Friday, January 31, 2014

Memprediksi Mutu Layanan Kesehatan Dalam JKN

tulisan yang ketinggalan .......

Peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN)  baru saja berlalu. Dengan tema  Menuju Indonesia Sehat dan  JKN yang Bermutu, Kementrian Kesehatan  merasa sangat optimis dalam menyambut  Sistem Jaminann Kesehatan Nasional  (JKN) yang akan diterapkan pada awal tahun 2014 ini.
JKN  sebagai  bentuk reformasi  sistem  pembiayaan kesehatan dimana semua penduduk akan terwadahi dalam sistem asuransi kesehatan. Pembiayaan  kesehatan yang seringkali menjadi masalah khususnya bagi masayarakat miskin dalam mengakses layanan, sudah tidak menjadi problem utama lagi.
Tentu saja ini adalah sebuah kemajuan bahkan lompatan  besar bagi sebuah bangsa yang sedang terpuruk pada banyak bidang ini. Itulah mungkin yang menjadi latar belakang  sikap optimis  Kemenkes  dan jajarannya sehingga menjadikannya  sebagai tema utama pada peringatan HKN yang ke -49 yang baru lalu.
Mutu Yankes : Titik Kritis Terbesar
Mutu pelayanan kesehatan menjadi penting karena memang  dalam  sistem asuransi / jaminan  kesehatan terdapat 2 pilar utama  yaitu  mutu layanan di satu sisi dan pengendalian pembiayaan di sisi yang lain.
Membicarakan masalah mutu pelayanan  publik memang memiliki banyak dimensi dan persepsi. Berkaitan dengan peringatan hari mutu sedunia (world standard day) 14 Oktober  yang diadopsi  menjadi bulan mutu nasional di Indonesia  berarti berbicara  bahwa  sebuah mutu haruslah standar. Istilah standar adalah suatu tingkat mutu yang relevan terhadap sesuatu. Dalam standar dijelaskan tentang apa dan tingkatan yang harus dicapai, serta persyaratan yang harus dipenuhi. Beberapa syarat produk/ jasa untuk dikatakan bermutu menyangkut dalam banyak hal seperti   keterjangkauan, keamanan dan keselamatan.
Layanan kesehatan yang  produknya berupa jasa yang bersifat intagible  maka  menjadikannya sangat kompleks.  Mutu  bisa jadi akan dipahami secara  berbeda jika dilihat dari sisi pasien sebagai penerima layanan, provider  sebagai pemberi layanan dan  pihak pembayar dalam hal ini BPJS.
Masalah mutu juga seringkali juga dihubungkan dengan ketersediaan sumberdaya baik tenaga maupun infrastruktur pendukungnya. Unsur sumber daya manusia (SDM) juga sangatlah berperan, tanpa mengurangi pentingnya peran dari ketersediaan infrastruktur lain seperti gedung  dan   berbagai peralatan pendukungnya.
Di daerah dengan situasi geografi yang biasa seperti di DKI Jakarta- seperti  terlihat dalam pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat beberapa waktu yang lalu- perdebatan tentang infrastruktur  dan SDM juga belum selesai. Apalagi banyak tempat di Republik ini yang termasuk dalam kategori daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK)  dimana untuk mengakses  pada pelayanan kesehatan saja masih sangat sulit. Pada saat itulah diskusi selalu   mentok  pada : “jangankan mutu pelayanan, wong pelayanannya saja tidak ada!!!” 
Jika data makro  yang dipakai oleh pemerintah terlihat  sudah  baik tetapi  saat di zoom  di level provinsi apalagi di Kabupaten/Kota kekurangannya tampak jelas. Walaupun jumlah fasilitas pelayanan kesehatan terkerek naik dari waktu ke waktu tetapi  secara mikro tempat tidur (TT) untuk pasien rawat inap juga masih kurang sekitar 60 ribuan di level Kabupaten/kota.  Sementara data Kemenkes menyebutkan  dari  894.095  orang tenaga yang bekerja di institusi kesehatan maka hampir separonya ada di Pulau Jawa dan Bali (48,88%), hampir sepertiganya ada di pulau Sumatra (26%).  Sementara sisanya ada di 5 daerah lain bahkan  untuk Kepulauan  NTT 4%, Papua 2% dan Kepulauan  Maluku 1,78%. Disparitas yang sangat jauh.  Khusus untuk kebutuhan  dokter spesialis misalnya spesialis anak maka pada level  cukup pada separoh  jumlah propinsi. Sisanya mengalami kekurangan. Bahkan di propinsi yang mengalami  kelebihan spesialis bila di breakdown di level kabupaten akan bervariasi juga hasilnya.
Jika data-data kebutuhan hardware saja masih sangat kurang  maka  demikian juga pada tataran software maupun brainware. Dimana prosedur operasional pelayanan pada setiap level seringkali menjadi sesuatu yang terabaikan.  Satu hal yang sangat signifikan  pada semua proses juga adalah persepsi mutu  dan komitmen pada stakeholder sendiri. Sampai seberapa “dalam/jauh” mutu minimal yang harus dicapai. Bagi sebagian pihak mutu tidak diperlukan bagi rakyat kebanyakan / miskin. Istilah poor quality for poor people (mutu buruk untuk masyarakat miskin) dianggap sudah cukup. Toh tanpa mutu, pasien miskin tidak akan lari kemana-mana karena menjadi sebuah situasi  tanpa pilihan.
Banyaknya masalah  mendasar yang belum selesai menjadikan  sebagian kalangan  justru pesimis dengan kondisi  mutu pelayanan kesehatan pada era JKN nanti.   Bagi mereka era JKN tidaklah otomatis meningkatkan mutu pelayanan. Bisa jadi  akan  tetap seperti sekarang atau  justru semakin buruk. Peningkatan jumlah pasien yang datang ke layanann kesehatan akan meningkatkan  beban petugas kesehatan. Sementara pada saat yang sama  tidak ada tambahan pendapatan bagi petugas medis  karena sebagaian daerah menyetor dana kapitasi dari asuransi sosial ke kas negara/kas daerah.
Rekayasa Mutu Layanan Kesehatan
Kondisi yang serba sulit ini lantas memunculkan banyak pertanyaan, lantas siapa yang bertanggung jawab pada masalah mutu pelayanan? Dalam hal ini apakah kewajiban BPJS hanya membayar pelayanan kesehatan saja tanpa mempedulikan mutu? Lantas bagaimana cara kerjasama antara BPJS dan Pemerintah dalam menginisisasi mutu layanan kesehatan di  daerah ?
Terkait dengan mutu layanan kesehatan peran dan fungsi masing-masing stakeholder juga harus jelas. Standar Pelayanan Minimal sebagai ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal memang menjadi  beban target dari daerah dalam hal ini adalah Dinkes. Dalam hal dimensi  mutu yang sifatnya tangible seperti kebersihan dan kenyamanan pada ruang tunggu, toilet serta ruang perawatan  menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan langsung.
Untuk kesejahteraan provider (institusi dan nakes)  menjadi tanggung jawab semua level.  Pemerintah pusat dalam hal penentuan premi  dan tarif yang akan berpengaruh terhadap pembayaran jasa. Pemerintah daerah sudah selayaknya juga memberikan  tambahan biaya yang cukup untuk mempersiapkan semua input  tersebut baik dalam bidang SDM dan infrastruktur.  Khusus dalam dalam hal pemanfaaatan dana kapitasi di puskesmas  dirasa perlunya sinkronisasi aturan di level pusat antara Kemenkeu, Kemenkes serta Kemendagri.
Sikap optimis Kemenkes semestinya diikuti dengan percepatan penyelesaian  PR termasuk aturan di bawah Undang-Undang SJSN  yang sampai sekarang  belum selesai sehingga jangan sampai sikap optimis hanya sekedar lip service saja yang pada gilirannya justru bisa menjadi  bumerang yang akan kontraproduktif bagi keberlangsungan program yang  sejatinya menjadi kebanggaan kita semua.


No comments: