Wednesday, December 17, 2014

Sebuah Ironi : Bencana yang Dikehendaki




Matahari belum tinggi, tapi situasi di  beberapa sudut ibukota sudah ramai lalu lalang orang yang  mencari transportasi bis, metromini, taxi, ojek dll. Suara mesin  kendaraan dan klakson  yang bersahut-sahutan sudah memecah pagi  yang hening. Begitu juga asap dan gas buang kendaraan mengikutinya dari belakang. Masing-masing tenggelam dalam  rutinitas kegiatannya. Pak ojek menunggu penumpang dengan helm yang siap di motornya. Pekerja berjalan bergegas berlari mengejar kendaraan ini untuk bisa sampai di tempat kerjanya tepat waktu.  Pedagang bubur ayam, roti, makanan ringan, tissue, sibuk melayani pembelinya dalam diam. Pasukan kuning (pak sampah) sibuk memunguti sampah yang tidak pernah habis di sekitar jalan protocol yang paling bregengsi di ibukota.  Ada sebuah kesamaan yang menarik dari  rata-rata para pria berbeda profesi  (dilihat dari seragam dan baju yang dikenakannya) di sekitar tempat itu. 
 Saya melihat candu rokok ini sudah menguasai semua lapisan. Ada seorang menteri yang mempertontonkan kebiasaan merokoknya di layar kaca tanpa rasa bersalah- walaupun belakangan sudah menyatakan akan stop.  Tapi opini sudah  kadung terbangun.  Ada bapak bapak pejabat dengan mobilnya yang berplat merah mengisap rokok sambil menyetir, waduuh….! bahkan   yang menyedihkan bahwa semua pekerja  seperti pak satpam, bapak pemulung, pedagang kecil, sopir yang –maaf- ada kemungkinan  uang untuk beli rokoknya masih lebih besar daripada untuk membelikan makanan bergizi untuk anaknya.  Menyedihkan sekali saat mereka lebih mengedepankan “kesenangannya” dibanding untuk yang lain bahkan kesehatannya. !  Ironisnya , bahkan  banyak  juga para aparatur di lingkungan kesehatan yang sedemikian menikmati nya sampai melupakan bahwa kawasannya adalah salah satu yang seharusnya KTR. Yah,  candu rokok memang sudah  tdk mengenal usia, profesi, kedudukan, jabatan, status social dll.
Hmm…ingatan saya melayang saat  bertahun-tahun lalu pernah ke negeri sebelah yang pegawainya-   seperti PPNS di tempat kita- memburu perokok  yang tidak patuh dengan denda… bahkan  diajaknya kita mencari puntung-puntung yang sudah tergeletak di tanah, yang  ternyata  sangat sulit untuk menemukannya!.  Membandingkan dengan saat  saya jalan di sebuah sekolah tinggi kesehatan yang berdampingan dengan  sebuah kantor kementrian kesehatan di ibukota sepulang jalan-jalan pagi bahkan baru beberapa meter saya menemukan ada sekitar  7 bungkus rokok, apalagi puntungnya !!
Membicarakan “tuhan 9 senti” ini memang akan membuat miris …..saat pengusaha menjadi paling kaya di dunia karena menjadi produsen dalam  industry ini,  akan sangat  kontras  di sisi lain saat semua pegawai  kecil justru akan menjadi semakin miskin saat sudah larut dalam belitan untuk menjadi konsumennya.
Banyak sekali data  dan informasi yang menyatakan bahwa  produk tembakau ini lebih banyak mudharatnya  daripada manfaatnya.  Tapi semua   itu lebih banyak diabaikan. Hanya beberapa saja yang patuh pada peringatannya.   Pertambahan prokok pemula di usia yang sangat dini  belum membuat kita menjadi “ngeh”.  Sebuah ancaman nyata yang dapat menjadi pintu masuk untuk ‘yang lain-lain’ mengikutinya.  Tidak terlalu berlebihan bila kiranya narkoba akan menjadi ancaman berikutnya bagi jiwa-jiwa yang masih labil.
Saat kabut asap  beberapa waktu menyeruak menyelimuti beberapa wilayah di  Kalimantan, maka semua teriak butuh masker untuk menangkal  efek asap  dari bahaya asap  kebakaran hutan itu. Ada sebuah anomali di saat yang sama  saat  bencana asap yang dikehendaki  dari  sebuah rokok menyerang maka alih-alih menghindar, bahkan  rata-rata   mendekat dengan berbagai alasan.Yang jelas aroma tembakau sudah menyeruak ke mana-mana di berbagai ruang dan kalangan. Ironi sebuah bencana asap  yang dikehendaki ….!

No comments: