Matahari belum tinggi, tapi situasi di beberapa sudut ibukota sudah ramai lalu
lalang orang yang mencari transportasi bis,
metromini, taxi, ojek dll. Suara mesin
kendaraan dan klakson yang
bersahut-sahutan sudah memecah pagi yang
hening. Begitu juga asap dan gas buang kendaraan mengikutinya dari belakang.
Masing-masing tenggelam dalam rutinitas
kegiatannya. Pak ojek menunggu penumpang dengan helm yang siap di motornya.
Pekerja berjalan bergegas berlari mengejar kendaraan ini untuk bisa sampai di
tempat kerjanya tepat waktu. Pedagang
bubur ayam, roti, makanan ringan, tissue, sibuk melayani pembelinya dalam diam.
Pasukan kuning (pak sampah) sibuk memunguti sampah yang tidak pernah habis di
sekitar jalan protocol yang paling bregengsi di ibukota. Ada sebuah kesamaan yang menarik dari rata-rata para pria berbeda profesi (dilihat dari seragam dan baju yang
dikenakannya) di sekitar tempat itu.
Saya melihat candu
rokok ini sudah menguasai semua lapisan. Ada seorang menteri yang
mempertontonkan kebiasaan merokoknya di layar kaca tanpa rasa bersalah-
walaupun belakangan sudah menyatakan akan stop.
Tapi opini sudah kadung
terbangun. Ada bapak bapak pejabat
dengan mobilnya yang berplat merah mengisap rokok sambil menyetir, waduuh….!
bahkan yang menyedihkan bahwa semua
pekerja seperti pak satpam, bapak
pemulung, pedagang kecil, sopir yang –maaf- ada kemungkinan uang untuk beli rokoknya masih lebih besar
daripada untuk membelikan makanan bergizi untuk anaknya. Menyedihkan sekali saat mereka lebih
mengedepankan “kesenangannya” dibanding untuk yang lain bahkan kesehatannya.
! Ironisnya , bahkan banyak
juga para aparatur di lingkungan kesehatan yang sedemikian menikmati nya
sampai melupakan bahwa kawasannya adalah salah satu yang seharusnya KTR.
Yah, candu rokok memang sudah tdk mengenal usia, profesi, kedudukan,
jabatan, status social dll.
Hmm…ingatan saya melayang saat bertahun-tahun lalu pernah ke negeri sebelah
yang pegawainya- seperti PPNS di tempat
kita- memburu perokok yang tidak patuh
dengan denda… bahkan diajaknya kita
mencari puntung-puntung yang sudah tergeletak di tanah, yang ternyata
sangat sulit untuk menemukannya!.
Membandingkan dengan saat saya
jalan di sebuah sekolah tinggi kesehatan yang berdampingan dengan sebuah kantor kementrian kesehatan di ibukota
sepulang jalan-jalan pagi bahkan baru beberapa meter saya menemukan ada
sekitar 7 bungkus rokok, apalagi
puntungnya !!
Membicarakan “tuhan 9 senti” ini memang akan membuat miris
…..saat pengusaha menjadi paling kaya di dunia karena menjadi produsen
dalam industry ini, akan sangat
kontras di sisi lain saat semua
pegawai kecil justru akan menjadi
semakin miskin saat sudah larut dalam belitan untuk menjadi konsumennya.
Banyak sekali data
dan informasi yang menyatakan bahwa
produk tembakau ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Tapi semua
itu lebih banyak diabaikan. Hanya
beberapa saja yang patuh pada peringatannya.
Pertambahan prokok pemula di usia
yang sangat dini belum membuat kita
menjadi “ngeh”. Sebuah ancaman nyata
yang dapat menjadi pintu masuk untuk ‘yang lain-lain’ mengikutinya. Tidak terlalu berlebihan bila kiranya narkoba
akan menjadi ancaman berikutnya bagi jiwa-jiwa yang masih labil.
Saat kabut asap beberapa waktu menyeruak menyelimuti beberapa wilayah
di Kalimantan, maka semua teriak butuh
masker untuk menangkal efek asap dari bahaya asap kebakaran hutan itu. Ada sebuah anomali di
saat yang sama saat bencana asap yang dikehendaki dari sebuah rokok menyerang maka alih-alih
menghindar, bahkan rata-rata mendekat
dengan berbagai alasan.Yang jelas aroma tembakau sudah menyeruak ke mana-mana
di berbagai ruang dan kalangan. Ironi sebuah bencana asap yang dikehendaki ….!