Tri Astuti Sugiyatmi
Sebuah catatan perjalanan hidup baik pengalaman, renungan, butiran hikmah, secercah ilmu pengetahuan, dan informasi dll. Mudah-mudahan menjadi sebuah catatan yang punya manfaat dalam menyebarkan kebaikan serta sebuah keyakinan akan pentingnya mengikat makna untuk menjadi sebuah warisan berharga dan akhirnya berharap semoga bisa juga menjadi salah satu bekal menuju surga.
Tuesday, February 6, 2024
Wednesday, July 28, 2021
Memperbesar Dukungan pada Nakes /https://news.detik.com/kolom/d-5658368/memperbesar-dukungan-pada-nakes
https://news.detik.com/kolom/d-5658368/memperbesar-dukungan-pada-nakes
Thursday, January 21, 2021
BLT, Rokok dan Covid-19
BLT, Rokok, dan
Covid-19
Pasca Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir
Effendy dan Mensos Tri Rismaharini mengingatkan warga agar tidak menggunakan
Bantuan Langsung Tunai (BLT) Corona untuk membeli rokok, muncul berbagai pro
kontra pada kalangan tertentu.
Pernyataan menteri yang merupakan perpanjangan pesan dari Presiden itu bahkan
menimbulkan komentar negatif dari seorang politisi sebuah partai melalui akun
medsosnya. Politisi ini "menyerang" dengan pernyataan bahwa imbauan
itu adalah hasil dari kurang berpikirnya Mensos. Membeli rokok bagi para
penerima BLT dianggap tidak salah karena ada alasan lain yakni adanya pemasukan
negara melalui cukai rokok dan keterlibatan puluhan juta orang dalam industri
rokok.
Pro-Kontra Kebijakan
Rokok
Berbagai
kebijakan terkait rokok ataupun perilaku merokok sejak lama memang sudah sering
menimbulkan pro dan kontra. Hal ini memang karena "asal" rokok adalah
barang yang berbahaya bagi kesehatan namun legal. Dalam hal ini rokok dianggap
berbeda dengan narkoba atau bahkan miras. Walaupun pada kenyataannya rokok
menjadi gateway bagi
keduanya.
Hulu dari semua ini karena negara kita sebagai satu-satunya negara di Asia
Pasifik dan Organisasi Konferensi Islam yang belum bergabung dalam Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC) sehingga permasalahan
seperti itu masih tidak jelas. Kebijakan pengendalian tembakau atau rokok yang
tidak jelas ini kerapkali membuat ambigu dalam banyak hal.
Menurut
pendapat saya, pernyataan politisi yang kontra dengan upaya memusuhi rokok bisa
jadi "benar" sebagai sebuah informasi --walaupun sangat bisa
diperdebatkan dalihnya--- namun terasa kurang bijak dalam suasana pandemi
seperti sekarang.
Saat
ini kehidupan begitu sulit menyusul banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK)
buruh pabrik, perusahaan, dan kantor menyebabkan kehidupan menjadi sangat sulit
bahkan untuk mendapatkan sekedar sembako.
Dalam
kondisi demikian, saat ada arahan atau guidance dari
pihak lain (dalam hal ini pemerintah melalui menterinya) untuk membelanjakan
uang bantuan yang tidak seberapa itu untuk lebih bermanfaat (baca: non rokok)
semestinya menjadi kabar gembira bagi siapapun. Menurut pendapat saya, para
warga duafa penerima BLT memang butuh masukan seperti itu untuk menempatkan
prioritas secara benar dalam membelanjakan uangnya itu.
Jika
ada pihak yang merespons dengan negatif terhadap arahan positif itu, maka
menurut saya perlu dipertanyakan motifnya. Jika alasannya adalah penerimaan
uang negara dan mengangkat hidup jutaan orang yang terkait rokok, maka justru
menjadi sangat aneh.
Bagi saya, penerima BLT di masyarakat ini adalah muara atau "ujung
akhir" dari berbagai penerapan kebijakan. Jika mereka tidak dapat
menempatkan prioritas yang tepat dalam membelanjakan keuangan, maka tujuan dari
BLT tersebut bisa jadi tidak tercapai. Dalam kondisi pandemi yang membutuhkan
asupan makanan bergizi yang ekstra untuk melawannya, justru akan kontaproduktif
saat tidak adanya aturan jelas terkait pemanfaatan BLT itu.
Data-data
valid berdasarkan Susenas pada September 2019 dimana pengeluaran rokok
menempati urutan kedua sebesar 11,17% (hanya di bawah beras sebagai makanan
pokok yang menempati 20,35%) pada pengeluaran warga miskin perkotaan,
seharusnya menimbulkan keprihatinan tersendiri.
Alih-alih
jumlah kemiskinan turun, tetapi dalam sebuah guyonan dikatakan bahwa kemiskinan
akan "menurun" pada anak-cucunya karena modal dasar untuk melakukan
transformasi vertikal keluarga itu yaitu stunting, rendahnya
tingkat IQ anak, dan urusan kesehatan secara umum menjadi terganggu.
Memang
cukup sulit menggambarkan secara singkat dengan narasi pendek. Intinya, cerita
tentang kekurangan gizi dan/atau rendahnya tingkat imunitas khususnya pada anak
karena asupan protein sangat minimal kalah dengan berbagai kesenangan tersier
bapaknya yaitu rokok.
Jadi
tidak ada yang salah dengan pernyataan pemerintah terkait pemanfaatan BLT itu
walaupun di sisi lain terlihat pemerintah masih mendua dalam banyak kebijakan
terkait rokok.
Bila
pernyataan tersebut dilandasi perilaku merokok dianggap sebagai hak asasi, maka
saat sekarang ini jika lebih memberatkan pada rokok maka ibarat "bunuh
diri" dalam kondisi pandemi. Membiarkan kondisi tubuh lemah untuk menjadi
sasaran empuk Corona.
Tentu
saja alangkah eloknya bila status kesehatan si miskin tetap menjadi pertimbangan
utama saat berkomentar daripada hanya sekadar membela industri rokok dengan
mengabaikan semua implikasinya.
Perilaku Merokok dan
Covid-19
Hubungan
antara rokok dan Covid-19- sebagai penyakit baru walaupun sudah diketahui
sebagian tetapi masih terus diteliti sampai saat ini.
Sudah
ada publikasi dari 5 studi dari China yang berhasil menyimpulkan bahwa merokok
akan meningkatkan kerentanan seorang terhadap Covid-19. Perokok memiliki
peluang 2,25 kali lebih tinggi untuk berkembangnya Covid-19 daripada yang tidak
pernah merokok. Perokok memiliki risiko 14 kali lebih tinggi mengalami
pneumonia akibat Covid-19 ketimbang non perokok.
Di
sisi lain memang ada studi yang hasil publikasinya justru sebaliknya. Menyitir
Farrukh Qureshi, perwakilan WHO Indonesia yang menyampaikan dalam sebuah
kesempatan bahwa studi yang mengklaim sepihak bahwa rokok menjadi faktor
pelindung terhadap Corona justru memiliki banyak kelemahan. Pemilihan sampel
yang tidak patuh pada ketentuan penelitian, pengujian yang tidak divalidasi secara
ketat, artikel yang non peer review,
serta banyak publikasi yang muncul pada platform non
kesehatan.
Menurut
saya, untuk menyikapinya saat dihadapkan pada data yang dianggap bertolak
belakang, maka dapat diverifikasi dengan sebuah logika akal sehat selain
kekuatan data masing-masing studi tersebut.
Secara
logika dapat dipahami bahwa perilaku merokok memang akan meningkatkan
probabilitas untuk terpapar. Saat mengisap rokoknya dapat dipastikan para
perokok tidak mengenakan masker dan itulah risiko terbesar untuk tertular
Covid-19. Ini disusul kerapnya perokok menyentuh bagian mulut atau hidung, itu
juga menjadi faktor kedua penyebab kemungkinan tertular.
Faktor
ketiga memang agak teknis penjelasannya; merokok akan meningkatkan jumlah
reseptor ACE-2 (Angiotensin Converting Enzym 2). Istilah
reseptor sendiri adalah tempat menempel virus Corona dalam tubuh manusia.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengibaratkan bahwa
reseptor seperti pelabuhan, dan virus Corona sebagai kapal yang akan mendarat
dan menyinggahi pelabuhan tersebut. Semakin banyak molekul reseptor tadi,
peluang terjangkit virus akan semakin besar.
Faktor
keempat yang agak teknis bahwa rokok terbukti menurunkan imunitas seseorang.
Secara sederhana dapat digambarkan bahwa asap rokok dan racunnya yang melewati
saluran pernapasan akan merusak bulu-bulu getar yang halus dalam sistem
pernapasan atas. Sementara rambut halus tersebut berfungsi untuk
"menangkap" dan menghalau keluar kotoran besar, kecil, bahkan kuman
akibatnya akan bisa lolos masuk ke saluran napas bagian bawah. Dari sini dapat
dimengerti perokok akan lebih mudah terinfeksi.
Terakhir,
para perokok rata-rata mengidap penyakit degeneratif kronis alias menjadi
komorbid saat kemunculan Covid-19 pada seseorang. Penyakit degeneratif kronis
yang dimaksud adalah kanker, paru kronis, penyakit terkait jantung dan pembuluh
darah, serta diabetes sudah jamak diketahui bahwa faktor risiko utamanya adalah
merokok. Memang dalam hal ini rokok bersinergi dengan lifestyle buruk
yang lain seperti stres, kurangnya gerak fisik atau olahraga,dan faktor
konsumsi yang tidak sehat.
Komorbid
ini pulalah yang akan meningkatkan kemungkinan akan memperberat gejala dan
bahkan yang mengarah pada kematian sebagaimana data-data yang ada
"berbicara". Selanjutnya, pilihan ada pada Anda.
Tuesday, October 20, 2020
“Mengcovidkan" Pasien Meninggal?
Pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terkait isu bahwa RS
dan nakes "mengcovidkan semua pasien meninggal" untuk mengeruk
keuntungan membuat banyak pihak terhenyak. Lagi-lagi tuduhan yang kesekian kali
setelah Juli lalu Ketua Banggar Said Abdullah juga menyatakan hal serupa dengan
terminologi "RS nakal" dengan mencontohkan kasus pasien diabetes lama
yang akhirnya meninggal karena Covid-19. Menanggapi hal tersebut Menkes Terawan
menyatakan, serapan anggaran yang masih sedikit (saat itu) karena
kementeriannya berusaha agar hati-hati dan menghindari potensi moral
hazard.
Dari
terminologi yang dipakai membuktikan bahwa ada misinformasi dan disinformasi
dalam hal nakes (tenaga kesehatan) dan faskes (fasilitas kesehatan) saat
pandemi. Hal ini sangat merugikan bukan hanya pada keduanya, tetapi pada
penanggulangan pandemi.
Buru-Buru
dan Sepihak
Terminologi "mengcovidkan", "RS nakal", dan "moral
hazard" dapat dikatakan diberikan secara terburu-buru,
sepihak, dan tanpa klarifikasi.
Covid-19 sebagai penyakit dan sumber wabah baru memang sangat mudah untuk
disalahpahami. Apalagi karakteristik produk pelayanan kesehatan secara natural
seperti asimetri informasi (adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki
provider dan pengguna) serta adanya ketidakpastian di dalamnya (uncertainty) memang
akan semakin memperparah misinformasi dan disinformasi Covid-19.
Kedua
istilah terakhir berarti sebuah kesalahpahaman yang berbeda karakter dan motif
pada penyebarnya itu pada akhirnya menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu dan
akhirnya akan sangat merugikan nakes dan faskes.
Istilah "mengcovidkan" bisa jadi muncul dari kesalahpahaman saat yang
terjadi pada pasien --yang ke faskes untuk berobat dengan keluhan apapun--
diberikan pertanyaan dan/atau pemeriksaan yang mengarah pada penapisan Covid-19.
Tingginya angka penularan dan gugurnya sekitar 130 dokter menyebabkan
peningkatan kewaspadaan pada nakes yang bertugas. Dikatakan oleh banyak ahli
bahwa penyakit ini seolah mempunyai 1000 wajah, sehingga dalam menghadapi
pasien, dokter memakai azas "praduga bersalah". Artinya bahwa pasien
akan dicurigai positif sampai terbukti tidak --berkebalikan dari azas praduga
tak bersalah pada kasus hukum.
Demikian juga judgment dari anggota DPR bahwa
pasien diabetes yang akhirnya meninggal karena Covid-19 memang sangat mungkin
terjadi dan dapat diterangkan secara ilmiah. Diabetes sebagai salah satu
penyakit yang sering "diikuti" oleh si Corona memang jamak terjadi
dan nyata adanya. Ini terjadi karena imunitas penderita memang bermasalah. Bila
Covid-19 masuk dan menyerang pada pasien diabetes (yang sudah lama) dapat
menyebabkan kegawatan karena secara medis kadar gula darahnya melonjak secara
drastis yang seringkali diikuti pasien menjadi tidak sadar dan pada akhirnya
meninggal.
Demikian juga kejadian happy hypoxia, yakni
secara tiba-tiba pasien yang awalnya tidak sesak mengalami penurunan kadar
oksigen yang seringkali berujung pada kematian. Kejadian-kejadian yang hanya
dapat diterangkan dengan logika medis namun tidak tersampaikan seringkali
menjadikan prasangka buruk yang berlebihan terhadap nakes dan faskes.
Perlu
Dikritisi
Istilah "potensi moral hazard"
yang dikemukakan Menkes juga perlu dikritisi saat dikemukakan bersamaan dengan
tuduhan lain yang perlu diklarifikasi. Isu-isu moral hazard memang
sangat sensitif. Informasi yang ditangkap masyarakat adalah sudah terjadi dan
terbukti moral
hazard–nya (mengcovidkan untuk tujuan mengeruk dana ) dan bukan
pada kata "potensi" alias belum terjadi.
Potensi moral
hazard memang bisa jadi "hadir" ketika ada alokasi
dana untuk sesuatu hal. Apalagi dalam jumlah yang sangat banyak. Pernyataan
tersebut agak kurang bijak dan kurang sensitif karena seolah-olah
mengkonfirmasi kebenaran dugaan-dugaan masyarakat bahwa nakes dan faskes ada di
belakang pandemi Covid-19. Padahal semua masih sebatas tuduhan yang belum
terbukti. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa ini masih sebatas rumor yang
belum terbukti, namun sudah dilemparkan ke publik dan membuat kegaduhan yang
tidak perlu.
Menurut
saya, tuduhan moral hazard RS itu terlalu prematur
dikemukakan, apalagi saat penyerapan anggaran juga masih sangat sedikit. Saya
juga sangat setuju dengan respons sebagian dokter di media sosial untuk
menunjuk hidung saja ataupun memproses secara hukum bila ada oknum yang
terbukti melakukannya. Toh di sisi lain sudah ada mekanisme lain untuk mencegah
hal tersebut, yaitu adanya proses verifikasi dari para verifikator BPJS
Kesehatan. Adanya mekanisme tersebut otomatis akan "mempersempit"
ruang gerak pihak dan oknum tertentu --jikalau pun ada niat ke arah sana.
Semakin
Menjadi
Akhir-akhir ini masyarakat yang menganggap Covid-19 hanya rekaan dan
konspirasi semakin menjadi. Nakes dan
faskes menjadi bulan-bulanan netizen dan
masyarakat.
Perebutan
jenazah di berbagai tempat oleh masyarakat luas diikuti dengan ujaran-ujaran
yang tidak elok mengarah pada fitnah juga semakin marak. Penganiayaan secara
fisik kepada nakes juga kerap terjadi, bahkan terakhir ada berita melemparkan
kotoran manusia pada petugas.
Semua ini
menunjukkan bahwa komunikasi risiko pada wabah Covid-19 sangatlah buruk.
Komunikasi risiko secara keseluruhan adalah domain dari pemerintah dalam hal
ini gugus tugas ataupun satuan tugas. Pernyataan para pejabat menjadikan nakes
dan faskes semakin terjepit.
Saya dapat
mengatakan, dalam kondisi pandemi nakes dan faskes justru seolah menghadapi
tiga "musuh" secara bersamaan, yakni masyarakat yang tidak
mempercayainya, pejabat yang mencurigainya, serta keganasan virusnya.
Sayangnya
untuk menghadapi keganasan virusnya pun, nakes dan faskes kekurangan dukungan
sumber daya. Yang menjadi permasalahan, isu-isu moral hazard yang
baru bersifat "potensi" justru lebih mengemuka daripada isu-isu
ditolaknya karena hal-hal yang "sepele" dari sebuah kelengkapan klaim
(biaya). Padahal pencairan klaim yang akan "diputar" untuk antara
lain pembelian APD. Bisa jadi ujung-ujungnya nakes juga yang membeli sendiri
APD masing-masing.
Tentu saja
sangat tidak fair saat nakes dan faskes berjibaku
melawan Covid-19, ternyata tidak memperoleh support yang
memadai terkait sumber daya. Sulit membayangkan bila hal ini terjadi pada RS
swasta yang seluruh sumber dayanya murni tanpa ada subsidi pemerintah.
Semestinya
dalam wabah yang sangat luar biasa ini, tidak boleh ada hal-hal yang menghambat
klaim karena alasan yang demikian. Para pengambil kebijakan dan verifikator
semestinya tidak menerapkannya hal-hal remeh-temeh serigid seperti dalam
kondisi normal.
Dalam
kondisi pandemi ini nakes dan faskes menghadapi situasi dan posisi yang sangat
sulit. Bahwa sebagian nakes juga "galau" dengan kebijakan pemerintah
yang banyak berubah-ubah. Bahkan lebih tertekan dengan potensi tertular yang
lebih besar karena kluster baru bermunculan. Hal ini sangat membahayakan bagi
nakes karena akan langsung berhubungan dengan kondisi imunitas, sesuatu yang
diyakini sebagai benteng terakhir saat berhadapan dengan Corona.
Ibaratnya,
sekarang tinggal menunggu saatnya tiba, faskes akan kolaps serta nakesnya
tumbang karena Covid-19. Hal yang sama-sama tidak diinginkan
bisa diakses di : https://news.detik.com/kolom/d-5219305/mengcovidkan-pasien-meninggal
Wednesday, September 2, 2020
Titik Rentan Dokter dalam Pandemi
https://news.detik.com/kolom/d-5153512/titik-rentan-dokter-dalam-pandemi
Kasus meninggalnya dokter kita karena Covid-19 masih terus
terjadi. Saat ini dokter menempati urutan pertama kematian pada nakes dengan
angka telah mencapai 100 orang. Dalam angka tersebut terdapat nama peserta
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebagai calon spesialis serta
beberapa konsultan, doktor, bahkan guru besar yang kepakarannya sangat mumpuni
di bidangnya. Sebuah kehilangan besar yang membutuhkan waktu panjang untuk
menggantinya.
Kasus tumbangnya para dokter mengindikasikan bahwa ada
lubang (locus
minoris) yang menganga laiknya pada otot perut penderita
hernia yang mengakibatkan bahaya ikutan bila tidak ditindaklanjuti. Sebuah
titik rentan (vulnerability) pada
dokter kita yang perlu ditutup untuk menghindari jatuhnya korban lagi.
Kerentanan vs Ketahanan
Berbicara masalah kerentanan pada dokter dalam pandemi menurut
saya merupakan fungsi dari keterpaparan dari Corona, tingkat sensitivitas dan
kapasitas adaptif dari si dokter sendiri.
Pada situasi pandemi di mana lingkungan kerja di rumah sakit atau
puskesmas menjadi sangat infeksius, maka kerentanan ditentukan antara lain oleh
jumlah virus (viral
load) yang masuk tubuh. Hal ini dianggap sebagai salah satu
penentu dokter menjadi sakit atau tidak pasca-paparan.
Banyak teori menyebutkan keterpaparan virus Corona pada manusia memang tidak
selalu menghasilkan gejala sakit Covid-19. Dalam hal ini pemakaian alat dan
pelepasan pelindung diri (APD) standar secara benar menjadi sesuatu yang tidak
bisa ditawar dalam melawan virus yang dikenal sebagai SARS-Cov2 ini.
Tingkat kerentanan seorang dokter juga tidak dapat dilepaskan dari
apa yang dimilikinya, yang disebut sebagai tingkat sensitivitas (kepekaan)
terhadap penyakit tertentu. Menurut saya, sensitivitas berbanding lurus dengan
kondisi tubuh dari dokter yang given seperti
genetik.
Dalam hal ini munculnya komorbid (penyakit penyerta) --yang biasanya terkait
genetik tertentu-- juga menjadi titik rawan dari tertular dan parahnya
manifestasi dari Covid-19. Sehingga dokter yang berusia lanjut dikategorikan
makin rentan karena peluang adanya komorbid semakin besar. Jika status imunitas
tubuh bermasalah sejak sebelum pandemi, maka bisa dikategorikan sebagai
sensitivitas bagi dokter.
Sebaliknya, faktor kapasitas adaptif dari dokter menjadi sesuatu yang
berkebalikan bagi kerentanan. Kemampuan beradaptasi adalah inti dari sebuah
ketahanan (resilience).
Dalam hal ini kemampuan adaptasi menjadi sesuatu yang dapat dipelajari oleh
dokter untuk menyesuaikan terhadap lingkungan, keadaan serta pekerjaan saat
pandemi.
Kapasitas adaptasi menjadi "upaya terakhir" yang dapat
dilakukan dokter untuk menurunkan kerentanan. Kondisi imunitas tubuh optimal
bisa menjadi "hasil akhir" dari kemampuan beradaptasi sebagai
kombinasi pola hidup sehat yang dikembangkan dari pola makan, pola tidur serta
pola pengelolaan stres. Tentu saja ada peran kemauan untuk melakukan kebiasaan
olahraga, menjalankan hobi sebagai "me time" dan selalu positive thinking saat
menghadapi situasi apapun.
Harus Sadar Risiko
Seorang dokter semestinya tahu dan paham segala sesuatu informasi
terkait Covid-19, namun dalam implementasi sehari-hari seringkali masih belum
sesuai dengan berbagai teori yang ada. Dalam banyak kasus, dokter seringkali
justru abai pada kondisi badannya sendiri. Dokter merasa bisa mendeteksi
penyakit sekaligus mengetahui penangkalnya. Sehingga sangat sering dokter yang
sebenarnya kurang sehat, namun "memaksa diri" untuk tetap melayani
dan merawat pasien.
Kenyataan yang lazim terjadi justru dokter seringkali tidak
menjalankan pola hidup sehat karena berbagai alasan. Bukan hanya dari
"kemalasan" diri sendiri, tetapi juga bisa dari sistem penjadwalan
jaga yang sangat ketat karena keterbatasan personel, misalnya. Di lain pihak
maka praktik dokter secara mandiri ditengarai mempunyai andil dalam membuat
kondisi dokter semakin rentan karena faktor kelelahan
Menurut saya yang paling dibutuhkan adalah kesadaran dokter terkait risiko
profesi dalam masa pandemi di mana risiko tertular Covid-19 memang lebih tinggi
dari masyarakat umum Dengan menyadari akan risiko profesi dokter diharapkan
akan menjadi lebih care dan fair terhadap
badannya sendiri.
Dalam hal ini perlu ketahanan fisik yang lebih baik dengan semakin
banyak kasus, panjangnya jam kerja, dan beratnya beban kerja. Demikian juga
untuk menjaga ketahanan psikis dan mental, membutuhkan kebesaran hati untuk
menyikapi bully,
caci maki, dan fitnah yang ada. Sedangkan perubahan kebijakan pemerintah yang
sering menyebabkan dokter dalam posisi terjepit sebaiknya disikapi secara woles saja.
Satu hal yang cukup penting, dokter semestinya bisa memetakan
dirinya sendiri dengan cara self
assessment berdasarkan tingginya paparan, tingkat
sensitivitas, dan kapasitas adaptasi. Secara sederhana hasilnya akan dalam
dikelompokkan menjadi kerentanan tinggi, sedang, atau rendah.
Bila dokter bekerja pada tingkat paparan tinggi, kondisinya sudah
ada komorbid serta sulit mengatur pola makan, tidur, dan stres, maka itulah
yang paling rentan. Sebaliknya jika paparan relatif rendah, tanpa komorbid dan
kemampuan adaptasi tinggi, maka dokter akan semakin tahan dan tangguh.
Bukan Hanya Urusan Pribadi
Berbicara kerentanan dan ketahanan dokter sebenarnya bukan hanya
urusan pribadi si dokter, tetapi juga bagaimana peran dari lingkungan kerja
dalam mendukungnya.
"Status kesehatan keuangan" rumah sakit yang terganggu
akibat tersendatnya pembayaran klaim bisa jadi berkontribusi pada kematian
dokter. Kelemahan dalam implementasi berbagai pilar Sistem Kesehatan Nasional
kita seperti bidang perbekalan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat saat
pandemi terlihat jelas hubungannya dengan kematian para dokter.
Pendek kata, semua subsistem serta supra-sistem terkait dokter
juga akan ikut berkontribusi apakah menyebabkan dokter menjadi rentan ataukah
tahan. Termasuk di sini ada peran advokasi dari organisasi profesi.
Akhirnya setelah mengidentifikasi locus minoris dokter pada pandemi
ini, maka perlu kiranya untuk melakukan tindakan "operasi" untuk
penutupan lubang pada kasus hernia tadi.
Dalam hal ini perlu pembenahan dalam sistem kesehatan khususnya
sistem penanggulangan Covid-19 baik di level hulu sampai hilir. Bila pembenahan
terjadi, maka dokter tangguh akan lahir dan hadir. Sebaliknya, tanpa upaya
"operasi" itu maka kematian dokter berikutnya tinggal menunggu waktu
saja.