Saturday, December 29, 2018

Lokalisasi Prostitusi : Setelah Ditutup, What’s Next ?


Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi
Target Kemensos bahwa tahun depan bebas lokalisasi terus berjalan. Terdapat target sebesar 168. Sebagian besar sudah ditutup dan masih menyisakan sekitar 40 ada pertengahan tahun ini. Kaltim sendiri sudah menutup lokalisasinya sejak 1 Juni 2016, sementara di Kaltara baru Nunukan yang melaksanakan. Kota Tarakan masih belum ada tanda-tanda.
Prostitusi -yang berarti pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan atau pelacuran (KBBI on line) – merupakan sebuah fenomena sosial. Demikian juga lokalisasi yang berarti pembatasan kegiatan prostitusi tersebut pada suatu tempat atau lingkungan tertentu saja. Keduanya sangat menarik untuk dicermati. Prostitusi dan lokalisasi secara substansi sering dikaitkan dengan masalah yang menyangkut harkat, martabat dan nilai kaum wanita. Beberapa sumber mensejajarkan dengan perbudakan. Yang pasti bahwa semua agama (khususnya di Indonesia) melarangnya dengan berbagai dalilnya.
Pada perkembangan prostitusi terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu yang terdaftar di lokasi yang jelas maupun yang tidak terdaftar. Yang akan dibicarakan disini adalah lokalisasi prostitusi yang terdaftar. Hal yang memang diakui sangatlah kompleks mulai dari awal mulanya / sebab-sebab kemunculannya, proses maupun dampak yang ditimbulkannya. Banyak alasan wanita terjun kedalam dunia prostitusi menambah panjang daftar kompleksitas permasalahan ini. Adanya paham - paham materialism yang seringkali akan dapat dijadikan model oleh orang lain saat seorang PSK berhasil mengumpulkan kekayaan, adanya dukungan orang dekat, lingkungan yang permisif, dan faktor ekonomi / kemiskinan sering disebut sebagai alasan.
Kebijakan melokalisasi kegiatan prostitusi di sebuah tempat yang dianggap “pas” seringkali diambil oleh pemerintah daerah di suatu penggalan waktu terdahulu dengan berbagai pertimbangan. Hal ini memang biasanya akan melahirkan pro kontra. Pada kelompok yang pro mengganggap bahwa dengan mengumpulnya mereka di satu tempat akan memudahkan pembinaan serta pengawasan pada yang disebut sebagai wanita tuna susila (WTS). Pembinaan dan pengawasan disini bisa berarti dari banyak bidang baik sosial, ekonomi dan kesehatan yang ujungnya mengharapkan para penghuni bisa sadar kembali dan kembali ke masyarakat. Dengan terlokalisirnya mereka akan sangat mempermudah petugas dalam memantau perkembangan mereka.
Sebaliknya pada yang kontra seringkali menganggap bahwa lokalisasi menjadikan berkumpulnya berbagai “penyakit masyarakat” di dalamnya. Perjudian dan peredaran minuman keras menjadi tempat ”persemaian” yang sangat kondusif. Pada beberapa kasus kadang-kadang diduga ada perdagangan wanita (dalam beberapa kasus terdapat wanita di bawah umur). Di dalam lokalisasi tersebut norma-norma agama dan masyarakat menjadi tidak jelas. Akibatnya kriminalisasi juga akan sangat meningkat. Sering juga ditemukan obat-obat terlarang di dalamnya. Istilah pembinaan bagi pihak yang kontra cenderung ditanggapi sebagai upaya “melestarikan” semua hal-hal yang negative untuk diambil manfaatnya secara ekonomi bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Permasalahan kesehatan juga menjadi PR yang sangat luar biasa di lokalisasi. Penyakit menular seksual seperti misalnya gonorrhea (kencing nanah), syphilis maupun HIV /AIDSsudah jamak terjadi. Permasalahan tidak otomatis selesai saat sudah diberikan pengobatan, karena bisa jadi sudah menjadi mata rantai penularan kepada para istri dan ibu rumah tangga baik-baik yang dibawa oleh bapak-bapaknya yang berhubungan seksual dengan para PSK itu. Jenis penyakit lain juga bisa jadi cukup tinggi, seperti kanker leher rahim yang dipicu oleh Virus HPV yang merupakan salah satu jenis virus yang ditularkan melalui hubungan seksual juga. Belum lagi potensi terjadinya penyakit tidak menular lain seperti kanker, darah tinggi dll yang dipicu oleh gaya hidup tidak sehat seperti merokok dan minuman keras yang selama ini menjadi konsumsi harian para PSK.
Tindakan untuk menutup lokalisasi tidak kalah serunya. Diakui, memang akan sulit mempertemukan kepentingan dari 2 sisi kutub yang berbeda. Namun bukan berarti menjadi hal yang tidak mungkin. Sejarah penutupan lokalisasi di kota besar seperti Jakarta (Kramat Tunggak) dan Surabaya (Gang Dolly dan Jarak) sudah tertorehkan. Sangat terbuka bagi semua pihak untuk mempelajarinya.
Membaca sejarah penutupan Lokalisasi Kramat Tunggak – Jakarta yang kabarnya eksis pada zamannya dan menjadi lokalisasi terbesar di Asia Tenggara dan berubah menjadi Jakarta Islamic Center (1999) setidaknya dapat memberikan inspirasi. Lokalisasi ini ditutup atas desakan masyarakat karena tingginya masalah kriminal dan sosial di sana.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada 18 Juni 2014 juga menutup semua lokalisasi di Kota Pahlawan, termasuk Gang Dolly. Lokalisasi dianggap menyalahi Perda Kota Surabaya Nomor 7 tahun 1999, dengan berfokus pada larangan bangunan dijadikan tempat asusila. Menjadi menarik adalah cerita dibalik penutupan itu. Bu Risma menyatakan alasan utama menutup lokalisasi yang legendaris itu adalah karena tersentuh saat seorang WPS yang sudah berumur masih melayani pelanggannya yang ironisnya adalah masih anak-anak dengan bayaran yang hanya berapa ribu perak. Besarnya dampak yang ditimbulkan secara sosial khususnya pada psikologi anak menjadikan tekad bu Risma semakin besar untuk menutup dengan melakukan persiapan matang. Berbagai pelatihan berbasis wirausaha digelar. Hasilnya sekarang dapat dilihat dalam wisata kawasan eks lokalisasi Dolly dimana ada beberapa yang beralih menjadi tempat kerajinan sepatu dan UKM (Usaha Kecil Menengah) lainnya sepertinya produksi pangan kecil.
Melihat perkembangan sejarah penutupan lokalisasi di 2 kota tersebut menurut hemat penulis maka diambil hikmah dan pelajaran sebagai berikut : Yang pertama adalah pengalihfungsian bangunan. Satu hal yang bisa dikerjakan bahwa bangunan yang ada menjadi kampung tematik yang mempunyai unggulan tertentu.
Pelajaran kedua dalam penutupan lokalisasi memang harus dengan persiapan matang sebagai upaya pencegahan untuk bisa muncul kembali di masa yang akan datang. Diketahui juga bahwa upaya represif maupun rehabilitatif juga perlu disiapkan juga. Dalam setiap tahapan tersebut kajian dan sudut pandang secara sosiologis maupun yuridis bisa jadi sangat diperlukan. Pada saat persiapan penutupan sebuah lokalisasi upaya terstruktur dari lintas sektoral (ekonomi, tenaga kerja, pendidikan, kesehatan dan agama) perlu untuk digalang. Bagaimanapun yang digusur adalah manusia yang membutuhkan pendekatan secara holistik setelahnya. Pembekalan itu terkait dengan permasalahan sosial ekonomi dengan memberikan berbagi pelatihan sesuai dengan minatnya (menjahit, sablon, kerajinan kreatif, memasak, dll ) dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pasca penutupan tersebut. Bila ada dan dirasa perlu maka bisa dengan menurunkan success story seorang mantan PSK / mucikari.
Berdasarkan pengalaman penulis maka sebenarnya ada beberapa hal yang masih jarang diungkap ke publik terkait hal ini. Bahwa di dalam lokalisasi tidak hanya cerita sedih sebagaimana di atas karena “paksaan” pihak luar untuk tetap berkecimpung di dalamnya. Namun sebagian dari mereka memang menikmati perannya itu sehingga pada akhirnya enggan untuk bangkit meraih masa depannya yang lebih baik. PSK sebagai “lumbung uang” dengan cara kerja yang santai dan hura-hura. Demikian juga bagi para orang-orang yang bekerja mendukung terselenggaranya praktik tersebut. Merasa “malas” untuk melakukan usaha yang lain. Karena sudah merasakan enaknya aliran uang besar dari kegiatan tersebut.
Dalam sebuah studi yang pernah penulis lakukan di salah satu lokalisasi terungkap bahwa pendapatan sebagian dari mereka sebenarnya sangatlah besar bahkan ada yang mencapai jutaan bahkan puluhan juta per bulannya. Hal tersebut terkonfirmasi dengan pengakuan mengasuransikan diri pada asuransi kesehatan swasta yang cukup besar premi per bulannya. Walaupun memang ada berpenghasilan kecil tapi rata-rata adalah PSK yang baru datang.
Namun saat disinggung bahwa sudah ada “modal” yang sudah cukup untuk hidup di luar lokalisasi rata-rata dari mereka mengaku enggan karena alasan sudah kadung “PW” dan nyaman dengan kondisinya. Mereka begitu menikmati peran dan “profesinya” sehingga enggan untuk keluar dari sana. Sebagian dari mereka membelanjakan penghasilan mereka yang cukup besar pada kebutuhan konsumtif harian dan berbagai tuntutan gaya hidup di dalam. Sehingga bisa jadi perlu pelatihan pengelolaan keuangan keluarga juga bagi mereka.
Dalam upaya mengembalikan kepada kehidupan normal sebagaimana sebelumnya dibutuhkan upaya keras dan bisa jadi simultan dari berbagai pihak termasuk si pelaku sendiri. Setelah urusan ekonomi dan penghasilan ada titik terang maka urusan mindset, mental model maupun pada rohani menjadi yang pertama dan utama yang harus dibereskan di awal program. Hal ini dirasakan cukup penting ibarat sebagai “pondasi bagi bangunan baru” yang akan dibangun. Bila pondasi cukup kuat maka diharapkan program akan berjalan lebih sukses dan sebaliknya.
Pelajaran ketiga bahwa dukungan dari masyarakat sekitar beserta para ulama dan pemuka agama bukan hanya saat pra penutupan tetapi juga pascanya. Dukungan secara konsisten dan terus menerus dapat dikejawantahkan misalnya termasuk membeli produknya hasil usaha supaya mereka tetap bisa hidup secara ekonomi. Dukungan itu juga berupa nomor yang bisa diakses yang menjadi wakil para professional di bidang kesehatan dan psikologi baik perorangan /organisasi yang concern menjadi tempat curhat dan siap membantu berbagai kesulitan mereka. Adanya tokoh agama serta motivator yang siap membimbing dan memberi dukungan dalam proses yang sangat berat diawal ini. Akan sangat elok bila organisasi kemasyarakatan khususnya organisasi wanita dan keagamaan untuk dapat mengambil peran ini.
Terakhir sebaiknya Kemensos juga melakukan evaluasi secara komprehensif dari semua sisi untuk menjadi bahan perbaikan di masa-masa mendatang dalam penanggulangan lokalisasi prostitusi baik yang terdaftar, syukur-syukur juga yang belum terdaftar
(Teruntuk Kota Tarakan, TAS- Surabaya 20 Des 2018)

No comments: