Friday, June 1, 2012

Mutu Pelayanan : Salah Satu Titik Kritis dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan

Diposting oleh : Administrator Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi (Peneliti Pusat KP-MAK) Indonesia sedang menyongsong jaminan pelayanan kesehatan menyeluruh (Universal Health Coverage=UHC). Tanggal 1 Januari 2014 nanti maka Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) I sebagai badan hukum akan menyelenggarakan program jaminan kesehatan sesuai dengan amanat undang-undang BPJS yang baru disyahkan akhir tahun lalu. Situasi UHC akan menghilangkan kendala dalam bidang pembiayaan dan adanya kemudahan akses secara fisik, namun di sisi lain akan mengakibatkan sebuah konsekuensi yaitu jumlah pasien yang memanfaatkan pelayanan kesehatan akan meningkat tajam. Untuk itu perlu persiapan yang cukup matang sebagaimana tergambar dalam peta jalan yang dibuat oleh Kemenkes. Saat pelaksanaan seminar “Memetakan Berbagai Provider Jaminan Kesehatan Pasca UU BPJS” dalam rangka dies natalis ke-66 Fakultas Kedokteran UGM baru-baru ini mengemuka bahwa permasalahan yang dihadapi dalam menuju situasi dimana seluruh penduduk akan mendapat jaminan kesehatan masih sangat kompleks. Permasalahan seperti regulasi, infrastruktur, transformasi kelembagaan dari PT Askes menjadi BPJS I, serta kesepakatan paket benefit juga masih bahan diskusi yang cukup menarik. Salah satu titik kritis dalam persiapan BPJS yaitu masalah penjaminan mutu layanan kesehatan justru masih relatif sedikit pembahasannya. Hal-hal yang mempengaruhi mutu secara langsung seperti kekurangan jumlah tempat tidur (TT) yaitu sekitar 123.000, kurangnya jumlah/distribusi sumber daya tenaga medis khususnya dokter, serta kurangnya beberapa infrastruktur kesehatan juga masih mengemuka. Satu hal yang cukup menarik bahwa sistem pembayaran pada dokter yang dianggap hanya menggunakan satu sistem penghitungan tertentu untuk semua wilayah juga diyakini akan mempengaruhi mutu pelayanan Di sisi lain, isu tentang BPJS justru sudah memunculkan respon pasar terhadap bisnis pendirian faskes baik berupa klinik, RS atau faskes lain. PT Kimia Farma yang selama ini hanya bermain di level hulu yang berhubungan dengan obat akan menginvestasikan sekitar Rp150 miliar untuk pengembangan apotek/klinik terpadu di seluruh Indonesia sebanyak 400 unit di 30 kota dan untuk tenaganya akan bekerjasama dengan petugas medis dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang akan menerapkan “one stop health care solution”. Tentu saja pihak pemilik modal lain juga akan berpikir bahwa peluang bisnis ini akan sangat potensial mendatangkan keuntungan. Hal tersebut tentu saja menggembirakan tetapi juga akan mendatangkan kekhawatiran tersendiri. Akses masyarakat yang menjadi lebih mudah dalam mendapatkan layanan kesehatan, akan memunculkan kemungkinan lebih banyak komplain dari pasien karena mutu layanan yang kurang baik. Ekstrimnya, mutu buruk bisa berkembang menjadi sebuah tuntutan hukum karena akan naiknya jumlah malpraktik maupun kejadian yang tidak diinginkan (KTD) sebagai konsekuensi dari meningkatnya jumlah faskes asal-asalan maupun peningkatan pemanfaatannya. Sementara kita tahu bahwa regulasi mutu pelayanan kesehatan terutama yang dari “pusat” /kementrian kesehatan masih sangat lemah. Sedangkan Dinkes kabupaten / kota sebagai “pemilik” wilayah juga belum cukup kuat dalam hal ini. Social Health Insurance (SHI)Selalu Poor Quality? Situasi UHC dengan skema Social Health Insurance (SHI)yang mempunyai ciri bahwa semua penduduk wajib mengikutinya dengan memperoleh paket manfaat yang sama dalam pelaksanaannya sangat rentan dengan mutu pelayanannya.PT Askes yang menangani asuransi kesehatan wajib bagi PNS dalam survai kepuasan pelanggannya mengklaim angka 85,76% pada tahun 2010 dan masuk kategori pelayanan yang melebihi harapan pelanggan. Namun peserta jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dengan jumlah kepesertaan sekitar 76,4 juta yang menjadi representasi jaminan sosial pada masyarakat miskindi Indonesia masih menyisakan masalah. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2010 maka sekitar 75 % masyarakat miskin masih mengeluhkan pelayanan kesehatan di RS mulai dari administrasi yang berbelit-belit, ruang tunggu yang tidak nyaman, kotornya kamar mandi / toilet/wc. Situasi UHC – dengan jumlah penduduk mencapai 241 juta- maka potensi untuk terjadi problem mutu layanan kesehatan akan lebih tinggi. Pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat miskin, karena sebuah situasi tanpa pilihan. Seolah-olah istilah poor quality for poor people dianggap sebagai sesuatu yang sewajarnya. Seperti sebuah guyonan “murah kok njaluk slamet” yang artinya bahwa sesuatu yang murah tidak berhak atas keselamatan dan mutu yang baik. Sedangkan bagi si kaya, situasi seperti itu masih ada pilihan dengan memilih private insurance untuk top up. Rekayasa Mutu Layanan Kesehatan Walaupun mutu mempunyai berbagai definisi dan persepsi, namun seorang Donabedian, sebagai ahli mutu menyatakan bahwa mutu bisa dinilai dengan tiga faktor yaitu input (stuktur), proses dan output. Namun secara umum bahwa poor quality akan menjadi sebuah keniscayaan bila input dalam membangun mutu seperti man, money, material, machine sertamethode - nya masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Dalam masa persiapan UHC seperti sekarang ini bila menginginkan sebuah good quality makamasalah struktur sebagai input adalah menjadi bagian terpenting yang harus diperhatikan. Kekurangan tenaga dokter dan kurang meratanya distribusi maka diperlukan standar salary yang pantas bagi dokter sebagai seorang profesional. Prevention cost diperlukan dalam hal biaya mutu (cost of quality) yakni pencegahan mutu yang buruk seperti biaya pengembangan kapasitas dan kompetensi SDM dalam hal klinik dan medik, diharapkan juga akan meningkatkan mutu pelayanan. Perlu diingat untuk pelayanan yang baik juga butuh aturan dan regulasi yang jelas, sehingga semestinya Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK) menyiapkan segala sesuatu peraturan yang diperlukan. Pemerintah daerah dalam hal ini dinas kesehatan bisa menjadi leader yang menginisiasi mutu dalam pelayanan kesehatan di daerahnya. Semoga.

No comments: