Wednesday, March 25, 2015

Sebuah Diksi


Sebuah Diksi

Saat kami kecil, ibu saya setiap saat mengajari kami untuk  menggunakan boso Jowo  kromo (Kromo inggil).  Setahuku kromo inggil  adalah Sebuah pakem bahasa Jawa yang sangat menghormati orang yang lebih tuaa, orang dengan kedudukan yang terhormat dll.  Saya seringkali terbalik-balik memakai nya. Seringkali untuk diri sendiri memakai bahasa yang sangat halus, sebaliknya untuk orang lain justru yang sangat kasar. Dalem badhe siram, njenengan sampun adus? (he..he. secara leksikal siram dan adus sama mengacu pada istilah mandi yaitu membersihkanbadan dengan air). Tetapi memang secara “rasa” bahasa sangat berbeda. Siram adalah lebih halus daripada adus . kata s’siram’  sebaiknya dipakai untuk yang lebih tua, orang yang kita hormati dll. Menurut pengetahuanku bahwa bila kita membahasakan dengan lebih halus untuk diri sendiri dan otomatis yang lebih kasar untuk orang lain maka berarti itu dianggap kita menyalahi pakem boso kromo tadi.

Walaupun kadang terkesan sekedar lip service bin basa basi tapi kromo inggil yang diucapkan dengan ikhlas menurutku mengandung penghormatan yang luar biasa.  Mungkin itu di Jawa. Kata yang lain seperti  : kula badhe matur (saya mau bicara…)  menjadi berbeda nuansanya bila Ibu badhe ngendhika …. (ibu mau bicara…). Sama2 berarti bicara tapi ada nunsa yang berbeda di dalamnya. Itu  memang rasa bahasa orang Jawa.

Tentu saja bila berasal dari suku lain mungkin akan sulit memahami. Karena kita memang  beragam . Secara ekstrim kadang apa yang menurut kita tidak pantas tapi justru bagi suku yang lain justru itu yang baik. Atau bahkan sebaliknya.

Bahasa Indonesia menjadi sebuah solusi.  Supaya tidak ada salah paham  tentang diksi antar suku.  Jadi dengan bahasa yang sama yang digunakan maka setidaknya perbedaan persepsi tentang arti sebuah kata akan makin kecil.

Saat kata/ istilah  b****gan atau istilah  ‘seram’  lain  akhir-akhir menempati bahasan yang cukup panas bahkan sampai memasuki pro kontra tokoh yang mengeluarkannya.  Sampai akhirnya  juga  adanya permohonan maaf dari Sang tokoh  karena adanya bahasa toilet yang sempat beliau lontarkan menjadikan  konten bahasa Jawa yang dulu sering saya kritik tidak egaliter menemukan “rohnya”.

Maka saat dulu di dalam bahasa Jawa ada bahasa kromo inggil yang membeda-bedakan pemanfaatan kata sesuai dengan kedudukan maka sebenarnya dalam bahasa persatuan kita sudah tidak ada lagi. Maka keegaliteran bahasa Indonesia kita semestinya tetap harus mengandung kehatian-hatian sebagaimana substansi kromo inggil dimana menempatkan diksi menjadi utama. Bagaimana bahasa menunjukkan bangsa katanya. Walaupun dalam konteks kromo inggil terkesan tidak adil, tapi sebenarnya justru terkandung ajaran yang sangat luar biasa. Menempatkan lawan bicara sebagai orang yang harus dihormati. Ternyata pilihan kata pada era sekarang saat media begitu mudahnya untuk menyiarkan ucapan aslinya ke seluruh penjuru dunia, maupun saat gadget ada di tangan dan dengan mudahnya menshare status tulisan apapun yang ada, maka diksi menjadi sebuah perkara besar.


Bukan bermaksud menghakimi maka diksi menjadi sebuah kemampuan dasar dalam berkomunikasi.Bagaimana diksi yang salah tempat, salah orang dan waktu justru akan menjadi pedang bermata dua.  Alih-alih jadi lucu tetapi seringkali status pendek itu pun bisa menimbulkan banyak tafsir yang ujung-ujungnya rusaknya silaturahim dua orang/pihak. Bahkan ada yang sampai tuntutan hukum.

Ya diksi sebagai produk dari pikiran yang bisa ditorehkan oleh jari lewat ketikan di keypad gadget maupun  lewat lidah melalui  suara memang sudah saatnya untuk kembali dipelajari.  Walaupun sebagian menganggap sepi pro kontra diksi. Katanya ; ‘ yang penting substansi atau konten”. Tapi bagaimanapun menurut saya sih konten/substansi belum tentu “masuk” saat kemasan yang dipilih sudah menghabiskan  banyak energi duluan untuk berbantah-bantahan.

Dengan  ‘kegaduhan’ itu maka konten yang sangat positif pun menjadi akan kurang berarti.  Padahal dengan diksi yang berbeda sedikit maka bisa jadi akan membuat isu itu menjadi besar dan penting.

Nah mungkin  inilah PR  bagi para pakar bahasa Indonesia –kalau boleh saya usul- untuk mengumpulkan diksi yang sudah secara umum  dalam bahasa Indonesia mempunyai arti umpatan,  kata kasar  dan lain-lain beserta artinya. Bukan untuk dipakai tapi justru supaya makin dipahami dengan itu akan berpotensi membuat semua orang, semua  jenis golongan manusia  Indonesia akan merasa tidak nyaman untuk mendengarnya.  Sehingga kita akan semakin hati-hati dalam memakaianya apalagi di ruang public seperti  berbagai ruang media sosial dan media lainnya. So,…..

Kata-kata  punya makna………….

Diksi (pemilihan kata) menjadi sebuah keniscayaan………….

Sunday, March 15, 2015

Menadah air hujan: memanen tanpa menanam



Seonggok sampah  gleas plastic yang berisi air mineral bertumpuk di sudut  penampungan sampah sementara itu.  Gelas dan botol mineral  sisa sampah orang yang  hajatan/pertemuan biasanya akan berhambur di dekat TPS yang dekat rumah.  Juga pagi ini saat aku buang sampah di tengah pagi buta ini.

Menariknya rata-rata  masih ada separuh atau bahkan masih ¾ gelas air mineral itu masih terisi Seringkali saat kita minum air kemasan maka sisanya kita buang begitu saja. Padahal masih ada  setengah bahkan tiga perempat botol. Jadi untuk mengambil ukuran   air minum sebenarnya kita harus “menakar” dulu kemampuan kita untuk menghabiskan. Bila kira-kira dengan satu gelas sudah cukup maka tidak perlu mengambil air mineral ukuran 500 ml, 600 ml atau bahkan 1 liter.

Bila yang tersedia memang cukup besar dan kita tidak mampu menghabiskan maka bila masih ada sisa/ lebih maka sebaiknya sebisa mungkin  tetap termanfaatkan. Karenanya saya seringkali membawa botol –botol air mineral  sisa  dari hajatan, pertemuan. Kadang saya cuek saja dengan gaya pegang botol sekeluar dari pertemuan. Bukan masalah apa-apa tapi karena  merasa sayang sisa airnya terbuang  percuma. Padahal sebetulnya masih bisa diminum lagi atau kalo sdh tdk layak ya untuk cuci tangan atau siram-siram  tanaman.. Pertemuan di hotel seringali setiap sesi  akan berganti air mineral yang di atas meja kita. Bila setiap  sesi kita buka air mineral baru maka bisa dibayangkan betapa banyak air yang terbuang setelahnya.

Saya salut sama teman-teman yang membawa air minum dalam botol tersendiri. Biasanya orang2 itu  lebih menghargai baik isinya yaitu air minumnya maupun penggunaan kemasan habis pakai itu. Cara berhemat  sumber daya yang terbatas dengan sangat cerdas.

Ya berbicara pemanfaatan sumber daya khususnya air maka banyak hal yang selama ini  kita kerjakan sebaiknya  kita telaah lagi.   Sepulang dari TPS  jalan yang kulalui pagi itu  sebagian ada yang basah dan sebagian kering total. Sepeda yang kukayuh pagi itu keluar dari rumah saat  gerimis kecil  kemudian sampai tempat pembuangan sampah   gerimis sementara agak membesar. Saat berbalik arah pulang ternyata jalan yang saat pergi masih kering ternyata sdh basah, tapi gerimis di wilayah itu sudah berhenti.  Saya sudah berharap  mudah-mudahan di komplek perumahan sudah hujan juga.

Giliran masuk ke komplek perumahanku  ternyata kering sama sekali. Padahal sudah berhari-hari berbagai ukuran container air mulai dari ember dan  bak sudah berjejer rapi di bawah talang. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih kami yang paling murah meriah  sebenarnya adalah  air hujan itu. Tapi ternyata pagi itu harapan untuk mendapat air hujan kembali pupus.

Ya saat sebagian wilayah di ibukota terendam banjir di hari-hari ini maka  kami justru  sedang menunggu –nunggu hujan  turun. Kita – warga kota pulau- memang sedikit banyak tergantung dengan air hujan untuk sumber air bersih. Jadi menanti  air hujan turun  adalah menjadi bagian penting dari salah satu  rutinitas dalam  hidup kami..   Walaupun ada aliran air dari PDAM tapi di tempat yang sumber airnya hanya mengandalkan air permukaan, maka tidak ada hujan juga berarti kering juga air dari  PDAM nya.  walaupun di sebagian tempat ada sumber air, tapi  tentu saja untuk membawanya sampai ke saluran air di rumah kita juga butuh upaya. Yang paling gampang adalah dengan membeli air profil/tangki. Tapi membeli air bersih pun harus antri. Kadang-kadang antara hari pemesanan dan pemenuhan pesanan seringkali ada jeda yang cukup lama. Karena di “musim kering’ seperti ini semuanya antri mau beli air bersih.

Jadi wajar bila hari-hari ini kita selalu berhitung  dengan mendung dan angin—sesuatu  yang ditunggu-tunggu kehadirannya.  Ada nya drum, profil, ember-ember yang terbuka  di bawah talang air sebagai wadah yang sengaja kita siapkan untuk menampung air hujan yang turun manjadikan istilah memanen air hujan menjadi jamak di telinga.

Inilah kayaknya salah satu kasus memanen yang tidak perlu  menanam dulu.  …..Padahal  jamaknya untuk menuai sesuatu maka harus ada yang ditanam sebelumnya.   Panen padi setelah menyemai  padi. Di kasus yang lain walaupun kiasan tapi mirip juga :siapa menabur angin maka akan menuai badai.. Jadi menyemai dan menanam dulu, baru akan memanen hasilnya.

Sehingga menurut hemat saya istilah memanen air hujan agaknya  berlebihan.  Kita tidak punya peran dalam menurunkan hujan-walaupun di beberapa kasus ada hujan buatan. Tapi sesungguhnya  sangt kecil  atau  bahkan  hampir tidak pernah ikut andil  di dalamnya dalam penentuan siklus-siklusnya tadi. Dalam  perkembangan ilmu   ada banyak   upaya  menjaga ketersediaan  siklus air  seperti pembuatan biopori, upaya menjaga lingkungan /tanaman/hutan, tapi ternyata dalam “pemilihan”  lokasi hujan kita sama sekali berperan.

Jadi  menurutku yang agak  tepat kayaknya adalah ‘menadah” air hujan. Cuma istilah menadah/menampung terkesan hanya menunggu saja dan  cenderung  tidak “seksi”. Dalam memanen air hujan  di sini ada peran aktif untuk menahan air hujan yang datang supaya tidak lari begitu saja ke pembuangan  akhirnya yaitu laut.

Jadi walaupun berlebihan istilah  memanen air hujan  dianggap bisa mewakili sebuah upaya  untuk memanfaatkan sumber daya yang ada (air hujan) untuk sebesar-besar manfaat.

Ya istilah memanen air hujan dimana kita memanen tanpa menanam  menjadikan kita perlu “malu” untuk membuang- buang  sumber daya air yang ada. Karena ternyata kita semata-mata hanya menadahkan ‘tangan” saja. Menadah berarti kita hanya menunggu dan bergantung dengan kemurahan yang akan memberi. Kepada Sang Pembuat dan Pembagi  air  hujan saja  kita bergantung . Jadi marilah kita berhemat  air.!!