Tuesday, April 30, 2019

Beradaptasi dengan Perubahan Iklim Tarakan dalam Ancaman DBD dan Nyamuk








PROKALTARA, 14 MEI 2016


Sabtu, 14 Mei 2016 11:40
Beradaptasi dengan Perubahan Iklim
Tarakan dalam Ancaman DBD dan Nyamuk


PROKAL.CO, TARAKAN - Di saat mengembalikan alam seperti dahulu menjadi sedikit mustahil dan lingkungan telah berubah jauh, masyarakat tidak punya pilihan lain selain beradaptasi. Di saat langkah 3M tidak lagi menjadi solusi yang efektif, perlu ada inovasi baru yang ditawarkan.
Bagi sebagian warga pesisir di Selumit Pantai, Tarakan Tengah, langkah 3M saja tidak cukup. Ketakutan akan serangan DBD sejak lebih dari 10 tahun yang lalu mendesak mereka mencari langkah baru.
Rika, seorang ibu 2 anak ini akhirnya ikut memasang penutup di drum penampungan airnya setelah melihat tetangganya berbondong-bondong membuat penutup anti nyamuk itu tahun lalu. Terbuat dari kain kasa sejenis dengan kelambu anti nyamuk. Lebih dari 20 rumah memasang kain penutup yang diberi nama Topi Anti DBD (TAD) ini. Tidak butuh waktu lama, wanita kelahiran Tarakan itu ikut membuat TAD.
“Si kakak (anak sulungnya,red) sudah dua kali kena DBD. Yang kedua kali tahun 2013 itu parah. Saya sempat berpikir dia sudah tidak selamat dengan kondisinya waktu itu. Lemas sekali,”tuturnya.
Padahal dirinya mengaku sudah teratur mengamalkan abatenisasi di 5 penampungan airnya. “Disini PDAM tidak masuk, jadi harus tadah hujan kalau memang butuh air,” ujarnya.
Ada sekitar 2.087 kepala keluarga yang menadah air hujan untuk memenuhi kebutuhan air bersih dengan rata-rata 4 tandon air per KK atau sekitar 8 ribu lebih genangan air bersih di kelurahan Selumit Pantai ini. Sungguh surga bagi perkembangbiakan si pembawa penyakit DBD yang bernama Aedes Aegypti.
Konsepnya, dengan pori-pori kasa yang lebih kecil daripada nyamuk, walaupun tidak mengurangi jumlah populasi nyamuk namun secara logika hal ini akan mencegah nyamuk bertelur dan berkembang biak.
Sejauh ini konsep yang diinisiasi oleh Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Tarakan, dr. Tri Astuti Sugiatmi ini mampu meningkatkan Angka bebas jentik secara signifikan dari yang mulanya 56,3 persen menjadi 95 persen dalam jangka waktu pemasangan 3 bulan dan tetap stabil hingga kini.
Melihat adanya bukti, Kelompok Kerja Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Kota Tarakan bekerjasama dengan Apeksi dan Mercy Corps Indonesia dalam program Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCRN) mengajarkan masyarakat kelurahan Selumit Pantai membuat TAD secara mandiri. Bahkan, kini masyarakat Selumit Pantai juga membuat untuk kemudian dijual.
”Kain apa saja bisa dirangkai menjadi alat ini, dan harga bahannya juga tidak terlalu mahal. Untuk besar Topi Anti DBD-nya, dapat menyesuaikan dengan besar penampang atas drum atau profil, tak ada masalah,” tukas dr Tri.
Walaupun tidak sepenuhnya yakin DBD tidak akan menghampiri anak-anaknya, Rika dapat sedikit merasa lega dengan terus mencari cara menjauhkan buah hatinya dari serangan Aedes.
Sabtu, 14 Mei 2016 11:40
Beradaptasi dengan Perubahan Iklim
Tarakan dalam Ancaman DBD dan Nyamuk


JANGAN SAMPAI SEPERTI MENYAMBUT ZIKA
Ditetapkan sebagai endemis DBD sejak lebih dari 10 tahun silam, kini penyakit tersebut seperti berevolusi dan menakutkan. Menyerang manusia bahkan sebelum dilahirkan.
Dengan kondisi curah hujan yang cukup tinggi dan sepanjang tahun, serta suhu dan kelembapan yang sangat sesuai dengan siklus hidup dan perkembangbiakan nyamuk, Tarakan menjadi salah satu daerah yang berpotensi untuk virus baru bernama Zika itu.
“Memang dengue berbeda dengan ZIKA akan tetapi ada persamaan antara keduanya. Kedua virus ini masuk dalam kelompok arbovirus . Keduanya juga dapat ditularkan oleh nyamuk yang sama yang terdiri dari Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Melihat kesamaan kelompok virus dan metode penyebarannya maka potensi penyebaran dan risiko ZIKA di Indonesia bisa jadi cukup tinggi, walaupun sampai sekarang dilaporkan masih negative,” ungkap Tri.
Penelitian beberapa ahli menyatakan penyakit yang cukup mematikan ini dianggap terkait dengan perubahan iklim. Dalam beberapa studi disebutkan bahwa wilayah yang temperaturnya semakin menghangat dan lembab sangat cocok untuk berkembangnya nyamuk penyebar penyakit. Hal inilah yang mengakibatkan siklus perkawinan dan metamorfosa nyamuk menjadi lebih singkat yang akan menyebabkan jumlah populasi nyamuk akan lebih berkembang.
Di samping ada faktor curah hujan yang lebih tinggi. Bergabung dengan factor kenaikan jumlah penduduk yang diasumsikan sebagai kenaikan jumlah kebutuhan air bersih dan jumlah penampungan air yang ada maka dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan antara DBD dengan perubahan iklim.
Menurut Tri walaupun ZIKA sebenarnya sudah lama muncul, tapi hubunganya dengan perubahan iklim belum tereksplorasi dengan baik. “Melihat bahwa Sang Penyebar ZIKA juga sama dengan vector DBD maka secara empirik dapat dinyatakan ada kemungkinan ZIKA juga akan menjadi penyakit sebagai dampak perubahan iklim yang berikutnya,” ujarnya.
“Dititik ini yang bisa kita lakukan adalah tidak memperburuk pemanasan global dan melakukan adaptasi. Jangan sampai seperti menyambut Zika dengan melakukan dukungan pemanasan global,” sebutnya tegas.


Halaman:
·       1
·       2




No comments: