Antara DBD dan HIV /AIDS di Kota Tarakan
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi*
Di kota
Tarakan, DBD dan HIV/AIDS adalah dua penyakit yang sama-sama kondisinya sangat
mengkhawatirkan. Ada beberapa persamaan dan perbedaan kedua penyakit yang menyedot perhatian masyarakat ini. Seperti sudah banyak diketahui oleh masyarakat
luas semua kelurahan di Tarakan sudah endemis DBD ( dalam 3 tahun
berturut-turut selalu ada kasus) dengan
jumlah kasus yang cenderung bertambah. Demikian juga dengan kasus HIV/AIDS.
Dari data yang ada, jumlah kasus yang
ada di Tarakan juga masih terus
bertambah.
Potensi penularan
Walaupun DBD
dan HIV/AIDS sama-sama disebabkan oleh virus tetapi kedua penyakit ini sangat
berbeda pola penularannya.Pada DBD, penyebabnya adalah virus dengue yang
ditularkan melalui oleh gigitan nyamuk sedangkan
sindroma AIDS disebabkan karena Human immunodeficiency virus (HIV)
dimana penularan dapat terjadi melalui cairan kelamin, lewat darah maupun dari penularan dari ibu ke
anak.
Pada DBD,
penularan penyakitnya melalui vektor nyamuk Aedes Aegypt yang punya ciri
badannya loreng2 hitam putih. Tempat perindukan nyamuk Aedes Aegypty di tempat
penampungan air bersih yang akan berkorelasi
dengan pertambahan jumlah penduduk.
Apalagi kondisi penyediaan air bersih
yang masih belum begitu baik sehingga
penampungan air hujan menjadi sesuatu
hal yang biasa. Belum lagi
perilaku masyarakat yang
enggan untuk melakukan 3M (
menutup, menguras maupun menyingkirkan /mengelola barang bekas) dan juga
lingkungan kita yang masih banyak terdapat
sampah plastik yang berserakan yang tentu saja juga menjadi perindukan
nyamuk yang menyukai air bersih ini. Data-data yang ada di Tarakan terkait
dengan Angka Bebas Jentik juga masih jauh dari harapan.
Pada epidemi HIV/AIDS, penularan yang paling banyak berasal dari transmisi seksual dan pemakaian
narkoba suntik (penasun), walaupun ada juga penularan dari ibu yang mengidap
HIV ke anak yang dikandungnya (transmisi ibu dan anak). Potensi penularan di
Tarakan yang terbanyak adalah banyaknya tempat /lokasi yang disebut
hotspot sebagai tempat transaksi maupun untuk “mengeksekusi “ kejadian hubungan seksual yang berisiko.
Menurut
estimasi Kementerian Kesehatan di seluruh Indonesia sebanyak 3,3 juta lelaki membeli seks, di
mana 2,2 juta perempuan di antaranya menikah dengan lelaki yang membeli seks
(2012). Jumlah kasus pria yang berpotensi menularkan HIV naik dari 0,1 persen
menjadi 0,7 persen (dari tahun
2007-2011) atau mengalami peningkatan 7
kali lipat. Berkaitan dengan hal
tersebut Tarakan sebagai daerah terbuka
dimana ada banyak penerbangan dan pelayaran yang masuk ke Tarakan, menyebabkan
Tarakan menjadi tempat transit dimana potensi terjadinya hubungan seksual
berisiko menjadi berlipat-lipat.
Di
samping itu Tarakan diikelilingi oleh
banyaknya perusahaan / tempat usaha yang mempekerjakan laki-laki di dalamnya.
Bukan bermaksud untuk mengkriminalisasi profesi maupun perusahaan apapun tetapi yang sering
terjadi bahwa banyak laki-laki yang bekerja jauh dari keluarga seperti
pertambangan, perkebunan atau pelayaran yang kita sebut sebagai kelompok ini
merupakan lelaki berisiko tinggi (LBT). Sebenarnya pada prinsipnya adalah
laki-laki yang berisiko adalah laki-laki dengan penghasilan lebih, mobilitasnya tinggi
dan punya perilaku macho (Mobile Man with Money and Macho behavior). Sebelumnya istilah 5S yaitu sopir, saudagar, serdadu, saudara dan saya lebih dikenal daripada 4M ini.
Data
lain di kota Tarakan adalah terkait dengan pengetahuan remaja umur 15-24 tahun tentang pengathuan
komprehensif HIV AIDS juga masih sangat rendah. Hal ini ditengarai berkorelasi
langsung masih munculnya kasus HIV positif di Tarakan. Hanya sekitar 30 % remaja kita yang memahami
HIV AIDS secara komprehensif. Bila pengetahuan tentang HIV AIDS rendah maka
tentu tidak heran jika saja penyakit ini diperkirakan akan terus bertambah di Tarakan.
Perbedaan dan Persamaan yang lain
Kasus DBD
dahulu terbanyak menyerang anak-anak, walaupun sekarang juga mulai banyak menyerang pada orang dewasa. Sedangkan HIV AIDS terbanyak menyerang usia produktif,
dimana data terakhir juga menular ke ibu
dan anak.
Kedua kondisi ini
disebabkan oleh virus menyebabkan berpengaruh pada jenis obatnya. Pengobatan gejala penyakit DBD yang diberikan adalah pengobatan yang
sifatnya hanya suportif dan simptomatik. Bila panas akan diberi obat panas dan
diberikan terapi cairan saja. Pengobatan
kausatif ( yang membunuh virus) sampai sekarang tidak ada. Pada kasus HIV AIDS, walaupun memang sudah
terdapat obat ARV (Anti Retro
Viral) namun juga bukan sebagai terapi yang kausatif. Dalam hal pencegahan dengan vaksinasi, maka vaksin DBD dan HIV
juga sama-sama belum ada. Ada kesulitan tersendiri untuk membuat vaksin
dari virus yang relatif mudah bermutasi gennya walaupun memang ada kabar bahwa studi-studi tentang vaksin ini sedang dikerjakan.
Konsekuensi
dari hal tersebut maka pencegahan adalah cara terbaik daripada sudah terjadi
kasus/penyakit. Pada DBD pencegahan
terbaik adalah 3M plus secara rutin,
pemberian ikan pemakan jentik,
pemakaian “ topi anti DBD”, larvasidasi ( pemberian larvasida pada penampungan
air). Pencegahan dengan fogging (pengasapan dengan insektisida) saat
sebelum masa penularan (SMP) memakan
biaya yang sangat tinggi dengan efek
buruk pada lingkungan, walaupun bisa dilaksanakan tetapi dianggap kurang
efektif. Sehingga fogging pada umumnya
hanya diberikan pada sudah ada penularan kasus.
Pencegahan HIV
memang terbagi pada kaum berisiko
tinggi dan pada masyarakat secara umum. Untuk
memudahkannya disingkat menjadi ABCDE. Secara umum puasa untuk tidak melakukan seks (abstinence=A)
memang sangat cocok juga dengan nilai agama dan budaya yang berkembang di masyarakat. Demkian juga konsep setia pada pasangan ( be faithful=B). Namun khusus untuk C (condom) memang dimaksudkan hanya pada kelompok risiko tinggi saja. Memang untuk hal ini selalu menjadi perdebatan. Tetapi kenyataan bahwa pada kelompok ini metode A dan B sudah sulit dilakukan maka
C menjadi salah satu alternatif. Bukan
berarti menjadi permisif terhadap hal tersebut tetapi bayangkan andaikan setiap
hari seperti saat bulan Ramadhan
besok dimana orang akan malu
(dilarang) mendekati hal-hal ke arah transmisi seksual yang berisiko
di hotspot maka selesailah
perdebatan tentang C itu. Sedangkan D
(drug) diartikan untuk menjauhi narkoba.
Walaupun yang terbesar karena penularan via suntikan tetapi narkoba yang
lain juga punya potensi untuk
menghilangkan akal sehat yang pada gilirannya juga akan mendekati kegiatan seksual berisiko yang dilarang. Untuk E (Education=educated) sehingga jelaslah bahwa pengetahuan memang
menyebabkan orang paham untuk menghindari sesuatu yang berakibat tidak baik. Memang
disadari bahwa tidak bisa hanya memakai akal saja (pengetahuan) tetapi juga dibutuhkan kesungguhan hati untuk menerapkannya. Khusus untuk E sebagian juga mengartikan sebagai
(eliminate sexual transmitted disease)
yaitu menghilangkan kemungkinan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) sebagai
pintu masuk HIV-AIDS.
·
Seksi
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
·
Dinas
Kesehatan Kota Tarakan
No comments:
Post a Comment