Menghadapi
era SJSN :
Perlunya Rekayasa Mutu
Fasilitas Kesehatan di DTPK
Oleh : Tri Astuti
Sugiyatmi
Penerapan Kartu Jakarta Sehat yang
mengakibatkan lonjakan kunjungan RS di
ibukota menjadi sesuatu yang menarik. Di satu sisi hal ini menjadi cerminan
“keberhasilan” program ini yang membuat tidak ada lagi pihak (baca:orang
miskin) yang takut datang berobat karena tingginya pembiayaan
kesehatan. Tetapi di sisi lain ini juga masih menjadi gambaran buruknya
sistem rujukan
berjenjang. Puskesmas dianggap kurang bisa memenuhi sebagian harapan masyarakat sehingga dalam
hal ini Puskesmas seakan tidak menjadi bagian penting dalam sistem pelayanan
kesehatan di Jakarta. Padahal kondisi puskesmas kecamatan di DKI yang semuanya sudah meraih sertifikasi international dalam manajemen mutunya (ISO 9001:2000 maupun
ISO 9001 :2008)
Bila kondisi
di ibukota negara dalam penerapan KJS
mempunyai masalah seperti ini, maka bagaimana gambaran saat diterapkannya
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional di awal tahun depan ini di pedalaman Kalimantan, Papua, Maluku serta berbagai
daerah lain yang masuk kategori daerah perbatasan, terpencil dan kepulauan
(DPTK)? Bagaimana kira-kira tools
yang tepat dalam meng - upgrade mutu
pelayanan kesehatan di tempat-tempat tersebut?
Menurut hemat
penulis untuk daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan masalah mutu juga
tetap harus dipikirkan walaupun tentu saja agak berbeda pendekatannya. Tools
yang dipakai disesuaikan dengan anggaran yang ada walaupun tentu saja input
minimal juga harus dipenuhi. Dalam hal ini maka penerapan sistem 5 R bisa
menjadi alternatif, di samping sistem lain yang tidak terlalu butuh anggaran
yang besar seperti sistem berbasis keluhan pelanggan.
Dalam hal 5R maka penulis pernah melihat
secara langsung penampilan puskesmas yang menerapkan hal tersebut. Penampilan fisiknya tidak berbeda jauh dengan penampilan
puskesmas yang sudah menerapkan Sistem Manajemen Mutu di sekitarnya.
Pada
tahun 2012, Puskesmas Gamping II serta Puskesmas Berbah
di Kabupaten Sleman, provinsi DIY sudah
membuktikan bahwa puskesmas yang belum menerapkan SMM pun mampu
tampil sejajar dengan puskesmas lain yang sudah menerapkan
SMM di sekitarnya.
Tentu saja ada
beberapa perbedaan yang cukup signifikan dalam hal dokumentasi antara dua model
puskesmas yang sudah menerapkan SMM dan yang belum. Tetapi dalam hal kenyamanan, keteraturan ruang kerja serta lingkungan secara sekilas
tidak banyak bedanya. Dalam hal 5 R justru yang dibutuhkan adalah komitmen manajemen
puncak dalam hal ini adalah kepala
puskesmas.
Sistem 5 R
Dalam bahasa
Indonesia 5 R ialah kepanjangan Ringkas ,
Rapi, Resik, Rawat dan Rajin. Sebenarnya
5R adalah sebuah manajemen yang mengatur
dan mengurus terkait kerapian dan
keteraturan rumah (housekeeping).
Sebuah kaidah yang sederhana yang cukup
bagus dari negeri Jepang dalam pengaturan, pemeliharaan sebuah rumah yang dapat
juga dipakai untuk tempat lain maupun kantor. Dalam bahasa aslinya kaidah ini
berasal dari kata-kata : Seiri, Seiton,
Seiso, Seiketsu dan Shitsuke (yang disingkat 5 S) dengan penjelasan sbb:
1). Ringkas (Seiri) ,
yaitu memilah barang berdasarkan
kegunaannya apakah masih layak pakai atau tidak. Menyisihkan barang yang sudah
tidak layak untuk dibuang maupun
disingkirkan. Pada Seiri, terdapat satu
tempat untuk semua barang dan setiap barang dianggap mempunyai tempatnya
masing-masing; 2). Rapi (Seiton), Barang
akan disusun berdasarkan fungsi. Semua barang harus diberi label untuk
memudahkan identifikasi. Seiton juga mengharuskan barang yang dipinjam harus
dikembalikan pada tempat semula; 3).
Resik / Bersih (Seiso), Pada
kegiatan ini prinsipnya adalah kebersihan harus dijaga. Untuk menjaga
kebersihan ini ada 3 tahap yaitu tahap
pertama dimana kebersihan akan dilakukan secara menyeluruh. Pada tahap
keduanya tahap pemeliharaan yaitu harian
yang dikerjakan kurang lebih 5 menit dalam sehari. Tahap ketiga adalah berkala seperti mingguan (Jumat atau Minggu Bersih) atau bulanan.
Pada Seiso terlihat bahwa kebersihan tempat kerja bukan hanya tangung jawab
seorang petugas Cleaning Service saja.
Tetapi tanggung jawab semua petugas termasuk manajemen puncak; 4).
Rawat (Seiketsu), yaitu memperbaiki dari segi visual dan juga adanya
standarisasi ; 5). Rajin (Shitsuke) yaitu pembentukan kebiasaan petugas yang berdisiplin dan taat pada ketentuan yang
telah disepakati.
Beberapa
negara yang mengadop kaidah ini cukup sukses dalam penerapannya, seperti di
Malaysia dan Philippine. Belajar dari negara jiran kita, Malaysia, sistem 5 S
yang ditiru dari Negara Matahari Terbit itu malahan menjadi standar mutu
tersendiri. Di sana 5S diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu berurutan menjadi
Sisih, Susun, Sapu, Seragamkan, dan Senatiasa amalkan. Di sana semua instansi kesehatan sudah mengamalkan 5 R ini bahkan pada klinik desa di tengah perkebunan sawit sekalipun maupun di pedalaman negara bagian
Sabah. 5 R membuat kantor yang dari luar terlihat sederhana atau
bahkan bangunan lama tetapi di dalamnya
justru sangat teratur, bersih, rapi dan yang jelas akan memuaskan pelanggan.
Selain menjadi
bagian dari mutu tersendiri, ternyata 5R juga diperlombakan baik di tingkat negeri /negara bagian maupun tingkat Negara. Sehingga dengan adanya kompetisi
tersebut akan memacu semua fasilitas kesehatan baik klinik kesehatan,
rumah sakit dan kantor dinas kesehatan
untuk berbenah dan mengikuti lomba dan dengan sendirinya proses 5R di instansi
tersebut juga akan diusahakan untuk diterapkan.
Efeknya
sungguh sangat luar biasa. Di negara tetangga semua fasilitas kesehatan di
berbagai tingkatan mempunyai penampilan yang sangat standar : bersih, indah dan
rapi. Sehingga tidak heran juga bahwa
banyak pasien di daerah perbatasan kita lari mencari pengobatan ke negeri
tetangga karena bagi sebagian pasien situasi faskes yang demikian akan menjadi
sugesti tersendiri bagi kesembuhannya.
Sebaliknya di
negara kita sendiri walaupun beberapa waktu yang lalu jargon 5 R
banyak terlihat di fasilitas
kesehatan namun entah mengapa hal ini
sekarang ini seakan menjadi kata-kata biasa yang cenderung kehilangan
makna. Di sisi lain banyak yang menganggap mutu layanan hanya dapat diraih dengan sertifikasi dan akreditasi. Jangankan di
DPTK, upaya menjadikan world class health
care juga masih banyak terkendala di RS
di kota-kota besar.
Mudah dan Murah
5R adalah
pekerjaan yang " ketok mata" - istilah dalam bahasa Jawa yang secara
leksikal berarti " kelihatan oleh
mata" - yang menggambarkan hal atau pekerjaan yang sangat mungkin
untuk dilakukan karena tidak ada kesulitan yang berarti. Semua tergambar dengan
jelas. Sehingga sangatlah mudah untuk
dilakukan. 5R juga relatif tidak memakan biaya / murah. Padahal banyak sistem
penerapan mutu di lingkungan pelayanan kesehatan yang rata-rata berbiaya mahal seperti sertifikasi
internasional dan akreditasi sejatinya tetap membutuhkan 5 R dalam
implementasinya. Masalahnya masyarakat
kita masih cenderung menghargai sesuatu
yang mahal dan bergengsi. Sehingga 5R
yang sesungguhnya relatif murah dan mudah penerapannya, menjadi “tidak laku”.
Di samping itu
mindset lama bahwa, bahwa fasilitas standar milik
pemerintah dianggap sudah cukup untuk tampil seadanya dengan WC nya yang bau, ruangan yang kurang terawat
serta halaman yang masih penuh dengan sampah.
Kerapian, kebersihan dan kenyamanan
seringkali masih ditafsirkan
bahwa kondisi itu hanya menjadi hak pasien yang menikmati fasilitas mahal saja (poor quality for poor people). Dalam hal ini seringkali disebabkan kurangnya komitmen petugas sendiri. Komitmen untuk berubah ke arah yang lebih
baik.
Dalam
perjalanan menuju era JamKesNas maka mindset
yang kurang pas seharusnya
pelan-pelan harus dikikis.Saat JamKesNas diterapkan maka keluhan pelanggan bisa
jadi akan meningkat sebagai konsekuensi naiknya jumlah kunjungan secara
drastis. Penerapan 5R setidaknya akan mengurangi keluhan pelanggan di sisi yang selalu dilihat pasien saat
pertama kali datang ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain seperti
kebersihan dan kerapian. Menurut hemat penulis sudah saatnya perlu dilakukan
percepatan rekayasa mutu fasilitas
kesehatan khususnya di DTPK. 5R isa menjadi salah satu alternatifnya.