BPJS
dan Kedaulatan Kesehatan di Perbatasan
Tri
Astuti Sugiyatmi *
UU
BPJS sudah disyahkan. Masa persiapan menuju jaminan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC ) hanya
tinggal dalam hitungan 18 bulan saja dengan banyaknya pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.
Bagaimana
penggajian tenaga kesehatan dalam era BPJS,
kecukupan tenaga dokter, pemenuhan
infrastruktur pendukung seperti kecukupan tempat tidur (TT), mekanisme pengumpulan dana bagi tenaga kerja informal dan
permasalahan regulasi adalah
sebagian dari permasalahan yang masih
mengganjal. Belum lagi permasalahan transformasi kelembagaan dari
PT Askes menjadi BPJS Kesehatan yang bersifat nirlaba.
Tantangan
BPJS Kesehatan di Wilayah Perbatasan
Dengan
banyaknya permasalahan yang terjadi maka BPJS Kesehatan dalam hal ini PT Askes harus
menempatkan salah personel terbaiknya di daerah-daerah yang cenderung bermasalah dalam bidang kesehatan yaitu DTPK (Daerah Terpencil, Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan).
Permasalahan
di ketiga kawasan khusus itu adalah serupa seperti kondisi geografi yang sulit,
adanya iklim/cuaca yang berubah-ubah, wilayah yang cenderung sangat luas,
status kesehatan masyarakat yang masih rendah, kurangnya sarana dan prasarana kesehatan,
adanya keterbatasan jumlah dan jenis sumber daya manusia kesehatan, serta kurang
baiknya mutu pelayanan kesehatan yang ada.
Khusus
permasalahan BPJS Kesehatan di daerah perbatasan menjadi sangat kompleks, karena yang dihadapi
bukan sekedar hal tersebut di atas. Seperti banyak di di muat oleh media massa,
bahwa perbatasan kita diibaratkan halaman belakang rumah, yang terkesan kumuh dan tidak enak untuk dilihat
sehingga sangat kontras bila dibandingkan dengan
kondisi perbatasan negeri tetangga yang cenderung lebih gemerlap, terang
benderang dalam arti yang sebenarnya dan
lebih menarik.
Masyarakat
perbatasan cenderung distrust terhadap layanan kesehatan
sendiri karena keadaan fasilitas
kesehatan kita di daerah perbatasan belum cukup memenuhi harapan
masyarakat. Sehingga tidak heran bila
sebagian warga negara kita di Kalimantan
Timur, Kalimantan Barat, daerah di sebelah barat Indonesia berturut-turut lebih memilih untuk ke Tawao di Sabah atau Kuching- Sarawak atau ke
Selangor , semuanya di Malaysia untuk mendapatkan layanan kesehatan yang
lebih bermutu dengan biaya yang
terjangkau.
Bila
selama ini hanya motif ekonomi saja yang mendasari mereka berobat ke luar negeri dengan biaya yang dikeluarkan dari kantong
sendiri (out of pocket) namunagak
berbeda dengan suasana akhir-akhir ini di daerah perbatasan. Tingginya
kesenjangan antara wilayah mereka dengan
negeri tetangga akhirnya memicu masalah lain seperti ancaman disintegrasi
bangsa. Beberapa kelompok masyarakat /
perorangan mengancam mau berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia, seperti kasus
di Kalimantan Barat tahun lalu menjadi sebuah ancaman kedaulatan yang
nyata-nyata di depan mata.
Di sisi lain, salah seorang pakar jaminan sosial khususnya kesehatan Prof. dr. Hasbullah Thabrany MPH., Dr.PH dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia dalam sebuah wawancara dengan sebuah televisi swasta beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa untuk masalah
portabilitas di perbatasan bisa
juga memakai faslilitas ke negeri tetangga. Karena
permasalahan kesehatan khususnya kasus-kasus emergensi butuh kecepatan dan tentu saja kedekatan
dengan fasilitas kesehatan yang memadai
sebagai salah satu kuncinya.
Wujudkan
Kedaulatan Kedaulatan di Perbatasan
Walaupun
secara prinsip pelayanan kesehatan tidak
ada yang salah dengan usulan guru besar
FKM UI tersebut, namun menurut penulis
agak berbeda persoalannya bila kita sudah berani mencanangkan UHC
sebagai sebuah program nasional. Masih kedodorannya dalam hal pelayanan
kesehatan dasar dan sistem rujukannya
dapat sebagai indikasi ketidaksiapan BPJS Kesehatan dan ketiadaan
perencanaan yang baik justru akan menyebabkan membuat kedaulatan kesehatan bahkan kedaulatan negara
kita akan lebih terpuruk.
Sebagai langkah awal pelaksanaan UHC bisa jadi hal tersebut
masih dimungkinkan. Tetapi tetap saja untuk jangka panjang, BPJS Kesehatan
mempunyai kewajiban untuk mempersiapkan
pelayanan kesehatan dasar yang bermutu
dan sistem rujukan untuk ke Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)
lanjutan di negeri sendiri.
BPJS
Kesehatan yang sudah hampir pasti
dipegang oleh PT Askes , tentu saja menjadikannya
mempunyai kewajiban untuk menyiapkan
pelayanan yang sebaik-baiknya pada saatnya nanti. Dalam masa persiapan
ini semestinya PT Askes harus lebih pro
aktif untuk memulai menghubungi dinas kesehatan setempat. Apakah program UHC yang punya visi sangat
mulia itu benar-benar sudah tersosialisasi dengan baik. Jangan-jangan
program nasional ini hanya populer di
pengambil kebijakan di pusat saja, belum menyentuh ke daerah. Dari kerjasama ini
semestinya juga bisa dipetakan bagaimana kesiapan infrastruktur, tenaga dan
segala hal yang mendukung terselenggaranya pelayanan kesehatan. Karena bila hal-hal mendasar seperti tenaga, infrastruktur sebagai sebuah input dalam pemberian pelayanan kesehatan belum terpenuhi maka proses selanjutnya dan
output pun dapat ditebak hasilnya.
Jangan sampai peluang UHC untuk
menyejahterakan masyarakat justru
menjadi sebuah titik lemah karena buruknya mutu pelayanan dari sisi input. Sehingga kita berharap banyak dengan BPJS Kesehatan ini. Keberhasilannya, akan
menjadi jawaban bahwa masih ada harapan masyarakat di perbatasan untuk menikmati layanan
kesehatan yang bermutu yang menjadi
haknya sebagai warga Republik ini.
• Dokter di Dinas Kesehatan Kota Tarakan dan Associate
Researcher di Pusat Kebijakan Pembiayaan
dan Manajemen Asuransi Kesehatan , Fakultas Kedokteraan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
• Email : triastutisgtm004@gmail.com
No comments:
Post a Comment