Wednesday, March 30, 2011

Mutu Layanan Kesehatan Kita Buruk ?

MUTU PELAYANAN KESEHATAN KITA BURUK ?
Miskin – Kaya : Belum Puas
Dalam bukunya “Mutu Pelayanan Kesehatan, Perspektif International” Al-Assaf menyatakan bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh pelayanan kesehatan pada banyak negara mencakup 3 hal yaitu sulitnya dalam mengakses layanan, masalah pembiayaan kesehatan dan buruknya mutu pelayanan kesehatan.
Di Indonesia, untuk dua permasalahan yang pertama secara relatif sudah teratasi. Sejak era otonomi daerah ini, misalnya seperti Kalimantan Timur permasalahan akses semakin membaik dengan bertambahnya jumlah puskesmas dan jaringannya (Trisnantoro, 2007). Sedangkan dalam pembiayaan kesehatan menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Hal ini ditandai dengan disahkannya Undang –Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang mempersyaratkan bahwa anggaran kesehatan harus mencapai 5% dari APBN di luar gaji dan 10% dari APBD di luar gaji. Lahirnya UU no 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) termasuk Jaminan Kesehatan di dalamnya sebenarnya juga sebuah reformasi pembiayaan kesehatan yang pengaruhnya sangat signifikan dalam menyelesaikan permasalahan akses pembiayaan kesehatan bagi seluruh masyarakat.
Namun sebaliknya isu tentang mutu pelayanan sampai sekarang masih menjadi hal yang cukup serius. Tidak hanya di negara kita, bahkan di negara maju sekalipun. Menurut Mukti (2007) kesalahan medis (medical error) di Amerika sebagaimana dilaporkan oleh The Institute of Medicine of The National Academy of Sciences pada sebuah jurnal, angka kematian disebutkan mencapai 44.000 sampai 98.000 akibat kesalahan medis setiap tahunnya. Bahkan Leape cit. Mukti (2001) menyebutkan perkiraan yang lebih besar yaitu mencapai 180.000 pasien meninggal setiap tahunnya karena medical error tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut, Murti (2006) mengemukakan bahwa salah satu isu dalam good governance di sektor kesehatan di era otonomi daerah yang belum sepenuhnya berhasil adalah manajemen lembaga pelayanan kesehatan yang belum berorientasi pada pengguna. Hal ini dibuktikan semakin banyaknya tuntutan masyarakat pada pelayanan kesehatan baik yang berkaitan dengan masalah medik maupun non medik yang mengemuka di media massa baik yang terjadi di rumah sakit, puskesmas bahkan praktik pribadi. Bahkan beberapa kasus keluhan kesehatan ada yang masuk dalam wilayah hukum.
Dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) di Jakarta pada awal tahun 2010 yang diberi tajuk “Menggugat pelayanan RS terhadap pasien miskin” yang datanya bersumber dari laporan yang berbasis warga (citizen report card) memperlihatkan data bahwa sebagian besar pasien miskin yang datang ke RS (74,9%) mengeluhkan pelayanan rumah sakit sedangkan sisanya (25,1%) menyatakan tidak ada keluhan.
Jenis keluhan yang mengemuka dalam diskusi tersebut juga sangat beragam antara lain berhubungan dengan berbelitnya layanan administrasi, ada juga yang berhubungan dengan masalah pelayanan dari tenaga kesehatan baik dokter, perawat dan tenaga lainnya serta keluhan tentang fasilitas dan sarana rumah sakit yang tidak nyaman seperti ruang tunggu dan kurang bersihnya WC / kamar mandi / toilet yang ada. Physical performance dan service performance sama-sama belum baik.
Lain cerita si miskin, lain juga si kaya. Gambaran mutu layanan dapat tercermin dari besarnya dana kesehatan masyarakat kaya -tentu saja- yang lari ke luar negeri untuk hanya sekedar check up maupun pengobatan penyakit yang sebenarnya dapat ditangani di dalam negeri. Hal ini juga dapat terlihat dari maraknya tawaran iklan “wisata kesehatan” dengan berbagai kemudahan dan fasilitas aduhai - nya yang bertebaran di media cetak maupun elektronik kita.
Informasi yang dilontarkan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur pada pertengahan tahun 2010 pada sebuah kesempatan terungkap tentang larinya dana ke luar negeri sebesar 2 T hanya dari Jatim saja. Informasi serupa sebelumnya juga pernah dirilis oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada 30 April 2009 bahwa pada saat itu sebanyak 1 juta orang sudah berobat di luar negeri yang jika ditaksir “hanya” menghabiskan sekitar 20 T saja. Sebuah jumlah yang sangat fantastis. Bandingkan dengan data sekarang yang 2T hanya dikeluarkan oleh Jawa Timur saja. Mungkin bila dihitung dengan baik dari seluruh Indonesia angka tersebut bisa jadi jauh meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Memang banyak sekali alasan dimana orang akan mencari alternatif pengobatan ke luar negeri. Di antara alasan tersebut yang terungkap mungkin terdapat hal-hal seperti : persoalan mutu layanan kesehatan dalam negeri yang masih perlu ditingkatkan walaupun tidak menafikkan juga ada terselip rasa bangga dan gengsi untuk dapat berobat di luar negeri.
Dari kasus pelayanan kesehatan yang masih minus dimata si Miskin dan juga masih kurang memuaskan bagi si Kaya, maka akan menimbulkan pertanyaan layanan kesehatan kita hanya “cocok” untuk kalangan yang mana? Kalangan menengah yang belum teridentifikasi? Memang tidak bisa semudah itu menyimpulkannya. Perlu pembuktian lebih lanjut juga. Namun satu hal yang menggelitik apakah bila ada kesempatan memilih apakah orang dari kalangan menengah ini akan memilih berobat di fasilitas yang ada ataukah di klinik swasta atau memilih sebuah asuransi kesehatan yang punya rujukan ke luar negeri?
Apalagi sampai sekarang menurut Menkes Endang Rahayu S, dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa 1.292 rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia baru 60 persen diantaranya yang terakreditasi ( Kompas, 28 Oktober 2009). Sedangkan untuk puskesmas dari sekitar 8.548 puskesmas, jumlah yang sudah melakukan penjaminan mutu, sistem manajemen mutu (SMM) ataupun pelayanan prima tidak ada data yang memadai.
Mutu Layanan Kesehatan : Belum Diperlukan?
Namun kondisi yang sudah sedemikian memprihatinkan tersebut tidak atau belumlah disadari oleh para pengambil kebijakan yang ada. Memang sudah ada gerakan Bulan Mutu Nasional yang dicanangkan oleh Wakil Presiden pada tanggal 9 November 2010 lalu. Namun menurut hemat penulis hal tersebut masih sangat tidak memadai. Jika ditilik dari pejabat yang hadir dimana hanya ada Menteri Perindustrian saja yang mengesankan mutu hanya dapat diterapkan pada sesuatu yang yang bersifat produk industri semata. Sedangkan mutu sebuah layanan publik, termasuk di dalamnya layanan penyediaan Bahan Bakar Gas Elpiji -yang sudah menelan banyak korban- sama sekali tidak disinggung. Apalagi layanan kesehatan yang dapat dikatakan selama ini dianggap tidak bermasalah.
Demikian juga iklan layanan masyarakat dari BSN (Badan Standarisasi Nasional) beberapa waktu yang lalu, yang sempat tayang di sejumlah stasiun TV nasional maupun internet yang isinya “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai standar nasional bangsanya” (www.detik.com) memang masih memerlukan sosialisasi sampai pada tingkat substansi, karena apa makna dari istilah standar dan Standar Nasional Indonesia (SNI) masih belum banyak dipahami.
Istilah standar sendiri adalah suatu tingkat mutu yang relevan terhadap sesuatu. Agar dapat disebut bermutu maka dalam standar dijelaskan tentang apa yg harus dicapai, tingkat yang harus dicapai, persyaratan yang harus dipenuhi. Istilah standar memang sangat erat kaitannya dengan istilah seperti mutu, keselamatan dan risiko. Sedangkan beberapa dimensi mutu seperti keterjangkauan (access), keamanan dan keselamatan (safety) produk dari risiko, kesesuaian dengan kebutuhan (appropriateness) adalah beberapa syarat produk/layanan jasa untuk dikatakan bermutu yang sebenarnya berujung pada kepuasan dari pelanggan, yaitu masyarakat.
Membicarakan masalah mutu pelayanan kesehatan memang memiliki banyak dimensi dan persepsi. Dalam mendefinisikan mutu, tidak ada yang dapat mencakup semuanya. Mutu akan berbeda jika dilihat dari sisi pasien sebagai penerima layanan, provider pemberi layanan dan pihak pembayar. Jika dilihat dari sisi penerima layanan bahwa apa – apa yang menyebabkan ketidakpuasan dianggap tidak bermutu. Kebiasaan injeksi tanpa indikasi yang sering diminta pasien justru sesuatu yang tidak dibenarkan menurut prosedur yang berlaku dari sisi provider. Pada sisi lain apa yang dianggap pelayanan terbaik untuk pasien menurut provider justru dapat dianggap sebuah tindakan inefisiensi bagi pihak pembayar.
Untuk masalah mutu juga seringkali hanya dihubungkan dengan ketersediaan sumberdaya baik tenaga maupun infrastruktur pendukungnya yang dimaknai secara terpisah-pisah. Padahal masalah mutu sebenarnya sangat terkait dengan manajemen pengelolaan semua sumberdaya tersebut. Sehingga penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) yang dianggap sebagian kalangan tidak berhubungan dengan pelayanan langsung kepada pasien sesungguhnya adalah sebuah upaya efektif dan justru menjadi hal yang niscaya.
Di sisi lain adanya kenyataan bahwa hampir semua program layanan kesehatan untuk orang miskin yang selalu melalui “pintu“ puskesmas seperti munculnya program Jaring Pengaman Sosial - Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang pada tahun berikutnya berlanjut walaupun dengan nama yang berbeda seperti Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM), Askeskin (2005 – 2007) dan Jamkesmas (2008 s/d sekarang) menjadikan adanya pola pikir pada sebagian kelompok bahwa pelayanan murah apalagi gratis seperti di puskesmas dianggap tidak memerlukan mutu yang baik. Mutu pelayanan yang seadanya pada puskesmas seolah menjadi dimaklumi karena dianggap begitulah ciri maupun konsekuensi sebuah pengobatan murah (Bastian, 2008).
Mutu tidak diperlukan bagi sesuatu yang sifatnya masal maupun untuk rakyat kebanyakan. Sehingga pihak manajemen merasa sayang jika untuk mendukung pelayanan yang baik harus mengeluarkan sejumlah biaya, karena menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang merugikan dan sia-sia. Istilah poor quality for poor people rasanya sudah dalam kondisi yang paling ideal. Toh tanpa mutu, pasien miskin tidak akan lari kemana-mana. Sebuah kondisi tanpa pilihan.
Sebenarnya konsep mutu sendiri adalah sebuah pencegahan. Dalam membangun mutu sebuah produk/jasa layanan adalah sesuatu yang dapat direncanakan. Diantisipasi. Dalam hal pekerjaan yang bermutu maka mencegah sesuatu produk barang atau jasa yang jelek sampai ke tangan pelanggan adalah mutlak adanya.
Akibat sulitnya mendefinisikan mutu layanan kesehatan menyebabkan sebagian orang berpendapat bahwa mutu tidak dapat terukur. Bila diukur saja dianggap tidak bisa, maka bagaimana mungkin akan diterapkan? Sebenarnya dalam hal ini biaya mutu (Cost of Quality) bisa juga dianggap sebagai salah satu tools dalam mengukur tingkat kematangan sebuah organisasi maupun tingkat komitmen top manajemen dalam sebuah perjalanan organisasi menuju mutu.
Permasalahan mutu dengan biaya mutunya memang menjadi fenomena yang sangat menarik. Di satu sisi biaya mutu didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk dapat meraih mutu yang baik (good quality). Di sisi lain, biaya mutu dianggap juga sekaligus untuk membiayai sebuah kegagalan yang diakibatkan oleh mutu yang buruk (poor quality). Yang sebenarnya terjadi adalah walaupun ada hubungan antara biaya mutu sebagai sebuah masukan (input) dengan mutu layanan sebagai keluaran (output), tetapi hubungan tersebut tidaklah bersifat paralel.
Untuk menghasilkan produk/ layanan jasa yang bermutu memang dibutuhkan sebuah biaya mutu baik (cost of good quality) yang berupa biaya pencegahan (prevention cost) yang bisa ditambahkan biaya pengawasan/penilaian (appraisal cost) dan pada saat yang sama akan menyebabkan biaya kegagalan (failure cost) akan menurun. Biaya kegagalan itu sendiri adalah sebagai manifestasi dari mutu yang buruk (cost of poor quality).
Dan inilah yang menyebabkan adanya dua kutub persepsi yang berlawanan tentang mutu. Pada pandangan tradisional dimana mutu identik dengan mahal, mewah dan luks menjadikan permasalahan mutu layanan kesehatan menurut golongan ini sebaiknya dibicarakan pada saat masalah akses dan pembiayaan sudah terselesaikan. Dalam kelompok ini masalah mutu hampir tidak pernah menjadi prioritas utama karena adanya keterbatasan anggaran kesehatan yang ada (Al-Assaf, 2009). Namun bila dalam mewacanakan kebutuhan mutu layanan kesehatan harus urut kacang seperti itu maka masalah mutu menjadi semakin jauh untuk dapat tercapai karena ternyata di negara mana pun, akses dan pembiayaan kesehatan tetap menjadi masalah sampai sekarang ini, di negara maju sekalipun.
Di lain pihak adanya pandangan modern tentang mutu yang sangat bertolak belakang dengan yang pertama. Philip Crosby, seorang pakar mutu menyatakan bahwa sebenarnya mutu itu murah bahkan bisa menjadi gratis. Dengan mengeluarkan biaya untuk melakukan perencanaan, koordinasi dan pengawasan semestinya kemungkinan terjadinya keadaan kegagalan yang tidak diharapkan sudah dapat diantisipasi sejak awal. Bila proses itu dapat dilampaui dengan baik maka masalah seperti ini sudah dapat dipetakan jauh-jauh hari dan tentu saja biaya akibat kegagalan akibat program dapat ditekan sedemikian rupa. Sehingga tidak salah bila Crosby menyatakan bahwa mutu itu bisa menjadi barang yang sangat murah seperti dalam sebuah bukunya yang berjudul Quality is Free.
Bila mitos yang ada sudah terbantahkan, maka kapankah waktu yang tepat untuk mengambil keputusan dimana mutu dianggap penting dalam sebuah layanan kesehatan ?
Mutu Layanan Kesehatan dalam Universal Coverage
Dalam menyongsong Universal Coverage pada 2014, kondisi dimana semua penduduk akan terlindungi oleh asuransi kesehatan, maka sesuai dengan peta jalan yang dibuat oleh Kementrian Kesehatan akan bermunculan sekian ribu fasilitas kesehatan termasuk Puskesmas dan Rumah Sakit. Sehingga mau tidak mau bahwa Kemenkes juga harus memfasilitasi regulasi fasilitas kesehatan yang akan bermunculan tersebut dan diharapkan kemudahan akses yang ada tidak menjadi bumerang karena mutunya yang asal-asalan.
Pada kondisi tersebut, asuransi kesehatan dianggap sebagai sebuah konsep yang dianggap paling ideal dalam menggabungkan antara pengendalian biaya sekaligus mutu. Organisasi managed care berusaha memberikan pelayanan yang bermutu dengan pembiayaan yang serendah mungkin yang juga dikenal sebagai istilah kendali mutu dan kendali biaya Namun mutu dalam asuransi kesehatan selama ini lebih banyak dinilai dari kegiatan utilization review, yang mencermati data kunjungan dan utilisasi dari sebuah pelayanan kesehatan untuk kepentingan pengendalian pembiayaan dan administrasi namun belum banyak menyentuh mutu layanan kesehatan dari sudut pelanggan.
Walaupun program jaminan mutu atau Quality Assurance (QA) pernah diperkenalkan pada puskesmas namun dalam kenyataannya masih banyak kendala dalam pelaksanaannya seperti kurang jelasnya dalam hal kebijakan, pernyataan, dukungan, persiapan pada lingkungan pemberi pelayanan yang tidak memadai, pelembagaan proses mutu yang kurang baik, pemantauan dan evaluasi yang tidak memadai serta kurangnya tindakan lanjutan (Wiadnyana et al., 2009).
Selama ini program yang berkaitan dengan mutu seperti QA atau pelayanan prima juga seringkali masih dianggap sebagai sebuah “project” yang berarti akan berakhir seiring dengan habisnya pendanaan yang ada. Akibatnya proses menuju mutu seringkali “kehabisan energi” di tengah jalan.
Bagaimana menginisiasi mutu ?
Menurut Trisnantoro (2009) sejak era otonomi daerah maka peran regulasi masalah mutu sangatlah lemah sehingga pada akhirnya diserahkan pada kebijakan Pemerintah Daerah masing-masing. Di mana pada akhirnya akan sangat tampak perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain pada layanan kesehatannya.
Di tengah situasi yang demikian, ada beberapa pemerintah propinsi maupun pemerintah daerah kabupaten/kota yang sangat memperhatikan mutu pelayanan kesehatan di puskesmas. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah dua daerah dengan kondisi keuangan daerah yang sangat berbeda tetapi sama-sama dapat mendorong implementasi mutu di pelayanan kesehatan dengan sangat baik.
Sementara pada tingkat kabupaten/kota terdapat daerah dengan tingkat gambaran keuangan dan kapasitas fiskal yang berbeda tetapi sama-sama dapat menerapkan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2000. Sleman salah satu kabupaten di Propinsi DIY dengan kapasitas fiskal rendah, sampai dengan tahun 2009 berhasil membawa 13 puskesmas dari 25 puskesmas yang ada meraih sertifikat ISO (International Organization for Standardization) 9001: 2000. Sementara itu Kota Tarakan di propinsi Kalimantan Timur dengan kapasitas fiskal yang sangat tinggi pada tahun 2009 sudah dapat mendorong seluruh puskesmas yang ada (100%) untuk menerapkan Sistem Manajemen Mutu (SMM).
Selain dari daerah tersebut, masih terdapat banyak daerah lain yang juga sampai sekarang masih berproses menuju mutu karena menyadari adanya kenyataan adanya persaingan atau kompetisi baik di pada berbagai tingkatan mulai lokal sampai tingkat global (Mukti, 2007).
Belajar dari daerah yang gigih memperjuangkan mutu layanan kesehatannya dapat dipetik sebuah kesimpulan bahwa dalam masalah mutu tidak semata-mata tergantung pada besarnya anggaran yang tersedia tetapi juga besarnya komitmen dari top manajemen. Dalam membangun mutu sesungguhnya biaya mutu baik (cost of good quality) yang dikeluarkan dapat dianggap sebagai biaya investasi bila dibelanjakan pada asset pendukung mutu seperti alat untuk penyeteril perangkat gigi ataupun biaya produksi layanan kesehatan bila dalam bentuk rapat atau pertemuan yang membicarakan mutu.


Organisasi layanan kesehatan maupun pemerintah pada fasilitas kesehatan milik swasta maupun negeri sudah seharusnya untuk menganggarkan minimal biaya pencegahan (prevention cost) dan sangat dianjurkan juga biaya penilaian. (Appraisal Cost). Bila ini dapat terlaksana dengan baik maka kegagalan beserta biaya yang menyertainya otomatis akan jauh berkurang.
Sebagai contoh adalah pengadaan alat penyeteril alat medis yang memenuhi standar di puskesmas akan banyak menguntungkan dalam jangka panjang. Dalam situasi penularan penyakit lewat darah seperti hepatitis B, HIV/AIDS sangatlah mencemaskan maka akan menjadi sebuah ironi bila pelayanan kesehatan justru menjadi salah satu sumber dalam meningkatkan penyebaran penyakit ini. Pelayanan tindakan gawat darurat, kesehatan gigi atau persalinan tanpa alat pelindung diri yang memadai maupun alat yang terjamin sterilitasnya justru akan mempercepat penyebaran penyakit menular ini. Pada awalnya memang terkesan mahal. Tetapi sesungguhnya dalam jangka panjang akan menjadi lebih murah. Sehingga biaya yang dikeluarkan untuk investasi untuk pembelian alat penyeteril jauh lebih rendah daripada bila sekian orang harus tertular penyakit hepatitis B maupun HIV/AIDS yang tentu saja membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
Dalam situasi pembiayaan kesehatan yang mengalami peningkatan yang cukup tinggi sesuai UU Kesehatan no 36 tahun 2009 maka sudah saatnya biaya mutu yang mendukung dalam peningkatan pelayanan puskesmas (cost of good quality) dapat dianggarkan pada masing-masing daerah, yang diyakini jika bersama dengan faktor lain seperti komitmen kepada proses dari manajemen puncak maupun dukungan stakeholder dapat membangun mutu pelayanan kesehatan di puskesmas dan RS menjadi lebih baik. Semoga.
( Tri Astuti Sugiyatmi)

No comments: