Thursday, August 11, 2011

Mendambakan “Kartamantul” yang ( Lebih) Bersih


Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi *

Jogjakarta adalah sebuah magnet tersendiri untuk menarik pengunjung untuk datang di kota yang mempunyai berbagai julukan ini. Banyak hal yang membuat pendatang - baik wisatawan maupun pelajar dan mahasiswa yang datang dari seluruh penjuru tanah air - merasa betah di kota yang juga penuh sejarah ini. Predikat mulai dari kota pendidikan, kota pariwisata, kota bisnis , kota seni termasuk kota yang bersih.
Namun ada satu hal yang cukup mengganggu. Kota Jogja yang sudah berkali-kali meraih penghargaan adipura – penghargaan untuk kota terbersih- bahkan untuk yang ke delapan kalinya, rasanya masih sangat perlu untuk meningkatkan dirinya lagi, khususnya pada kebersihan daerah sekitarnya atau yang berbatasan dengan Sleman dan Bantul (“Kartamantul”). Karena bagi wisatawan tidak terlalu paham dengan batas administratif antara kota Jogja sendiri, wilayah Sleman dan Bantul. Sebagai tujuan wisata internasional – Jogja dan sekitarnya memang harus terlihat selalu bersih.
Beberapa Faktor Penyebab :
Pertama : Persepsi tentang kebersihan yang masih cenderung tradisional. Kebersihan hanya menjadi milik kalangan ekonomi menengah ke atas saja dan hanya dapat tercipta pada tempat-tempat elit dan bergengsi. Kebersihan adalah sebuah kemewahan. Persepsi seperti itulah yang pada akhirnya memunculkan sebuah anggapan bahwa Jogja- sebagai kota yang dikenal ramah dengan “ wong cilik” – tidak mungkin akan tampil bersih. Pola pikir seperti itulah yang menjadi tantangan besar baik bagi Pemerintah kota Jogja, Kabupaten Sleman dan Bantul yang telah “membiarkan“ warganya menganutnya.
Kedua : Jadwal pengumpulannya serta pengangkutannya masih sangat lemah terutama di jalan – jalan umum. Tentu berbeda dengan penanganan sampah di wilayah pemukiman yang ada penghuninya, penanganan sampah di jalan-jalan umum mestinya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah melalui dinas kebersihan kotanya. Sedangkan di Jogja kadang aktivitas pembersihan jalan masih belum jelas. Di tempat tertentu saat kendaraan sudah lalu lalang masih belum terlihat tanda-tanda sudah atau akan dibersihkan. Jadwal pembersihan jalan semestinya memang mengambil jadwal dimana kondisi masih atau sudah tidak terlalu ramai, sehingga pembersihan bisa berjalan maksimal
Ketiga : Belum terlibatnya sektor - sektor usaha untuk terlibat secara aktif dalam kebersihan ini. Satu hal yang khas Jogja adalah ditemukannya banyaknya warung tenda, pedagang kaki lima (PKL) dan usaha informal di setiap ruas jalan yang jelas menambah rumit permasalahan kebersihan ini. Sampah-sampah yang sering menggunung atau berserakan di tepi jalan, sering kali adalah produk dari sekitarnya. Artinya kemungkinan pedagang kecil / pedagang kaki lima / usaha di sekitarnya juga sangat mungkin ikut menciptakan kekotoran tadi.
Keempat : Belum adanya kerjasama yang cukup baik antara pemerintah daerah di wilayah Propinsi DIY ini, terutama yang berbatasan langsung dengan kota Jogja. RSUP dr. Sardjito, Universitas Gajah Mada sebagai representasi Jogjakarta ( Propinsi ) walaupun tidak berada dalam wilayah administratif kota Jogja. Namun justru di daerah-daerah yang yang menjadi “perbatasan” itu seperti di Jalan Kaliurang sekitar UGM dan jalan –jalan sekitar RSU Sardjito yang sangat parah kondisi kebersihannya.
Kelima : Tidak /Belum tersosialisasinya regulasi yang jelas pada masalah ini. Regulasi tentang hal ini bukan hanya melulu mengatur permasalahan retribusi kebersihan, tetapi juga masalah reward maupun punishment.
Upaya yang dapat dilakukan
Sampah memang bukan hanya permasalahan di kota Jogja saja. Tetapi dengan segala sumberdaya yang ada seharusnya Jogja sudah beranjak dari permasalahan “kecil” ini. Jogjakarta dengan berbagai keunggulannya dengan banyaknya Perguruan Tinggi yang ada dengan pusat penelitiannya seharusnya mulai memikirkan untuk penjagaan kebersihan serta pengelolaan sampah lebih lanjut.
Permasalahan tampaknya masih berkutat pada masalah persepsi yang salah yang pada akhirnya akan melandasi proses “pembiaran” kekotoran di Jogja ini. Memang untuk mengubah mindset tentang kebersihan perlu dilakukan pendidikan kebersihan secara berulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Di sepanjang jalan terlihat banyak baliho dan poster tentang sampah yang harus dibuang ke tempatnya. Namun sangat disayangkan bila tidak disertai perangkat pendukungnya :ketersediaan tempat sampah, kecukupan jumlah petugas, armada pengangkut maupun jadwal pengangkutannya secara jelas. Sehingga himbauan tinggal himbauan bila tanpa upaya yang cukup untuk memenuhi perangkat yang diperlukan. Disamping memang masalah manajemen pengumpulan dan pengangkutannya sampah yang ada di premis umum.
Semua pemilik usaha baik toko, warung, kedai baik yang dengan bangunan permanen atau non permanen (menggunakan tenda, rombong, tikar, lesehan yang bisa dibongkar sewaktu-waktu) diberi tanggung jawab untuk lebih menjaga kebersihan sekitarnya dalam radius 5 meter dari titik terluar tempat usahanya misalnya, maka tidak ada lagi tempat yang kotor dijalanan. Tanggung jawab ini dapat berupa penyediaan tempat sampah dalam berbagai bentuknya, membuang sampah ke tempatnya serta menjadi “polisi kebersihan” yang siap menegur konsumennya bila berlaku tidak sesuai harapan.
Tentu saja semua upaya seperti ini tidak mudah. Adanya agenda yang jelas dan terarah menjadi sesuatu yang niscaya. Dibutuhkan kerja keras dari pihak-pihak terkait. Selain itu juga diperlukan dukungan sosialisasi yang cukup dari berbagai pihak, termasuk media massa. Harian ini juga bisa menjadi pionr dalam hal ini. Yang jelas juga dukungan dari berbagai pemerintah daerah Sleman dan Bantul yang berbatasan langsung dengan kota Jogja akan sangat membantu. Dan perlunya penyusunan agenda untuk melakukan aksi bersama untuk melaksanakan hal tersebut di daerah perbatasan-perbatasan yang selama ini jarang disentuh secara maksimal. Bila untuk masalah pembuangan limbah bisa ada kerjasama, kenapa tidak untuk membuat tim kebersihan gabungan. Mungkin Provinsi bisa ikut mendorong pembentukannya.
Penulis punya keyakinan bila ada inovasi-inovasi seperti itu, semua masyarakat dan pelaku usaha pasti akan mendukung karena toh dampaknya akan ke mereka juga. Wisatawan akan semakin betah dan ujung-ujungnya akan menggerakan ekonomi mikro juga. Semoga.

dimuat di Jogja Raya (jawapos Surabaya tanggal 11 agustus 2011)











No comments: