“TOPI ANTI DBD” :
SOLUSI ALTERNATIF MENGATASI KASUS
DBD DI WILAYAH RAWAN AIR BERSIH
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi*
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan oleh
vektor nyamuk Aedes sp. selama ini masih menjadi momok tersendiri bagi masyarakat.
Serangannya yang cenderung meningkat di musim hujan ini di daerah urban memang menjadi masalah di
banyak negara tropis dan subtropik. Belum lagi adanya angka kematian yang masih tinggi terkait salah satu penyakit yang juga dihubungkan
dengan isu perubahan iklim ini.
Upaya pengembangan vaksin/ imunisasi masih menghadapi kendala yang cukup besar, ditambah tidak adanya terapi yang spesifik
untuk penyakit akibat virus menyebabkan berbagai upaya dilakukan untuk menekannya. Dari 4 pilar pencegahan dan pengendalian (P2)
DBD maka pengendalian vektor lah yang paling memungkinkan untuk dilakukan.
Pengendalian Vektor
Yang harus dipahami bahwa
ternyata nyamuk mengalami perubahan bentuk
(metamorfosis sempurna) dimana
dalam siklus hidupnya telur --jentik (larva)-- pupa -- nyamuk lagi. Ketiga
bentuk terjadi di dalam air yang tidak terhubung dengan tanah, sementara yang terakhir akan terbang kembali di udara. Vektor ini kebanyakan juga berkembang di
daerah urban dan suburban dengan asumsi
di daerah tersebut terdapat banyak kontainer buatan manusia untuk
penampungan air bersih. Dalam waktu kira-kira 1-2 minggu maka siklus itu akan
kembali berulang.
Mengingat hal itu maka pengendalian vektor pada setiap tahapan selalu mempunyai tingkat kesulitan tertentu. Pada tahap nyamuk
maka kemampuan terbang dan
menghindarnya dalam jarak sekitar
40 meter menyebabkan pengendaliannya
secara otomatis tidak pernah tuntas sekalipun
dengan penyemprotan insektisida (fogging). Tindakan itu hanya bisa membunuh nyamuk
dewasa saja sementara bentuk telur, larva dan pupa tidak akan mati. Kekurangan
lainnya adalah berbiaya tinggi dan ancaman pencemaran lingkungan sehingga hanya efektif saat ada penularan
kasus/wabah.
Pengendalian pada tahap jentik, mempunyai banyak alternatif. Upaya biologis
dengan ikan pemakan jentik dapat menjadi
sebuah alternatif. Namun banyak masyarakat yang mengeluhkan bila ikan
ditempatkan pada bak mandi maupun air yang dikonsumsi sehari-hari akan
menimbulkan bau amis dan penampungan
menjadi lebih cepat kotor.
Alternatif lain adalah dengan bahan kimia (larvasida) dirasakan cukup
baik khususnya di daerah yang relatif kesulitan
air bersih. Bubuk larvasida yang bertahan sampai 2-3 bulan memungkinkan air
yang ada tidak perlu dikuras. Namun
kelemahan dari program ini adalah adanya bau bahan kimia dan adanya ketakutan
masyarakat terhadap bahaya ‘keracunan” walaupun Kementrian Kesehatani sudah
menyatakan aman sepanjang dosisnya
sesuai dengan ketentuan.
Upaya yang terakhir secara fisik
adalah dengan 3M (menguras dan menutup
penampungan air dan mengelola barang bekas- dulu dipakai istilah
mengubur). Dalam bahasa yang berbeda maka 3M juga berarti penutupan (covering), pengosongan (emptying)
dan pembersihan sebagai upaya untuk
mencegah nyamuk menjangkau habitatnya. 3M
bisa menjangkau fase telur, jentik dan pupa. Sebenarnya 3M adalah upaya yang
cukup mudah dan murah. Sayangnya justru perilaku masyarakat masih belum mendukung
karena kebanyakan tidak memahami proses metamorfosis si nyamuk tadi.
Dalam hal ini memang dibutuhkan
komitmen, konsistensi dan kontinuitas yang cukup tinggi. Pasalnya lengah sedikit
maka itu akan menjadi “surga” bagi nyamuk itu.
“Topi Anti DBD“ :
sebuah alternatif
Pada daerah yang sulit air bersih maka warga akan cenderung
menampung air, bahkan air hujan. Warga
enggan menutup penampungan airnya dengan alasan
bila ditutup maka tidak mendapat air dari air hujan yang turun
sewaktu-waktu. Dengan rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat itu maka dapat
ditebak perindukan nyamuk akan makin banyak dan
jentik akan merajalela.
Dalam hal ini dikesankan ibarat
buah simalakama. Untuk mendapatkan air bersih maka otomatis DBD akan terjadi, sebaliknya
bila menginginkan DBD turun maka kebutuhan air bersih akan terancam. Sebuah
pilihan yang sulit. Sehingga, munculah trik
menyiasati keadaan bahwa ada hal yang
dapat mengakomodir dua-duanya yang disebut sebagai “Topi Anti DBD” (TAD).
Penyebutan TAD mungkin terkesan berlebihan, bahkan asal. Memang ini bukan topi sehari-hari yang dipakai
di kepala manusia yang punya “khasiat” mencegah DBD tetapi penutup (cover)
bagi drum, tangki air atau berbagai penampungan air lain
berfungsi dan sebagaimana laiknya topi pelindung bagi kepala. TAD ini dimaksudkan untuk melindungi air dari nyamuk yang akan
bertelur di dalamnya. Tetap mendapatkan air dan
secara fisik dapat menjadi penghalang bagi nyamuk untuk bertelur di
dalam air tersebut.
Bahan TAD yang bisa berasal dari kasa
nyamuk atau dari berbagai macam kain termasuk kain perca dengan karet elastis yang dijahit sebagai pengikat di
mulut penampung air bisa jadi
menjadi salah satu alternatif di daerah yang endemis DBD dan sekaligus mempunyai
masalah dengan ketersediaan air bersih. Sebagai pemikiran alternatif, TAD tanpa insektisida
tambahan bisa menjadi salah satu pengembangan
alat baru yang aplikatif dan membutuhkan kajian ilmiah yang lebih mendalam sebagai sebuah strategi baru dalam pencegahan DBD. Walaupun
tidak menutup kemungkinan dalam
pengembangannya dapat dikombinasi dengan insektisida yang aman bagi air minum
manusia, layaknya fungsi larvasida saat ini.
Dari percobaan kecil-kecilan maka
didapatkan hasil bahwa TAD cukup efektif
untuk menghalangi kotoran besar masuk ke dalam air. Bila bahan yang dipakai
dengan kerapatan yang lebih tinggi maka kemungkinan nyamuk untuk bertelur di
dalamnya menjadi makin kecil. Dalam hal kemampuan menampung air dari talang maka bila semakin rapat jenis kain yang dipakai maka air akan makin
sulit untuk masuk ke dalam drum
tersebut. Sehingga di dapatkan hasil ideal bahan yang dipakai adalah kasa anti nyamuk dengan
diameter terkecil. Keunggulan lain kasa
ini juga bisa dibersihkan secara periodik dan jatuhnya akan lebih murah dalam
jangka panjang.
Perlu Sinergi
P2 penyakit DBD diyakini memang tidak bisa hanya mengandalkan metode tunggal saja, tetapi
harus kombinasi. Bila selama ini muncul kesan hanya nyamuk “elit” Aedes aegypti sebagai vektor utama maka keberadaan vektor
Aedes albopictus yang menjadi
vektor sekunder yang juga cocok hidup di
lingkungan luar rumah tidak dapat
dikesampingkan. Banyaknya sampah plastik, botol, kaleng dan gelas yang dapat menampung air hujan juga
menjadi penyebab tingginya perindukan
nyamuk tersebut di luar rumah disamping adanya potongan bambu -misalnya- yang dapat menampung air hujan.
Sehingga pada akhirnya gerakan
pembrantasan sarang nyamuk (PSN) DBD memang juga cukup relevan bila dilaksanakan
di dalam sekaligus juga di luar rumah.
Pada gilirannya maka bukan hanya DBD saja yang teratasi tetapi
juga penyakit dengan vektor nyamuk lain
seperti malaria, filariasis dan chikungunya juga ikut tertekan. Semoga.