tulisan yang ketinggalan .......
Peringatan Hari Kesehatan
Nasional (HKN) baru saja berlalu. Dengan
tema Menuju Indonesia Sehat dan JKN yang Bermutu, Kementrian Kesehatan merasa sangat optimis dalam menyambut Sistem Jaminann Kesehatan Nasional (JKN) yang akan diterapkan pada awal tahun
2014 ini.
JKN sebagai bentuk reformasi sistem
pembiayaan kesehatan dimana semua penduduk akan terwadahi dalam sistem
asuransi kesehatan. Pembiayaan kesehatan
yang seringkali menjadi masalah khususnya bagi masayarakat miskin dalam
mengakses layanan, sudah tidak menjadi problem utama lagi.
Tentu saja ini adalah sebuah
kemajuan bahkan lompatan besar bagi
sebuah bangsa yang sedang terpuruk pada banyak bidang ini. Itulah mungkin yang
menjadi latar belakang sikap optimis Kemenkes dan jajarannya sehingga menjadikannya sebagai tema utama pada peringatan HKN yang
ke -49 yang baru lalu.
Mutu Yankes : Titik Kritis Terbesar
Mutu pelayanan kesehatan menjadi
penting karena memang dalam sistem asuransi / jaminan kesehatan terdapat 2 pilar utama yaitu
mutu layanan di satu sisi dan pengendalian pembiayaan di sisi yang lain.
Membicarakan masalah mutu
pelayanan publik memang memiliki banyak
dimensi dan persepsi. Berkaitan dengan peringatan hari mutu sedunia (world standard day) 14 Oktober yang diadopsi
menjadi bulan mutu nasional di Indonesia
berarti berbicara bahwa sebuah mutu haruslah standar. Istilah standar adalah
suatu tingkat mutu yang relevan terhadap sesuatu. Dalam standar dijelaskan
tentang apa dan tingkatan yang harus dicapai, serta persyaratan yang harus
dipenuhi. Beberapa syarat produk/ jasa untuk dikatakan bermutu menyangkut dalam
banyak hal seperti keterjangkauan,
keamanan dan keselamatan.
Layanan kesehatan yang produknya berupa jasa yang bersifat intagible maka
menjadikannya sangat kompleks. Mutu bisa jadi akan dipahami secara berbeda jika dilihat dari sisi pasien sebagai
penerima layanan, provider sebagai pemberi
layanan dan pihak pembayar dalam hal ini
BPJS.
Masalah mutu juga seringkali juga
dihubungkan dengan ketersediaan sumberdaya baik tenaga maupun infrastruktur
pendukungnya. Unsur sumber daya manusia (SDM) juga sangatlah berperan, tanpa
mengurangi pentingnya peran dari ketersediaan infrastruktur lain seperti gedung
dan
berbagai peralatan pendukungnya.
Di daerah dengan situasi geografi
yang biasa seperti di DKI Jakarta- seperti terlihat dalam pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat
beberapa waktu yang lalu- perdebatan tentang infrastruktur dan SDM juga belum selesai. Apalagi banyak
tempat di Republik ini yang termasuk dalam kategori daerah terpencil,
perbatasan dan kepulauan (DTPK) dimana
untuk mengakses pada pelayanan kesehatan
saja masih sangat sulit. Pada saat itulah diskusi selalu mentok pada : “jangankan mutu pelayanan, wong pelayanannya saja tidak ada!!!”
Jika data makro yang dipakai oleh pemerintah terlihat sudah
baik tetapi saat di zoom di level provinsi apalagi di Kabupaten/Kota kekurangannya
tampak jelas. Walaupun jumlah fasilitas pelayanan kesehatan terkerek naik dari
waktu ke waktu tetapi secara mikro
tempat tidur (TT) untuk pasien rawat inap juga masih kurang sekitar 60 ribuan di
level Kabupaten/kota. Sementara data
Kemenkes menyebutkan dari 894.095
orang tenaga yang bekerja di institusi kesehatan maka hampir separonya
ada di Pulau Jawa dan Bali (48,88%), hampir sepertiganya ada di pulau Sumatra
(26%). Sementara sisanya ada di 5 daerah
lain bahkan untuk Kepulauan NTT 4%, Papua 2% dan Kepulauan Maluku 1,78%. Disparitas yang sangat
jauh. Khusus untuk kebutuhan dokter spesialis misalnya spesialis anak maka
pada level cukup pada separoh jumlah propinsi. Sisanya mengalami kekurangan.
Bahkan di propinsi yang mengalami
kelebihan spesialis bila di
breakdown di level kabupaten akan bervariasi juga hasilnya.
Jika data-data kebutuhan hardware saja masih sangat kurang maka
demikian juga pada tataran software
maupun brainware. Dimana prosedur
operasional pelayanan pada setiap level seringkali menjadi sesuatu yang
terabaikan. Satu hal yang sangat
signifikan pada semua proses juga adalah
persepsi mutu dan komitmen pada
stakeholder sendiri. Sampai seberapa “dalam/jauh” mutu minimal yang harus
dicapai. Bagi sebagian pihak mutu tidak diperlukan bagi rakyat kebanyakan /
miskin. Istilah poor quality for poor
people (mutu buruk untuk masyarakat miskin) dianggap sudah cukup. Toh tanpa
mutu, pasien miskin tidak akan lari kemana-mana karena menjadi sebuah situasi tanpa pilihan.
Banyaknya masalah mendasar yang belum selesai menjadikan sebagian kalangan justru pesimis dengan kondisi mutu pelayanan kesehatan pada era JKN
nanti. Bagi mereka era JKN tidaklah otomatis
meningkatkan mutu pelayanan. Bisa jadi akan
tetap seperti sekarang atau
justru semakin buruk. Peningkatan jumlah pasien yang datang ke layanann
kesehatan akan meningkatkan beban
petugas kesehatan. Sementara pada saat yang sama tidak ada tambahan pendapatan bagi petugas
medis karena sebagaian daerah menyetor
dana kapitasi dari asuransi sosial ke kas negara/kas daerah.
Rekayasa Mutu Layanan Kesehatan
Kondisi yang serba sulit ini
lantas memunculkan banyak pertanyaan, lantas siapa yang bertanggung jawab pada
masalah mutu pelayanan? Dalam hal ini apakah kewajiban BPJS hanya membayar
pelayanan kesehatan saja tanpa mempedulikan mutu? Lantas bagaimana cara
kerjasama antara BPJS dan Pemerintah dalam menginisisasi mutu layanan kesehatan
di daerah ?
Terkait dengan mutu layanan
kesehatan peran dan fungsi masing-masing stakeholder juga harus jelas. Standar
Pelayanan Minimal sebagai ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang
merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal
memang menjadi beban target dari daerah
dalam hal ini adalah Dinkes. Dalam hal dimensi
mutu yang sifatnya tangible
seperti kebersihan dan kenyamanan pada ruang tunggu, toilet serta ruang
perawatan menjadi tanggung jawab
fasilitas kesehatan langsung.
Untuk kesejahteraan provider (institusi
dan nakes) menjadi tanggung jawab semua
level. Pemerintah pusat dalam hal
penentuan premi dan tarif yang akan
berpengaruh terhadap pembayaran jasa. Pemerintah daerah sudah selayaknya juga
memberikan tambahan biaya yang cukup untuk
mempersiapkan semua input tersebut baik
dalam bidang SDM dan infrastruktur.
Khusus dalam dalam hal pemanfaaatan dana kapitasi di puskesmas dirasa perlunya sinkronisasi aturan di level
pusat antara Kemenkeu, Kemenkes serta Kemendagri.
Sikap optimis Kemenkes semestinya
diikuti dengan percepatan penyelesaian PR termasuk aturan di bawah Undang-Undang SJSN
yang sampai sekarang belum selesai sehingga jangan sampai sikap optimis
hanya sekedar lip service saja yang
pada gilirannya justru bisa menjadi bumerang
yang akan kontraproduktif bagi keberlangsungan program yang sejatinya menjadi kebanggaan kita semua.