Wednesday, March 30, 2011

Bagaimana Mutu Layanan Kesehatan dalam Universal Coverage ?

Bagaimana Mutu Layanan Kesehatan dalam Universal Coverage ?
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi *

Dalam menyongsong situasi Universal Coverage (UC) pada 2014, peta Jalan (roadmap) menuju Jaminan Kesehatan Semesta (Jamkesta) telah disusun. Untuk itu sangat dibutuhkan persiapan-persiapan sejak jauh hari apa-apa yang menjadi titik kritis saat semua orang terjamin dalam sebuah Jamkesta. Belajar dari daerah yang sudah menerapkan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dimana pada daerah tersebut semua fasilitas kesehatan yang ada selalu tidak pernah sepi dari pengunjung, maka kemungkinan besar dalam situasi UC tersebut, akan tumbuh secara hampir bersamaan fasilitas kesehatan dalam jumlah sangat banyak.
Fasilitas kesehatan yang akan muncul nantinya baik berupa puskesmas, RS pemerintah, RS swasta maupun setingkat Balai Pengobatan dan Klinik Praktik Swasta perlu untuk diantisipasi mutu layanannya sebagai sebuah titik kritis berikutnya setelah akses dapat terpenuhi.

Situasi Sekarang
Karena dalam situasi seperti sekarang saja dimana fasilitas kesehatan yang ada belum memenuhi harapan pelanggan yang ada. Seperti gambaran pelayanan kesehatan di RS yang melayani warga miskin yang mengemuka pada sebuah diskusi publik oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) di Jakarta, awal tahun 2010, yang bertajuk, “Menggugat Pelayanan RS Terhadap Pasien Miskin” yang datanya bersumber dari laporan berbasis warga (citizen report card) memperlihatkan bahwa sebagian besar pasien miskin yang datang ke rumah sakit (74,9%) mengeluhkan pelayanan rumah sakit, sedangkan sisanya menyatakan tidak ada keluhan.
Lain si miskin, lain lagi dengan si kaya. Gambaran mutu layanan sedikit banyak dapat tercerminkan dari besarnya dana kesehatan masyarakat kaya, yang “terbang” ke luar negeri untuk sekadar check up maupun pengobatan penyakit yang sebenarnya dapat ditangani di dalam negeri. Dorongan untuk berobat ke luar ini tambah marak lewat tawaran iklan “wisata kesehatan” dengan berbagai kemudahan dan fasilitas di beberapa media cetak dan elektronik.
Wagub Jatim pada 27 September 2010 dalam sebuah acara mengungkapkan tentang larinya dana ke luar negeri sebesar Rp 2 trilyun hanya dari Jatim saja. Sebelumnya pada tahun 2009, Ketua Ikatan Dokter Indonesia pernah pula merilis bahwa pada saat itu ada 1 juta orang berobat ke luar negeri, yang dalam taksiran rupiah mencapai sekitar Rp 20 trilyun. Bayangkan bila dihitung dalam situasi sekarang dan dari seluruh penjuru negeri. Pastilah merupakan Jumlah yang sangat fantastis !
Bila saat ini, di mata si miskin dan si kaya, layanan kesehatan dianggap masih belum memuaskan maka situasi di saat akan bertambahnya jumlah fasilitas kesehatan baru pada UC nantinya maka mutu layanan kesehatan akan menjadi titik kritis baru yang sangat perlu perhatian. Ini menjadi sebuah situasi tanpa pilihan dimana Kemkes harus memfasilitasi regulasi fasilitas kesehatan tersebut. Sementara disadari sejak era otonomi daerah peran regulasi masalah mutu dari pusat sangatlah lemah, sehingga permasalahan yang terkait dengan mutu layanan kesehatan diserahkan pada kebijakan pemerintah daerah masing-masing. Kondisi ini, pada akhirnya akan memberi variasi antara satu daerah dengan daerah lain pada mutu layanan kesehatannya.
Program jaminan mutu yang pernah diperkenalkan pada puskesmas, dalam kenyataannya masih banyak kendala pelaksanaannya. Kurang jelasnya kebijakan dan dukungan, persiapan pada lingkungan yang tidak memadai, pelembagaan proses mutu yang kurang baik, monitoring evaluasi yang tidak memadai, serta kurangnya tindak lanjut mempunyai peranan yang besar dalam menghasilkan situasi mutu seperti terlihat saat ini.
Untuk itulah perlu diupayakan kebijakan mutu yang jelas. Yang tidak hanya memperlakukan sumber daya tenaga, dana serta infrastruktur secara terpisah-pisah tanpa terintegrasi dalam sebuah sistem manajemen. Karena jumlah tenaga medis maupun paramedic yang cukup jumlahnya saja tetapi tanpa dukungan alat-alat yang terstandar (kalibrasi) dengan baik tetap saja belum akan menghasilkan sebuah diagnose yang tepat, misalnya. Bayangkan alat pengukur tekanan darah (tensimeter) yang tidak pernah ditera ulang – seperti pada kebanyakan di puskesmas saat ini- akan menghasilkan tekanan darah yang membingungkan. Karena saat diperiksa dengan alat yang satu menunjukkan darah tinggi sedangkan pada alat yang lain justru sebaliknya rendah atau normal.
Dukungan untuk menjadikan sebuah layanan dasar (puskesmas) mencapai mutu yang baik masih setengah-setengah. Program yang pernah ada seperti quality assurance (QA) seringkali hanya dianggap sebagi sebuah “project”. Dan juga sistem remunerasi yang belum berjalan dengan baik menyebabkan petugas kesehatan merasa bahwa baik buruknya mutu layanan tidak akan berbanding lurus dengan pendapatannya.
Adanya anggapan bahwa puskesmas tidak memerlukan mutu dalam pelayanan kepada pelanggannya yang sebagian besar masyarakat miskin juga sedikit banyak berpengaruh kepada performance puskesmas. Istilah poor quality for poor people dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena toh pada kenyataannya si miskin tidak akan pernah protes pada apapun layanan yang ada. Sebuah situasi yang seolah-olah tanpa pilihan.

Bagaimana Menginisiasi Mutu?
Belajar dari daerah dengan kapasitas fiscal berbeda seperti Kabupaten Sleman di DIY, Kota Tarakan di Kaltim serta di DKI Jakarta yang gigih memperjuangkan mutu layanan kesehatannya di puskesmasnya yang sudah mengantongi sertifikat ISO 9001:2000 maupun ISO 9001:2008 dapat dipetik kesimpulan bahwa dalam masalah mutu tidak semata-mata tergantung pada besarnya anggaran yang tersedia, melainkan juga pada besarnya komitmen dari manajemen puncaknya. Dalam membangun mutu, sesungguhnya biaya mutu baik (cost of good quality) yang dikeluarkan dapat dianggap sebagai sebuah biaya produksi layanan kesehatan sehingga sudah seharusnya sebagai tanggungjawab dari penyandang dana dari fasilitas tersebut untuk mengalokasikannya.

Sesungguhnya mutu yang ada sekarang dalam pertentangan persepsi dua kutub. Di satu sisi bahwa mutu adalah sesuatu yang mahal, luks dan mewah. Sedangkan sisi yang lain sebaliknya mutu adalah murah bahkan bisa gratis. Menurut hemat penulis bahwa dalam perjalanan awal menuju mutu bisa jadinya jatuhnya mahal. Dalam kearifan suku Jawa ada “ Jer basuki mawa bea” yang berarti untuk menuju sesuatu yang baik butuh biaya. Dalam menyediakan peralatan sterilitas yang standar yang tentu saja mahal harganya. Juga jarum sekali pakai untuk pelayanan injeksi maupun kebutuhan sarung tangan yang cukup banyak. Tetapi tentu saja kesimpulan mahal atau murahnya menjadi sangat relatif bila pelayanan yang asal-asalan justru akan menyebabkan percepatan penyebaran penyakit HIV/AIDS maupun Hepatitis. Bayangkan berapa biaya untuk menanggulangi penyakit ini bila terjadi hanya karena kecerobohan petugas tidak mengganti sarung tangan dari satu pasien ke pasien lain, misalnya.
Sehingga istilah bahwa mutu murah bahkan menguntungkan adalah sesuatu yang benar adanya terutama dalam jangka panjang. Bahwa mutu akan mengurangi kemungkinan tuntutan adanya malpraktik maupun diagnosis yang membingungkan terkait pemakaian alat ukur seperti pada kasus tensimeter di atas. Tentu saja mutu akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pekerjaan.
Organisasi layanan kesehatan pada fasilitas kesehatan milik swasta maupun pemerintah sudah seharusnya menganggarkan minimal biaya pencegahan (prevention cost) dan sangat dianjurkan juga biaya penilaian (appraisal cost). Bila ini dapat terlaksana dengan baik, maka kegagalan beserta biaya yang menyertainya (failure cost) otomatis akan jauh berkurang.
Dalam situasi pembiayaan kesehatan yang mengalami peningkatan yang cukup tinggi, sesuai UU Kesehatan no 36 tahun 2009, maka sudah saatnya biaya mutu yang mendukung peningkatan pelayanan Puskesmas (cost of good quality) dapat dianggarkan pada masing-masing daerah dan menjadi sebuah tools dalam menginisiasi mutu untuk bersama- sama dengan faktor lain seperti komitmen manajemen puncak maupun dukungan stakeholder akan menjadikan mutu pelayanan kesehatan menjadi lebih baik. Semoga.
(Tri Astuti Sugiyatmi)

No comments: