Monday, September 3, 2012

BPJS dan Kedaulatan Kesehatan di Perbatasan


BPJS  dan Kedaulatan Kesehatan di Perbatasan
Tri Astuti Sugiyatmi *

UU BPJS sudah disyahkan. Masa persiapan menuju  jaminan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC ) hanya tinggal  dalam hitungan  18 bulan saja dengan   banyaknya pekerjaan rumah  yang mesti diselesaikan. 
Bagaimana penggajian tenaga kesehatan dalam era BPJS,   kecukupan tenaga dokter, pemenuhan infrastruktur pendukung  seperti  kecukupan tempat tidur (TT),  mekanisme pengumpulan dana  bagi tenaga kerja  informal dan  permasalahan regulasi  adalah sebagian dari permasalahan yang  masih mengganjal.  Belum lagi  permasalahan transformasi kelembagaan  dari  PT Askes menjadi  BPJS  Kesehatan yang bersifat nirlaba.

Tantangan BPJS Kesehatan di Wilayah Perbatasan
Dengan banyaknya permasalahan yang terjadi maka BPJS Kesehatan dalam hal ini PT Askes  harus  menempatkan  salah personel  terbaiknya di daerah-daerah yang cenderung  bermasalah  dalam bidang kesehatan yaitu DTPK (Daerah  Terpencil, Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan).
Permasalahan di ketiga kawasan khusus itu adalah serupa seperti kondisi geografi yang sulit, adanya iklim/cuaca yang berubah-ubah, wilayah yang cenderung sangat luas, status kesehatan masyarakat yang masih rendah, kurangnya sarana dan prasarana kesehatan, adanya keterbatasan jumlah dan jenis  sumber daya manusia kesehatan, serta kurang baiknya mutu pelayanan kesehatan yang ada.
Khusus permasalahan BPJS Kesehatan di daerah perbatasan  menjadi sangat kompleks, karena yang dihadapi bukan sekedar hal tersebut di atas. Seperti banyak di di muat oleh media massa, bahwa perbatasan kita diibaratkan halaman belakang rumah, yang  terkesan kumuh dan tidak enak untuk dilihat sehingga   sangat kontras bila dibandingkan dengan kondisi perbatasan negeri tetangga yang cenderung lebih gemerlap, terang benderang dalam arti yang sebenarnya  dan lebih menarik.
Masyarakat perbatasan   cenderung distrust terhadap layanan kesehatan sendiri  karena keadaan fasilitas kesehatan kita di daerah perbatasan belum cukup memenuhi harapan masyarakat.  Sehingga tidak heran bila sebagian warga negara kita di  Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, daerah di sebelah barat Indonesia  berturut-turut  lebih memilih untuk ke Tawao   di Sabah atau Kuching- Sarawak  atau ke  Selangor , semuanya di Malaysia untuk mendapatkan layanan kesehatan yang lebih bermutu dengan  biaya yang terjangkau.
Bila selama ini hanya  motif ekonomi  saja yang mendasari  mereka berobat ke luar negeri     dengan biaya yang dikeluarkan dari kantong sendiri (out of pocket) namunagak berbeda dengan suasana akhir-akhir ini di daerah perbatasan. Tingginya kesenjangan antara  wilayah mereka dengan negeri tetangga akhirnya memicu masalah lain seperti ancaman disintegrasi bangsa.   Beberapa kelompok masyarakat / perorangan mengancam mau berpindah kewarganegaraan  menjadi warga negara Malaysia, seperti kasus di Kalimantan Barat tahun lalu menjadi sebuah ancaman kedaulatan yang nyata-nyata di depan mata.
 Di sisi lain, salah seorang pakar jaminan  sosial khususnya kesehatan Prof. dr. Hasbullah Thabrany MPH., Dr.PH  dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dalam sebuah wawancara dengan sebuah televisi swasta beberapa waktu  yang lalu menyatakan bahwa untuk masalah portabilitas di perbatasan bisa  juga  memakai  faslilitas ke negeri tetangga. Karena permasalahan kesehatan khususnya kasus-kasus emergensi  butuh kecepatan dan tentu saja kedekatan dengan fasilitas kesehatan yang memadai  sebagai salah satu  kuncinya.
Wujudkan Kedaulatan Kedaulatan  di Perbatasan
Walaupun secara prinsip  pelayanan kesehatan tidak ada yang salah dengan usulan  guru besar FKM UI tersebut, namun menurut penulis  agak berbeda persoalannya bila kita sudah berani mencanangkan UHC sebagai sebuah program nasional. Masih kedodorannya dalam hal pelayanan kesehatan dasar dan sistem rujukannya  dapat sebagai indikasi ketidaksiapan BPJS Kesehatan dan ketiadaan perencanaan yang baik  justru  akan menyebabkan membuat  kedaulatan kesehatan bahkan kedaulatan negara kita akan lebih terpuruk.
 Sebagai langkah  awal pelaksanaan UHC bisa jadi hal tersebut masih dimungkinkan. Tetapi tetap saja untuk jangka panjang, BPJS Kesehatan mempunyai kewajiban  untuk mempersiapkan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu  dan sistem rujukan  untuk ke   Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) lanjutan  di negeri sendiri.
BPJS Kesehatan yang  sudah hampir pasti dipegang oleh PT Askes ,  tentu saja menjadikannya mempunyai kewajiban  untuk  menyiapkan  pelayanan yang sebaik-baiknya pada saatnya nanti. Dalam masa persiapan ini semestinya PT Askes harus  lebih pro aktif untuk memulai menghubungi dinas kesehatan setempat.  Apakah program UHC yang punya visi sangat mulia itu benar-benar sudah tersosialisasi dengan baik. Jangan-jangan program  nasional ini hanya populer di pengambil kebijakan di pusat saja, belum menyentuh ke daerah. Dari kerjasama ini semestinya juga bisa dipetakan bagaimana kesiapan infrastruktur, tenaga dan segala hal yang mendukung terselenggaranya pelayanan kesehatan.  Karena bila hal-hal mendasar  seperti tenaga, infrastruktur  sebagai sebuah input  dalam pemberian pelayanan kesehatan  belum terpenuhi maka proses selanjutnya dan output pun dapat ditebak hasilnya.
 Jangan sampai peluang UHC untuk menyejahterakan masyarakat  justru menjadi sebuah titik lemah karena buruknya mutu pelayanan dari sisi input.  Sehingga kita berharap banyak dengan BPJS  Kesehatan ini.   Keberhasilannya,  akan  menjadi jawaban bahwa masih ada harapan masyarakat  di perbatasan untuk menikmati layanan kesehatan yang bermutu  yang menjadi haknya sebagai warga Republik ini.
           Dokter di Dinas Kesehatan Kota Tarakan dan Associate Researcher di Pusat Kebijakan  Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan , Fakultas Kedokteraan,  Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
           Email : triastutisgtm004@gmail.com


No comments: