Tuesday, May 25, 2010

Perlunya Biaya Mutu Baik ( cost of good quality) dalam Penyusunan Anggaran Kesehatan

STRATEGI PEMASARAN :
PERLUNYA BIAYA MUTU BAIK (COST OF GOOD QUALITY)
DALAM PENYUSUNAN ANGGARAN KESEHATAN
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi

Pendahuluan
Mutu pelayanan kesehatan menjadi sesuatu yang niscaya dalam pemberian pelayanan yang menjadi salah satu kebutuhan primer ini. Namun, dalam kenyataannya masalah mutu masih menjadi sesuatu yang terabaikan. Banyaknya kasus malpraktik yang terungkap di media misalnya, menunjukkan mutu layanan kesehatan menjadi sesuatu yang seolah-olah tidak dapat dijangkau. Sebuah hasil pengamatan pada layanan publik dalam hal ini RS yang melayani pasien miskin, menunjukkan bahwa masalah yang berkaitan dengan mutu masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat. Karena sebanyak 74,9 % pasien mempunyai keluhan di RS mulai dari administrasi yang berbelit-belit, ruang tunggu yang tidak nyaman, kotornya kamar mandi / toilet/wc sampai pada sikap petugas yang kurang baik. Dan hanya 25,1 % saja yang merasa tidak ada keluhan.
Mutu layanan kesehatan selalu dikonotasikan menjadi sesuatu yang mahal. Pelayanan murah, apalagi gratis seperti di Puskesmas dianggap tidak tidak perlu bermutu. Hal tersebut dianggap oleh sebagian kalangan menjadi sesuatu yang selayaknya. Poor quality for poor community. Dan sebaliknya sesuatu yang mahal selalu lebih baik mutunya.
Permasalahan mutu layanan kesehatan menurut sebagian kalangan sebaiknya dibicarakan pada saat masalah akses ( keterjangkauan) dan pembiayaan sudah terselesaikan. Tapi disisi lain bila dalam mewacanakannya juga harus urut kacang seperti itu maka masalah mutu menjadi semakin jauh untuk dapat tercapai. Pada sudut pandang yang lain dikatakan bahwa mutu juga sudah selayaknya masuk dalam prioritas wacana bahkan anggaran sekalipun. Sebab dalam teorinya di Negara mana pun juga maka masalah akses dan pembiayaan kesehatan tetap menjadi masalah sampai sekarag ini. Sehingga kapankah saat yang tepat untuk membicarakan mutu ? Sebelum terlambat, maka masalah mutu menjadi sesuatu yang “lebih cepat lebih baik”
Mutu dan Biaya Mutu :
Permasalahan mutu dengan biaya mutunya memang menjadi fenomena yang sangat menarik. Di satu sisi biaya mutu didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk dapat meraih mutu yang baik (good quality). Di sisi lain, biaya mutu dianggap juga sekaligus untuk membiaya kegagalan (poor quality). Yang sebenarnya terjadi adalah walaupun ada hubungan antara biaya mutu pada input dengan mutu pada output, tetapi hubungan tersebut tidaklah bersifat parallel. Makin tinggi biayanya, maka paling berkualitaslah produk yang dihasilkan adalah sebuah salah kaprah yang membuat istilah mutu menjadi “ ditakuti”.
Seorang ahli mutu Philip Crosby, menyatakan bahwa selain biaya mutu memang diperlukan dalam membangun mutu namun sejatinya mutu yang baik cenderung akan menghasilkan biaya yang murah bahkan gratis, seperti dalam bukunya Quality of Free. Kok Bisa ?
Dalam membangun mutu sesungguhnya biaya mutu baik yang dikeluarkan dapat dianggap sebagai biaya investasi. Biaya yang meliputi pencegahan dan penilaian sebagai kelompok biaya mutu baik misalnya adalah pemberian alat penyeteril yang standar di puskesmas. Pada awalnya memang terkesan mahal. Tetapi sesungguhnya dalam jangka panjang akan menjadi lebih murah dibandingkan kerugian pada saat orang taruhlah diberi tindakan cabut gigi dengan alat yang sama sekali tidak steril. Jadi biaya yang seperti demikianlah adalah sebuah “ keharusan” bagi organisasi layanan kesehatan yang mempunyai kecenderungan untuk menerapkan mutu.
Dalam situasi dimana penularan penyakit lewat darah seperti HIV/AIDS sangatlah mencemaskan akankah dianggap sebuah kewajaran bila pelayanan kesehatan justru menjadi salah satu andil dalam meningkatkan penyebaran penyakit ini. Sehingga biaya yang dikeluarkan untuk investasi untuk pembelian alat penyeteril jauh lebih rendah daripada bila sekian orang tertular penyakit akibat tidak sterilnya alat yang dipakai. Dan tentu saja dalam jangka panjang maka pengeluaran untuk pembelian alat itu malah jauh lebih menguntungkan daripada memakai peralatan yang tidak standar dengan risiko penularan berbagai penyakit .
Mutu Layanan Kesehatan dalam Universal Coverage
Dalam dunia pembiayaan kesehatan, asuransi kesehatan adalah sebuah konsep yang dianggap paling dapat menggabungkan antara kendali biaya dengan kendali mutu . Namun mutu dalam asuransi kesehatan selama ini baru dapat dinilai dari kegiatan utilization review, yang mencermati data kunjungan dan utilisasi dari sebuah pelayanan kesehatan. Belum menyentuh mutu untuk sebuah kepentingan pelanggan, namun baru untuk kepentingan dari pengendalian pembiayaan.
Dalam menyongsong Universal Coverage pada 2014, kondisi dimana semua penduduk akan terlindungi oleh asuransi kesehatan, maka akan bermunculan sekian ribu fasilitas kesehatan termasuk Puskesmas sebagaimana digambarkan dalam peta jalan yang disusun Kementrian kesehatan. Sehingga mau tidak mau bahwa Kemenkes juga harus memfasilitasi regulasi fasilitas kesehatan yang akan bermunculan tersebut dan diharapkan kemudahan akses yang ada tidak menjadi bumerang karena mutunya yang asal-asalan.
Biaya mutu dapat menjadi sebuah “alat” untuk mengukur apakah sebuah fasilitas kesehatan memperhatikan mutu Biaya mutu juga akan menilai sejauh mana komitmen manajemen puncak terhadap mutu. Apakah diimpleementasikan dalam sebuah pembiayaan / pengangggaran mutu ataukah tidak.

Strategi Pemasaran Biaya Mutu :
1. Segmentation
Dalam memasarkan hal-hal yang berhubungan dengan mutu maka yang penting ditekankan sebenarnya hal ini adalah menjadi kebutuhan konsumen yang menghendaki kepuasan dari organisasi layanan publik. Karena di tengah euphoria reformasi masyarakat sangat mudah menjatuhkan cap sebagai malpraktik yang kadang sangat merugikan walaupun sebenarnya isu tersebut perlu pembuktian lebih lanjut maka masalah mutu layanan kesehatan menjadi sesuatu yang cukup sensitive, sehingga perlunya sebuah mekanisme penilaian untuk menghindari hal-hal tersebut.
Mutu juga sangat erat kaitannya dengan profesi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan yang cenderung berisiko tinggi seperti dokter, bidan, perawat dan tenaga kesehatan lain seperti farmasis, laboran, ahli radiologi dan lain-lain. Organisasi profesi juga perlu menetapkan prosedur yang dapat menjadi pegangan anggotanya di kala praktik. Namun organisasi profesi mengatur mutu layanan kesehatan yang berkaitan erat dengan keselamatan si pasien akan tindakan dokternya.
Asuransi bagi tenaga kesehatan selain dibutuhkan untuk mengantisipasi hal-hal demikian juga tetap diperlukan sehubungan persoalan mutu yang sedikit banyak juga berhubungan dengan subyektivitas pelanggan seperti kenyamaman, keramahan dan lain-lain.
Mutu layanan kesehatan juga menjadi kepentingan para pemodal / owner setiap layanan kesehatan. Karena dengan mutu yang buruk / dicitrakan buruk, maka secara langsung akan mempengaruhi kelangsungan organisasi tersebut. Pemodal justru akan mengalami kerugian bila kasus-kasus yang berhubungan dengan mutu layanan langsung bersentuhan dengan hukum.
Pemerintah dalam hal ini kemenkes di tingkat pusat maupun di tingkat daerah hendaknya mengalokasikan dana yang cukup bagi biaya perbaikan mutu layanan publik seperti puskesmas dan rumah sakit. Dan tentu saja regulasi juga harus ditingkatkan. Belajar dari Malaysia yang mengharuskan semua layanan kesehatannnya menerapkan Sistem Manajemen Mutu seperti sertifikasi ISO 9001 :2000 adalah wujud keberpihakan pemerintah dalam mewujudkan pelayanan yang bermutu di tiap jenjang pelayanan kesehatan yang ada,.
Memang bila dikehendaki sebuah penilaian dari pihak ketiga - untuk meraih sertifikat ISO 9001:2000- memanglah cukup mahal, walaupun banyak daerah seperti Kota Yogyakarta, kabupaten Sleman, Propinsi DKI Jakarta serta kota - kota di Kalimantan Timur seperti Tarakan, dan Balikapan, serta banyak kabupaten / kota yang pemerintah daerahnya sangat concern dengan mutu layanan kesehatan ini mampu melaksanakan penilaian dari pihak ketiga.

Tentu saja peranan yang terhormat anggota DPR maupun DPRD juga sangat vital dalam penganggaran mutu yang sejatinya juga dibutuhkan oleh layanan publik yang lain selain kesehatan. Namun bila biaya mutu yang baik juga sulit untuk disetujui oleh panitia anggaran legislatif dan eksekutif maka masalah mutu tetap dapat dicari jalan tengahnya dimana penilai tidak harus dari badan sertifikasi namun bisa saja dari Dinas Kesehatan setempat asalkan adanya konsistensi ke arah sana. Tidak ada yang mengharuskan proses tersebut adalah ISO 9001:2000. Ada pula sistem yang dapat diterapkan tanpa biaya yang sangat besar seperti Balanced Score Card (BSC).
2.Targeting
Kegagalan atas pemasaran biaya mutu selama ini adalah karena pemasar ide berusaha membidik pasar sasaran yang tidak jelas dan terlalu luas. Setelah melihat beberapa segmentasi pasar di atas kita dapat melihat targeting pasar secara spesifik. Mana yang lebih potensial dalam kemampuan untuk merealisasikan perlunya biaya mutu bagi layanan kesehatan. Dan permasalahan murtu kesehatan hanya akan dapat diselesaikan dengan sistem yang dapat memaksa semua pihak untuk berbenah pada hal-hal yang berkaitan dengan mutu tersebut. Sehingga targeting ide biaya mutu sebagai bahan masukan dalam peningkatan mutu layanan kesehatan dapat dibedakan menjadi berikut:
a). Pimpinan dari Kementian Kesehatan dan Dinas Kesehatan di propinsi maupun Kabupaten / Kota. Walaupun banyak yang sudah mencantumkan mutu sebagai strategi / misinya namun kenyataan komitmen tersebut belum lah cukup kuat karena tidak dibarengi dengan adanya dukungan pembiayaaan ataupun penganggaran mutu.
b). DPR, cara mempromosikannya adalah dengan diberi pencerahan bahwa masyarakat / pelanggan / konsumen yang otomatis adalah konstituen dari mereka adalah raja. Sedangkan tuntutan dari mereka adalah perbaikan mutu layanan kesehatan. Sekarang bahwa konsumen puskesmas yang terbesar masyarakat pemegang kartu jamkesmas. Apakah mutu hanya pantas diberikan bagi masyarakat mampu saja ? tidakkkah juga penting juga untuk konsumen puskesmas. Juga dihubungkan dengan kenyataan adanya kenaikan anggaran kesehatan dalam APBN dan APBD yang mestinya penggunaannya menjadi lebih baik kepada alokasi mutu bagi masyarakat luas. Tidak hanya sekedar pada aparat saja.
c). Tentu saja para pemilik modal / owner dari berbagai layanan kesehatan juga perlu disosialisasikan tentang biaya mutu. Karena bagaimanapun bahwa RS terutama sudah bergeser peranannya dari yang bersifat sosial menjadi industri kesehatan seperti sekarang ini maka biaya mtu juga sudah selayaknya disosialisasikan pada mereka semua sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Puskesmas dan RS pemerintah miliknya
d). Peran media massa dalam membangun opini publik untuk sebuah biaya mutu sangatlah perlu. . Pemasaran kepada media ialah dengan cara memberikan berita yang dapat meningkatkan rating atau oplah. Bad news bagi sebagian orang adalah good news bagi media. Dugaaan malpraktik pada kasus pemberian obat kaki gajah sangat punya gaung di masyarakat setelah diangkat oleh media massa. Namun kadang-kadang masalah yang diangkat tidak sampai ke akar masalah dimana SOP maupun penerapannya yang butuh penjelasan yang menjadi akar permasalahan. Sehingga media massa dalam menangkap isu mutu juga harus dengan cerdas agar masalah mutu tersebut dan jenis penyakit dan penularannya yang justru sering menjadi terabaikan, teralihkan oleh isu yang hanya superficial saja. Begitulah kekuatan media. Sukses tidaknya program pemerintah seperti dalam Pekan Imunisasi Nasional, Kampanye Waspada Flu Burung dan lain-lain tergantung pada bagaimana media dapat mengemas hal tersebut. Demikian juga dengan biaya mutu.
e). Mendekati tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh media masa untuk menyuarakan mutu. Karena suara mereka sangatlah dihargai. Dan yang jelas bahwa suara mereka akan memepengaruhi lebih banyak orang lain untuk dapat sependapat dengan mereka.
f). Kepada orang-orang miskin / orang-orang yang telah mengalami trauma atas permasalahan mutu layanan kesehatan dimana kisahnya akan menghiasi dan akan menggugah media untuk memasarkannya kepada pengambil kebijakan.

3.Positioning
Positioning sebagai alat menanamkan dalam benak “in the mind” para pengambil kebijakan. Bagaimana meyakinkan para stake holder bahwa biaya mutu yang baik akan menjadi sebuah investasi. Bukan berarti hanya “memakan biaya”. Sehingga ide terseubt dirasakan dapat memberikan manfaat yang sangat penting bagi pembeli. Positioning sering menjadi salah karena ketidakjelasan menetapkan target pasar. Dan positioning juga bisa tidak kuat akibat kesalahan memasang atribut, sehingga lemah dalam menetapkan positioning statement
“Good quality for all”. Mutu yang baik layanan kesehatan untuk semua. Termasuk untuk si Miskin. Adalah bisa menjadi positioning mutu dan alat untuk mewujudkannya yaitu biaya mutu.
Dengan mutu layanan yang baik maka persiapannya untuk mewujudkan adalah dengan menganggarkannya dalam anggaran kesehatan yang ada. Maka kualitas dari Universal Coverage juga dipengaruhi oleh kualitas dari pemberi layanannya. Biaya mutu menjadi sangat penting di dalamnya.
Penutup :
Mutu layanan kesehatan adalah sebuah integrasi dari sebuah komitmen manajemen bersama dengan pemenuhan biaya dalam rangka pemenuhan infrastruktur yang dibutuhkan dalam sebuah layanan yang bermutu. Namun biaya mutu ada titiik optimummnya dimana pada saat kondisi infrastruktur sudah memenuhi syarat-syaratnya untuk dapat memberikan pelayanan maka biaya mutu adalah hadir untuk dapat memoles apa-apa yang kurang melalui proses manajemen mutunya. Sehingga biaya mutu yang cenderung akan membiayai kegagalan tidak termasuk di dalamnya. Biaya mutu yang minimal diperlukan dalam sebuah organisasi adalah biaya mutu yang berupa pencegahan dan penilaian, yang perlu dianggarkan dalam sebuah anggaran yang sedang berjalan.

No comments: