Monday, December 17, 2012



Endemis, Tarakan Kenalkan Topi Anti DBD
Sabtu, 15 Desember 2012 , 18:55:00
http://www.jpnn.com/picture/thumbnail/20121215_150640/150640_652210_Nyamuk.jpg
TARAKAN – Berdasarkan catatan Dinas Kesehatan Kota Tarakan, sepanjang Januari hingga Oktober tahun ini, terjadi 239 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan 4 penderita diantaranya meninggal dunia. Dimana dari 20 kelurahan yang ada di Tarakan, seluruhnya merupakan endemik atau minimal dalam tiga tahun terakhir di setiap kelurahan selalu ada penemuan kasus DBD. Pihak Dinas Kesehatan Kota Tarakan, melalui Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) pun menyebutkan bahwa data diatas dapat diartikan bahwa kejadian kasus DBD di Tarakan cukup tinggi.

Pun demikian, pada dekade sebelum tahun 2007, secara sporadis ada kelurahan yang bebas dari DBD, dan sejak tahun 2007 hingga 2010, selalu ditemukan kasus DBD di setiap kelurahan. Lalu, pada tahun 2011, Dinas Kesehatan memastikan ada dua kelurahan yang tingkat kejadian kasus DBD-nya nol, yakni Kelurahan Pantai Amal dan Mamburungan Timur.

“Sementara di 2012, ditemukan lagi kasus DBD di setiap kelurahan. Ini menunjukkan bahwa kasus DBD di Tarakan sangat dipengaruhi oleh cuaca Tarakan yang begitu tinggi curah hujannya,” ungkap dr Hj Tri Astuti Sugiyatmi, Kepala Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Bidang P2PL pada Dinas Kesehatan Kota Tarakan, seperti dilansir Radar Tarakan, Sabtu (14/12).

Sementara itu, dilihat dari tingkat Angka Bebas Jentik (ABJ), kelurahan yang paling tinggi ABJ-nya adalah Kelurahan Kampung VI. Ini dikarenakan program pemantauan jentik nyamuk lewat Juru Pemantau Jentik (Jumantik) berjalan secara berkelanjutan. Pun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa di kelurahan ini masih ada kasus DBD.

“Kemungkinan besar, penjangkitan DBD di wilayah Kelurahan Kampung VI berasal dari gigitan nyamuk dari daerah lain saat warga Kampung VI bekerja atau beraktivitas di luar wilayah Kampung VI,” ulasnya.

Selain melakukan pemantauan kasus DBD lewat Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), Dinas Kesehatan juga mengupayakan penanganan penularan DBD dengan mencegah pengembangbiakan jentik nyamuk pembawa virus DBD lewat program abatisasi. Meski abatisasi dinilai cukup efektif untuk memutus rantai pengembangbiakan nyamuk, Dinas Kesehatan tetap mengusahakan cara lain yang lebih efektif dan dapat diterapkan di seluruh rumah tangga. Salah satu cara yang masih dalam tahap pengenalan dan baru diperkenalkan kemarin oleh Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit adalah Topi Anti DBD yang merupakan adaptasi dari model serupa di India namun tidak dengan jala berinsektisida.

Disebutkan dr Tri, pengembangan Topi Anti DBD ini dilakukan pihaknya setelah mendapat pelatihan manajemen DBD oleh Kementerian Kesehatan RI pada bulan Februari lalu. Diliriknya model ini, menurut dr Tri karena dinilai cukup efektif menangani DBD ditambah lagi kondisi di Tarakan yang banyak kemiripan dengan India.

“Masalah di Tarakan itu kan kesulitan mendapatkan sumber air, sehingga kebanyakan masyarakat memanfaatkan air hujan yang ditampung didalam drum atau profil tank. Dan, seperti kita tahu, tempat penampungan air hujan seperti itu adalah tempat istimewa bagi nyamuk bertelur, menyebarkan jentik nyamuk hingga menjadi nyamuk dewasa,” ungkap dr Tri.

Meski belum ada penelitian secara spesifik maupun studi akademis terukur terkait efektivitas Topi Anti DBD memutus rantai pengembangbiakan jentik nyamuk dan mengurangkan ABJ di Indonesia, secara teknis, perangkat yang berbahan jala halus mirip kelambu yang didesain sedemikian rupa sehingga mirip topi atau penutup kepala berkaret elastis ini, mampu mencegah masuknya nyamuk dewasa kedalam penampungan air. Dengan begitu, maka nyamuk dewasa tidak akan mampu menempatkan larvanya yang kemudian menjadi jentik hingga berubah menjadi nyamuk dewasa. “Dengan Topi Anti DBD ini, singkatnya air hujan bisa masuk ke dalam drum atau profil, tapi nyamuk tak bisa masuk karena lubang jalanya begitu kecil,” urai dr Tri.

Jika model ini berkembang luas di Tarakan, maka bisa jadi Tarakan merupakan daerah pertama di Indonesia yang mempopulerkan Topi Anti DBD ke masyarakat. Kelebihan lain dari alat sederhana ini adalah, tak sulit untuk mendapatkan bahan maupun pembuatannya.

”Kain apa saja bisa dirangkai menjadi alat ini, dan harga bahannya juga tidak terlalu mahal. Untuk besar Topi Anti DBD-nya, dapat menyesuaikan dengan besar penampang atas drum atau profil, tak ada masalah,” tukas dr Tri.(ndy)

No comments: