Friday, January 31, 2014

Memprediksi Mutu Layanan Kesehatan Dalam JKN

tulisan yang ketinggalan .......

Peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN)  baru saja berlalu. Dengan tema  Menuju Indonesia Sehat dan  JKN yang Bermutu, Kementrian Kesehatan  merasa sangat optimis dalam menyambut  Sistem Jaminann Kesehatan Nasional  (JKN) yang akan diterapkan pada awal tahun 2014 ini.
JKN  sebagai  bentuk reformasi  sistem  pembiayaan kesehatan dimana semua penduduk akan terwadahi dalam sistem asuransi kesehatan. Pembiayaan  kesehatan yang seringkali menjadi masalah khususnya bagi masayarakat miskin dalam mengakses layanan, sudah tidak menjadi problem utama lagi.
Tentu saja ini adalah sebuah kemajuan bahkan lompatan  besar bagi sebuah bangsa yang sedang terpuruk pada banyak bidang ini. Itulah mungkin yang menjadi latar belakang  sikap optimis  Kemenkes  dan jajarannya sehingga menjadikannya  sebagai tema utama pada peringatan HKN yang ke -49 yang baru lalu.
Mutu Yankes : Titik Kritis Terbesar
Mutu pelayanan kesehatan menjadi penting karena memang  dalam  sistem asuransi / jaminan  kesehatan terdapat 2 pilar utama  yaitu  mutu layanan di satu sisi dan pengendalian pembiayaan di sisi yang lain.
Membicarakan masalah mutu pelayanan  publik memang memiliki banyak dimensi dan persepsi. Berkaitan dengan peringatan hari mutu sedunia (world standard day) 14 Oktober  yang diadopsi  menjadi bulan mutu nasional di Indonesia  berarti berbicara  bahwa  sebuah mutu haruslah standar. Istilah standar adalah suatu tingkat mutu yang relevan terhadap sesuatu. Dalam standar dijelaskan tentang apa dan tingkatan yang harus dicapai, serta persyaratan yang harus dipenuhi. Beberapa syarat produk/ jasa untuk dikatakan bermutu menyangkut dalam banyak hal seperti   keterjangkauan, keamanan dan keselamatan.
Layanan kesehatan yang  produknya berupa jasa yang bersifat intagible  maka  menjadikannya sangat kompleks.  Mutu  bisa jadi akan dipahami secara  berbeda jika dilihat dari sisi pasien sebagai penerima layanan, provider  sebagai pemberi layanan dan  pihak pembayar dalam hal ini BPJS.
Masalah mutu juga seringkali juga dihubungkan dengan ketersediaan sumberdaya baik tenaga maupun infrastruktur pendukungnya. Unsur sumber daya manusia (SDM) juga sangatlah berperan, tanpa mengurangi pentingnya peran dari ketersediaan infrastruktur lain seperti gedung  dan   berbagai peralatan pendukungnya.
Di daerah dengan situasi geografi yang biasa seperti di DKI Jakarta- seperti  terlihat dalam pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat beberapa waktu yang lalu- perdebatan tentang infrastruktur  dan SDM juga belum selesai. Apalagi banyak tempat di Republik ini yang termasuk dalam kategori daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK)  dimana untuk mengakses  pada pelayanan kesehatan saja masih sangat sulit. Pada saat itulah diskusi selalu   mentok  pada : “jangankan mutu pelayanan, wong pelayanannya saja tidak ada!!!” 
Jika data makro  yang dipakai oleh pemerintah terlihat  sudah  baik tetapi  saat di zoom  di level provinsi apalagi di Kabupaten/Kota kekurangannya tampak jelas. Walaupun jumlah fasilitas pelayanan kesehatan terkerek naik dari waktu ke waktu tetapi  secara mikro tempat tidur (TT) untuk pasien rawat inap juga masih kurang sekitar 60 ribuan di level Kabupaten/kota.  Sementara data Kemenkes menyebutkan  dari  894.095  orang tenaga yang bekerja di institusi kesehatan maka hampir separonya ada di Pulau Jawa dan Bali (48,88%), hampir sepertiganya ada di pulau Sumatra (26%).  Sementara sisanya ada di 5 daerah lain bahkan  untuk Kepulauan  NTT 4%, Papua 2% dan Kepulauan  Maluku 1,78%. Disparitas yang sangat jauh.  Khusus untuk kebutuhan  dokter spesialis misalnya spesialis anak maka pada level  cukup pada separoh  jumlah propinsi. Sisanya mengalami kekurangan. Bahkan di propinsi yang mengalami  kelebihan spesialis bila di breakdown di level kabupaten akan bervariasi juga hasilnya.
Jika data-data kebutuhan hardware saja masih sangat kurang  maka  demikian juga pada tataran software maupun brainware. Dimana prosedur operasional pelayanan pada setiap level seringkali menjadi sesuatu yang terabaikan.  Satu hal yang sangat signifikan  pada semua proses juga adalah persepsi mutu  dan komitmen pada stakeholder sendiri. Sampai seberapa “dalam/jauh” mutu minimal yang harus dicapai. Bagi sebagian pihak mutu tidak diperlukan bagi rakyat kebanyakan / miskin. Istilah poor quality for poor people (mutu buruk untuk masyarakat miskin) dianggap sudah cukup. Toh tanpa mutu, pasien miskin tidak akan lari kemana-mana karena menjadi sebuah situasi  tanpa pilihan.
Banyaknya masalah  mendasar yang belum selesai menjadikan  sebagian kalangan  justru pesimis dengan kondisi  mutu pelayanan kesehatan pada era JKN nanti.   Bagi mereka era JKN tidaklah otomatis meningkatkan mutu pelayanan. Bisa jadi  akan  tetap seperti sekarang atau  justru semakin buruk. Peningkatan jumlah pasien yang datang ke layanann kesehatan akan meningkatkan  beban petugas kesehatan. Sementara pada saat yang sama  tidak ada tambahan pendapatan bagi petugas medis  karena sebagaian daerah menyetor dana kapitasi dari asuransi sosial ke kas negara/kas daerah.
Rekayasa Mutu Layanan Kesehatan
Kondisi yang serba sulit ini lantas memunculkan banyak pertanyaan, lantas siapa yang bertanggung jawab pada masalah mutu pelayanan? Dalam hal ini apakah kewajiban BPJS hanya membayar pelayanan kesehatan saja tanpa mempedulikan mutu? Lantas bagaimana cara kerjasama antara BPJS dan Pemerintah dalam menginisisasi mutu layanan kesehatan di  daerah ?
Terkait dengan mutu layanan kesehatan peran dan fungsi masing-masing stakeholder juga harus jelas. Standar Pelayanan Minimal sebagai ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal memang menjadi  beban target dari daerah dalam hal ini adalah Dinkes. Dalam hal dimensi  mutu yang sifatnya tangible seperti kebersihan dan kenyamanan pada ruang tunggu, toilet serta ruang perawatan  menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan langsung.
Untuk kesejahteraan provider (institusi dan nakes)  menjadi tanggung jawab semua level.  Pemerintah pusat dalam hal penentuan premi  dan tarif yang akan berpengaruh terhadap pembayaran jasa. Pemerintah daerah sudah selayaknya juga memberikan  tambahan biaya yang cukup untuk mempersiapkan semua input  tersebut baik dalam bidang SDM dan infrastruktur.  Khusus dalam dalam hal pemanfaaatan dana kapitasi di puskesmas  dirasa perlunya sinkronisasi aturan di level pusat antara Kemenkeu, Kemenkes serta Kemendagri.
Sikap optimis Kemenkes semestinya diikuti dengan percepatan penyelesaian  PR termasuk aturan di bawah Undang-Undang SJSN  yang sampai sekarang  belum selesai sehingga jangan sampai sikap optimis hanya sekedar lip service saja yang pada gilirannya justru bisa menjadi  bumerang yang akan kontraproduktif bagi keberlangsungan program yang  sejatinya menjadi kebanggaan kita semua.


Thursday, January 9, 2014

Perlu Rekayasa Mutu Fasilitas Kesehatan di Daerah Perbatasan, Terpencil dan Kepulauan Melalui 5R


Perlu Rekayasa Mutu Fasilitas Kesehatan di Daerah Perbatasan, Terpencil dan Kepulauan Melalui 5R

Penerapan Kartu Jakarta Sehat yang mengakibatkan lonjakan kunjungan RS di ibukota menjadi sesuatu yang menarik. Di satu sisi hal ini menjadi cerminan "keberhasilan" program ini yang membuat tidak ada lagi pihak (baca: orang miskin) yang takut datang berobat karena tingginya pembiayaan kesehatan. Tetapi di sisi lain ini juga masih menjadi gambaran buruknya sistem rujukan berjenjang. Puskesmas dianggap kurang bisa memenuhi sebagian harapan masyarakat sehingga dalam hal ini Puskesmas seakan tidak menjadi bagian penting dalam sistem pelayanan kesehatan di Jakarta. Padahal kondisi puskesmas kecamatan di DKI yang semuanya sudah meraih sertifikasi international dalam manajemen mutunya (ISO 9001:2000 maupun ISO 9001 :2008).
Bila kondisi di ibukota negara dalam penerapan KJS mempunyai masalah seperti ini, maka bagaimana gambaran saat diterapkannya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional di pedalaman Kalimantan, Papua, Maluku serta berbagai daerah lain yang masuk kategori daerah perbatasan, terpencil dan kepulauan (DPTK)? Bagaimana kira-kira tools yang tepat dalam meng-upgrade mutu pelayanan kesehatan di tempat-tempat tersebut?
Untuk daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan masalah mutu juga tetap harus dipikirkan walaupun tentu saja agak berbeda pendekatannya. Tools yang dipakai disesuaikan dengan anggaran yang ada walaupun tentu saja input minimal juga harus dipenuhi. Dalam hal ini maka penerapan sistem 5R bisa menjadi alternatif, di samping sistem lain yang tidak terlalu butuh anggaran yang besar seperti sistem berbasis keluhan pelanggan.
Dalam hal 5R maka penulis pernah melihat secara langsung penampilan puskesmas yang menerapkan hal tersebut. Penampilan fisiknya tidak berbeda jauh dengan penampilan puskesmas yang sudah menerapkan Sistem Manajemen Mutu di sekitarnya. Pada tahun 2012, Puskesmas Gamping II serta Puskesmas Berbah di Kabupaten Sleman, provinsi DIY sudah membuktikan bahwa puskesmas yang belum menerapkan SMM pun mampu tampil sejajar dengan puskesmas lain yang sudah menerapkan SMM di sekitarnya.
Tentu saja ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan dalam hal dokumentasi antara dua model puskesmas yang sudah menerapkan SMM dan yang belum. Tetapi dalam hal kenyamanan, keteraturan ruang kerja serta lingkungan secara sekilas tidak banyak bedanya. Dalam hal 5R justru yang dibutuhkan adalah komitmen manajemen puncak dalam hal ini adalah kepala puskesmas.
Sistem 5 R
Dalam bahasa Indonesia 5R ialah Ringkas , Rapi, Resik, Rawat dan Rajin. Sebenarnya 5R adalah sebuah manajemen yang mengatur dan mengurus terkait kerapian dan keteraturan rumah (housekeeping). Sebuah kaidah yang sederhana yang cukup bagus dari negeri Jepang dalam pengaturan, pemeliharaan sebuah rumah yang dapat juga dipakai untuk tempat lain maupun kantor. Dalam bahasa aslinya kaidah ini berasal dari kata-kata : Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke (yang disingkat 5 S) dengan penjelasan sebagai berikut:
  1. Ringkas (Seiri), yaitu memilah barang berdasarkan kegunaannya apakah masih layak pakai atau tidak. Menyisihkan barang yang sudah tidak layak untuk dibuang maupun disingkirkan. Pada Seiri, terdapat satu tempat untuk semua barang dan setiap barang dianggap mempunyai tempatnya masing-masing;
  2. Rapi (Seiton),Barang akan disusun berdasarkan fungsi. Semua barang harus diberi label untuk memudahkan identifikasi. Seiton juga mengharuskan barang yang dipinjam harus dikembalikan pada tempat semula;
  3. Resik / Bersih (Seiso), Pada kegiatan ini prinsipnya adalah kebersihan harus dijaga. Untuk menjaga kebersihan ini ada 3 tahap yaitu tahap pertama dimana kebersihan akan dilakukan secara menyeluruh. Pada tahap keduanya tahap pemeliharaan yaitu harian yang dikerjakan kurang lebih 5 menit dalam sehari. Tahap ketiga adalah berkala seperti mingguan (Jumat atau Minggu Bersih) atau bulanan. Pada Seiso terlihat bahwa kebersihan tempat kerja bukan hanya tangung jawab seorang petugas Cleaning Service saja. Tetapi tanggung jawab semua petugas termasuk manajemen puncak;
  4. Rawat (Seiketsu), yaitu memperbaiki dari segi visual dan juga adanya standarisasi ;
  5. Rajin (Shitsuke) yaitu pembentukan kebiasaan petugas yang berdisiplin dan taat pada ketentuan yang telah disepakati.
Beberapa negara yang mengadop kaidah ini cukup sukses dalam penerapannya, seperti di Malaysia dan Philippine. Belajar dari negara Malaysia, sistem 5 S itu menjadi standar mutu tersendiri. Di sana 5S diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu berurutan menjadi Sisih, Susun, Sapu, Seragamkan, dan Senatiasa amalkan. Di sana semua instansi kesehatan sudah mengamalkan 5 R ini bahkan pada klinik desa di tengah perkebunan sawit sekalipun maupun di pedalaman negara bagian Sabah. 5 R membuat kantor yang dari luar terlihat sederhana atau bahkan bangunan lama tetapi didalamnya justru sangat teratur, bersih, rapi dan yang jelas akan memuaskan pelanggan.
Selain menjadi bagian dari mutu tersendiri, ternyata 5R juga diperlombakan baik di tingkat negeri /negara bagian maupun tingkat Negara. Sehingga dengan adanya kompetisi tersebut akan memacu semua fasilitas kesehatan baik klinik kesehatan, rumah sakit dan kantor dinas kesehatan untuk berbenah dan mengikuti lomba dan dengan sendirinya proses 5R di instansi tersebut juga akan diusahakan untuk diterapkan.
Efeknya sungguh sangat luar biasa. Di negara tetangga semua fasilitas kesehatan di berbagai tingkatan mempunyai penampilan yang sangat standar : bersih, indah dan rapi. Sehingga tidak heran juga bahwa banyak pasien di daerah perbatasan kita lari mencari pengobatan ke negeri tetangga karena bagi sebagian pasien situasi faskes yang demikian akan menjadi sugesti tersendiri bagi kesembuhannya.
Sebaliknya di negara kita sendiri walaupun beberapa waktu yang lalu jargon 5 R banyak terlihat di fasilitas kesehatan namun entah mengapa hal ini sekarang ini seakan menjadi kata-kata biasa yang cenderung kehilangan makna. Di sisi lain banyak yang menganggap mutu layanan hanya dapat diraih dengan sertifikasi dan akreditasi. Jangankan di DPTK, upaya menjadikan world class health care juga masih banyak terkendala di RS di kota-kota besar.
Mudah dan Murah
5R adalah pekerjaan yang "ketok mata" - istilah dalam bahasa Jawa yang secara leksikal berarti "kelihatan oleh mata" - yang menggambarkan hal atau pekerjaan yang sangat mungkin untuk dilakukan karena tidak ada kesulitan yang berarti. Semua tergambar dengan jelas. Sehingga sangatlah mudah untuk dilakukan. 5R juga relatif tidak memakan biaya / murah. Padahal banyak sistem penerapan mutu di lingkungan pelayanan kesehatan yang rata-rata berbiaya mahal seperti sertifikasi internasional dan akreditasi sejatinya tetap membutuhkan 5 R dalam implementasinya. Masalahnya masyarakat kita masih cenderung menghargai sesuatu yangmahal dan bergengsi. Sehingga 5R yang sesungguhnya relatif murah dan mudah penerapannya, menjadi "tidak laku".
Di samping itu mindset lama bahwa, bahwa fasilitas standar milik pemerintah dianggap sudah cukup untuk tampil seadanya dengan WC nya yang bau, ruangan yang kurang terawat serta halaman yang masih penuh dengan sampah. Kerapian, kebersihan dan kenyamanan seringkali masih ditafsirkan bahwa kondisi itu hanya menjadi hak pasien yang menikmati fasilitas mahal saja (poor quality for poor people). Dalam hal iniseringkali disebabkankurangnya komitmen petugas sendiri. Komitmen untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Dalam perjalanan menuju era JamKesNas maka mindset yang kurang pas seharusnya pelan-pelan harus dikikis. Saat JKN diterapkan maka keluhan pelanggan bisa jadi akan meningkat sebagai konsekuensi naiknya jumlah kunjungan secara drastis. Penerapan 5R setidaknya akan mengurangi keluhan pelanggan di sisi yang selalu dilihat pasien saat pertama kali datang ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain seperti kebersihan dan kerapian. Menurut hemat penulis sudah saatnya perlu dilakukan percepatan rekayasa mutu fasilitas kesehatan khususnya di DTPK. 5R bisa menjadi salah satu alternatifnya.
Penulis : Tri Astuti Sugiyatmi (Dinas Kesehatan Kota Tarakan dan Peneliti di Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, FK UGM)

Add comment

 
 
 
1000 symbols left

 
Security code
Refresh

Website lain dari PKMK FK UGM

deskesMsehatmpt
    aids2

Website terkait

   
  ahrq

Perlu Rekayasa Mutu Fasilitas Kesehatan di Daerah Perbatasan, Terpencil dan Kepulauan Melalui 5R


Perlu Rekayasa Mutu Fasilitas Kesehatan di Daerah Perbatasan, Terpencil dan Kepulauan Melalui 5R

Penerapan Kartu Jakarta Sehat yang mengakibatkan lonjakan kunjungan RS di ibukota menjadi sesuatu yang menarik. Di satu sisi hal ini menjadi cerminan "keberhasilan" program ini yang membuat tidak ada lagi pihak (baca: orang miskin) yang takut datang berobat karena tingginya pembiayaan kesehatan. Tetapi di sisi lain ini juga masih menjadi gambaran buruknya sistem rujukan berjenjang. Puskesmas dianggap kurang bisa memenuhi sebagian harapan masyarakat sehingga dalam hal ini Puskesmas seakan tidak menjadi bagian penting dalam sistem pelayanan kesehatan di Jakarta. Padahal kondisi puskesmas kecamatan di DKI yang semuanya sudah meraih sertifikasi international dalam manajemen mutunya (ISO 9001:2000 maupun ISO 9001 :2008).
Bila kondisi di ibukota negara dalam penerapan KJS mempunyai masalah seperti ini, maka bagaimana gambaran saat diterapkannya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional di pedalaman Kalimantan, Papua, Maluku serta berbagai daerah lain yang masuk kategori daerah perbatasan, terpencil dan kepulauan (DPTK)? Bagaimana kira-kira tools yang tepat dalam meng-upgrade mutu pelayanan kesehatan di tempat-tempat tersebut?
Untuk daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan masalah mutu juga tetap harus dipikirkan walaupun tentu saja agak berbeda pendekatannya. Tools yang dipakai disesuaikan dengan anggaran yang ada walaupun tentu saja input minimal juga harus dipenuhi. Dalam hal ini maka penerapan sistem 5R bisa menjadi alternatif, di samping sistem lain yang tidak terlalu butuh anggaran yang besar seperti sistem berbasis keluhan pelanggan.
Dalam hal 5R maka penulis pernah melihat secara langsung penampilan puskesmas yang menerapkan hal tersebut. Penampilan fisiknya tidak berbeda jauh dengan penampilan puskesmas yang sudah menerapkan Sistem Manajemen Mutu di sekitarnya. Pada tahun 2012, Puskesmas Gamping II serta Puskesmas Berbah di Kabupaten Sleman, provinsi DIY sudah membuktikan bahwa puskesmas yang belum menerapkan SMM pun mampu tampil sejajar dengan puskesmas lain yang sudah menerapkan SMM di sekitarnya.
Tentu saja ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan dalam hal dokumentasi antara dua model puskesmas yang sudah menerapkan SMM dan yang belum. Tetapi dalam hal kenyamanan, keteraturan ruang kerja serta lingkungan secara sekilas tidak banyak bedanya. Dalam hal 5R justru yang dibutuhkan adalah komitmen manajemen puncak dalam hal ini adalah kepala puskesmas.
Sistem 5 R
Dalam bahasa Indonesia 5R ialah Ringkas , Rapi, Resik, Rawat dan Rajin. Sebenarnya 5R adalah sebuah manajemen yang mengatur dan mengurus terkait kerapian dan keteraturan rumah (housekeeping). Sebuah kaidah yang sederhana yang cukup bagus dari negeri Jepang dalam pengaturan, pemeliharaan sebuah rumah yang dapat juga dipakai untuk tempat lain maupun kantor. Dalam bahasa aslinya kaidah ini berasal dari kata-kata : Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke (yang disingkat 5 S) dengan penjelasan sebagai berikut:
  1. Ringkas (Seiri), yaitu memilah barang berdasarkan kegunaannya apakah masih layak pakai atau tidak. Menyisihkan barang yang sudah tidak layak untuk dibuang maupun disingkirkan. Pada Seiri, terdapat satu tempat untuk semua barang dan setiap barang dianggap mempunyai tempatnya masing-masing;
  2. Rapi (Seiton),Barang akan disusun berdasarkan fungsi. Semua barang harus diberi label untuk memudahkan identifikasi. Seiton juga mengharuskan barang yang dipinjam harus dikembalikan pada tempat semula;
  3. Resik / Bersih (Seiso), Pada kegiatan ini prinsipnya adalah kebersihan harus dijaga. Untuk menjaga kebersihan ini ada 3 tahap yaitu tahap pertama dimana kebersihan akan dilakukan secara menyeluruh. Pada tahap keduanya tahap pemeliharaan yaitu harian yang dikerjakan kurang lebih 5 menit dalam sehari. Tahap ketiga adalah berkala seperti mingguan (Jumat atau Minggu Bersih) atau bulanan. Pada Seiso terlihat bahwa kebersihan tempat kerja bukan hanya tangung jawab seorang petugas Cleaning Service saja. Tetapi tanggung jawab semua petugas termasuk manajemen puncak;
  4. Rawat (Seiketsu), yaitu memperbaiki dari segi visual dan juga adanya standarisasi ;
  5. Rajin (Shitsuke) yaitu pembentukan kebiasaan petugas yang berdisiplin dan taat pada ketentuan yang telah disepakati.
Beberapa negara yang mengadop kaidah ini cukup sukses dalam penerapannya, seperti di Malaysia dan Philippine. Belajar dari negara Malaysia, sistem 5 S itu menjadi standar mutu tersendiri. Di sana 5S diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu berurutan menjadi Sisih, Susun, Sapu, Seragamkan, dan Senatiasa amalkan. Di sana semua instansi kesehatan sudah mengamalkan 5 R ini bahkan pada klinik desa di tengah perkebunan sawit sekalipun maupun di pedalaman negara bagian Sabah. 5 R membuat kantor yang dari luar terlihat sederhana atau bahkan bangunan lama tetapi didalamnya justru sangat teratur, bersih, rapi dan yang jelas akan memuaskan pelanggan.
Selain menjadi bagian dari mutu tersendiri, ternyata 5R juga diperlombakan baik di tingkat negeri /negara bagian maupun tingkat Negara. Sehingga dengan adanya kompetisi tersebut akan memacu semua fasilitas kesehatan baik klinik kesehatan, rumah sakit dan kantor dinas kesehatan untuk berbenah dan mengikuti lomba dan dengan sendirinya proses 5R di instansi tersebut juga akan diusahakan untuk diterapkan.
Efeknya sungguh sangat luar biasa. Di negara tetangga semua fasilitas kesehatan di berbagai tingkatan mempunyai penampilan yang sangat standar : bersih, indah dan rapi. Sehingga tidak heran juga bahwa banyak pasien di daerah perbatasan kita lari mencari pengobatan ke negeri tetangga karena bagi sebagian pasien situasi faskes yang demikian akan menjadi sugesti tersendiri bagi kesembuhannya.
Sebaliknya di negara kita sendiri walaupun beberapa waktu yang lalu jargon 5 R banyak terlihat di fasilitas kesehatan namun entah mengapa hal ini sekarang ini seakan menjadi kata-kata biasa yang cenderung kehilangan makna. Di sisi lain banyak yang menganggap mutu layanan hanya dapat diraih dengan sertifikasi dan akreditasi. Jangankan di DPTK, upaya menjadikan world class health care juga masih banyak terkendala di RS di kota-kota besar.
Mudah dan Murah
5R adalah pekerjaan yang "ketok mata" - istilah dalam bahasa Jawa yang secara leksikal berarti "kelihatan oleh mata" - yang menggambarkan hal atau pekerjaan yang sangat mungkin untuk dilakukan karena tidak ada kesulitan yang berarti. Semua tergambar dengan jelas. Sehingga sangatlah mudah untuk dilakukan. 5R juga relatif tidak memakan biaya / murah. Padahal banyak sistem penerapan mutu di lingkungan pelayanan kesehatan yang rata-rata berbiaya mahal seperti sertifikasi internasional dan akreditasi sejatinya tetap membutuhkan 5 R dalam implementasinya. Masalahnya masyarakat kita masih cenderung menghargai sesuatu yangmahal dan bergengsi. Sehingga 5R yang sesungguhnya relatif murah dan mudah penerapannya, menjadi "tidak laku".
Di samping itu mindset lama bahwa, bahwa fasilitas standar milik pemerintah dianggap sudah cukup untuk tampil seadanya dengan WC nya yang bau, ruangan yang kurang terawat serta halaman yang masih penuh dengan sampah. Kerapian, kebersihan dan kenyamanan seringkali masih ditafsirkan bahwa kondisi itu hanya menjadi hak pasien yang menikmati fasilitas mahal saja (poor quality for poor people). Dalam hal iniseringkali disebabkankurangnya komitmen petugas sendiri. Komitmen untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Dalam perjalanan menuju era JamKesNas maka mindset yang kurang pas seharusnya pelan-pelan harus dikikis. Saat JKN diterapkan maka keluhan pelanggan bisa jadi akan meningkat sebagai konsekuensi naiknya jumlah kunjungan secara drastis. Penerapan 5R setidaknya akan mengurangi keluhan pelanggan di sisi yang selalu dilihat pasien saat pertama kali datang ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain seperti kebersihan dan kerapian. Menurut hemat penulis sudah saatnya perlu dilakukan percepatan rekayasa mutu fasilitas kesehatan khususnya di DTPK. 5R bisa menjadi salah satu alternatifnya.
Penulis : Tri Astuti Sugiyatmi (Dinas Kesehatan Kota Tarakan dan Peneliti di Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, FK UGM)

Add comment

 
 
 
1000 symbols left

 
Security code
Refresh

Website lain dari PKMK FK UGM

deskesMsehatmpt
    aids2

Website terkait

   
  ahrq