuan di antaranya menikah dengan lelaki yang membeli seks (2012). Jumlah kasus pria yang berpotensi menularkan HIV naik dari 0,1 persen menjadi 0,7 persen (dari  tahun 2007-2011)  atau mengalami peningkatan 7 kali lipat.  Berkaitan dengan hal tersebut  Tarakan sebagai daerah terbuka dimana ada banyak penerbangan dan pelayaran yang masuk ke Tarakan, menyebabkan Tarakan menjadi tempat transit dimana potensi terjadinya hubungan seksual berisiko menjadi berlipat-lipat.
                Di samping itu Tarakan  diikelilingi oleh banyaknya perusahaan / tempat usaha yang mempekerjakan laki-laki di dalamnya. Bukan bermaksud untuk mengkriminalisasi profesi   maupun perusahaan apapun tetapi yang sering terjadi bahwa banyak laki-laki yang bekerja jauh dari keluarga seperti pertambangan, perkebunan atau pelayaran yang kita sebut sebagai kelompok ini merupakan lelaki berisiko tinggi (LBT). Sebenarnya pada prinsipnya adalah laki-laki yang berisiko adalah laki-laki  dengan penghasilan lebih, mobilitasnya tinggi dan punya perilaku macho  (Mobile Man with Money and Macho behavior). Sebelumnya  istilah 5S yaitu   sopir, saudagar, serdadu, saudara dan saya  lebih dikenal daripada 4M ini.
                Data lain di kota Tarakan adalah terkait dengan pengetahuan  remaja umur 15-24 tahun tentang pengathuan komprehensif HIV AIDS juga masih sangat rendah. Hal ini ditengarai berkorelasi langsung masih munculnya kasus HIV positif di Tarakan.  Hanya sekitar 30 % remaja kita yang memahami HIV AIDS secara komprehensif. Bila pengetahuan tentang HIV AIDS rendah maka tentu tidak heran jika saja penyakit ini  diperkirakan akan terus bertambah di Tarakan.
Perbedaan dan Persamaan yang lain
Kasus DBD dahulu  terbanyak menyerang anak-anak, walaupun  sekarang juga mulai banyak menyerang  pada orang dewasa. Sedangkan  HIV AIDS terbanyak menyerang usia produktif, dimana  data terakhir juga menular ke ibu dan anak.
Kedua  kondisi ini  disebabkan oleh virus menyebabkan berpengaruh pada jenis obatnya.  Pengobatan  gejala penyakit  DBD yang diberikan adalah pengobatan yang sifatnya hanya suportif dan simptomatik. Bila panas akan diberi obat panas dan diberikan terapi cairan saja. Pengobatan  kausatif ( yang membunuh virus) sampai sekarang tidak ada.  Pada kasus HIV AIDS, walaupun memang sudah terdapat obat  ARV (Anti Retro Viral)  namun  juga bukan sebagai terapi yang  kausatif. Dalam hal  pencegahan dengan vaksinasi, maka vaksin  DBD dan HIV  juga sama-sama belum ada. Ada kesulitan tersendiri untuk membuat vaksin dari virus yang relatif mudah bermutasi gennya walaupun  memang ada kabar bahwa studi-studi  tentang vaksin ini sedang dikerjakan.
                Konsekuensi dari hal tersebut maka pencegahan adalah cara terbaik daripada sudah terjadi kasus/penyakit.   Pada DBD pencegahan terbaik adalah 3M plus secara rutin,  pemberian  ikan pemakan jentik, pemakaian “ topi anti DBD”, larvasidasi ( pemberian larvasida pada penampungan air). Pencegahan dengan fogging (pengasapan dengan insektisida)   saat sebelum masa penularan  (SMP) memakan biaya yang sangat tinggi  dengan efek buruk pada lingkungan, walaupun bisa dilaksanakan tetapi dianggap kurang efektif. Sehingga  fogging pada umumnya hanya   diberikan pada sudah ada  penularan kasus.
Pencegahan HIV   memang terbagi pada kaum berisiko tinggi dan pada masyarakat  secara umum. Untuk memudahkannya disingkat menjadi ABCDE.  Secara umum puasa untuk tidak melakukan seks  (abstinence=A) memang sangat cocok juga dengan nilai agama dan budaya yang berkembang  di masyarakat. Demkian juga konsep setia pada pasangan ( be faithful=B).  Namun khusus untuk C  (condom) memang dimaksudkan hanya  pada kelompok risiko tinggi saja.  Memang untuk hal ini selalu menjadi perdebatan.   Tetapi  kenyataan bahwa pada kelompok  ini metode A dan B sudah sulit dilakukan maka C menjadi  salah satu alternatif. Bukan berarti menjadi permisif terhadap hal tersebut tetapi bayangkan andaikan setiap hari seperti saat bulan Ramadhan  besok  dimana orang akan malu (dilarang) mendekati  hal-hal  ke arah transmisi seksual  yang berisiko  di hotspot  maka selesailah perdebatan tentang  C itu. Sedangkan D (drug) diartikan untuk menjauhi narkoba.  Walaupun yang terbesar karena penularan via suntikan tetapi narkoba yang lain juga  punya potensi untuk menghilangkan akal sehat yang pada gilirannya juga akan mendekati  kegiatan seksual  berisiko yang dilarang. Untuk E (Education=educated)  sehingga jelaslah bahwa pengetahuan memang menyebabkan orang paham untuk menghindari  sesuatu yang berakibat tidak baik. Memang disadari bahwa tidak bisa hanya memakai akal saja (pengetahuan)  tetapi juga dibutuhkan kesungguhan hati  untuk menerapkannya.  Khusus untuk E sebagian juga mengartikan sebagai (eliminate sexual transmitted disease) yaitu menghilangkan kemungkinan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) sebagai pintu masuk HIV-AIDS.

                                                                                               

·         Seksi Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
·         Dinas Kesehatan Kota Tarakan