PROKALTARA,
14 MEI 2016
Sabtu,
14 Mei 2016 11:40
Beradaptasi
dengan Perubahan Iklim
Tarakan dalam Ancaman DBD dan Nyamuk
PROKAL.CO, TARAKAN - Di saat mengembalikan alam seperti
dahulu menjadi sedikit mustahil dan lingkungan telah berubah jauh, masyarakat
tidak punya pilihan lain selain beradaptasi. Di saat langkah 3M tidak lagi
menjadi solusi yang efektif, perlu ada inovasi baru yang ditawarkan.
Bagi sebagian warga pesisir di Selumit Pantai, Tarakan Tengah,
langkah 3M saja tidak cukup. Ketakutan akan serangan DBD sejak lebih dari 10
tahun yang lalu mendesak mereka mencari langkah baru.
Rika, seorang ibu 2 anak ini akhirnya ikut memasang penutup di
drum penampungan airnya setelah melihat tetangganya berbondong-bondong membuat
penutup anti nyamuk itu tahun lalu. Terbuat dari kain kasa sejenis dengan kelambu anti
nyamuk. Lebih dari 20 rumah memasang kain penutup yang diberi nama Topi Anti
DBD (TAD) ini. Tidak butuh waktu lama, wanita kelahiran Tarakan itu ikut
membuat TAD.
“Si kakak (anak sulungnya,red) sudah dua kali kena DBD. Yang
kedua kali tahun 2013 itu parah. Saya sempat berpikir dia sudah tidak selamat
dengan kondisinya waktu itu. Lemas sekali,”tuturnya.
Padahal dirinya mengaku sudah teratur mengamalkan abatenisasi di
5 penampungan airnya. “Disini PDAM tidak masuk, jadi harus tadah hujan kalau
memang butuh air,” ujarnya.
Ada sekitar 2.087 kepala keluarga yang menadah air hujan untuk
memenuhi kebutuhan air bersih dengan rata-rata 4 tandon air per KK atau sekitar
8 ribu lebih genangan air bersih di kelurahan Selumit Pantai ini. Sungguh surga
bagi perkembangbiakan si pembawa penyakit DBD yang bernama Aedes Aegypti.
Konsepnya, dengan pori-pori kasa yang lebih kecil daripada
nyamuk, walaupun tidak mengurangi jumlah populasi nyamuk namun secara logika
hal ini akan mencegah nyamuk bertelur dan berkembang biak.
Sejauh ini konsep yang diinisiasi oleh Kepala Seksi Penyehatan
Lingkungan Dinas Kesehatan Tarakan, dr. Tri Astuti Sugiatmi ini mampu
meningkatkan Angka bebas jentik secara signifikan dari yang mulanya 56,3 persen
menjadi 95 persen dalam jangka waktu pemasangan 3 bulan dan tetap stabil hingga
kini.
Melihat adanya bukti, Kelompok Kerja Mitigasi dan Adaptasi
Perubahan Iklim Kota Tarakan bekerjasama dengan Apeksi dan Mercy Corps
Indonesia dalam program Asian Cities Climate Change Resilience
Network (ACCRN) mengajarkan masyarakat kelurahan Selumit Pantai
membuat TAD secara mandiri. Bahkan, kini masyarakat Selumit Pantai juga membuat
untuk kemudian dijual.
”Kain apa saja bisa dirangkai menjadi alat ini, dan harga
bahannya juga tidak terlalu mahal. Untuk besar Topi Anti DBD-nya, dapat
menyesuaikan dengan besar penampang atas drum atau profil, tak ada masalah,”
tukas dr Tri.
Walaupun tidak sepenuhnya yakin DBD tidak akan menghampiri
anak-anaknya, Rika dapat sedikit merasa lega dengan terus mencari cara
menjauhkan buah hatinya dari serangan Aedes.
Sabtu,
14 Mei 2016 11:40
Beradaptasi
dengan Perubahan Iklim
Tarakan dalam Ancaman DBD dan Nyamuk
JANGAN SAMPAI SEPERTI MENYAMBUT ZIKA
Ditetapkan sebagai endemis DBD sejak lebih dari 10 tahun silam,
kini penyakit tersebut seperti berevolusi dan menakutkan. Menyerang manusia
bahkan sebelum dilahirkan.
Dengan kondisi curah hujan yang cukup tinggi dan sepanjang
tahun, serta suhu dan kelembapan yang sangat sesuai dengan siklus hidup dan
perkembangbiakan nyamuk, Tarakan menjadi salah satu daerah yang berpotensi
untuk virus baru bernama Zika itu.
“Memang dengue berbeda dengan ZIKA akan tetapi ada persamaan
antara keduanya. Kedua virus ini masuk dalam kelompok arbovirus . Keduanya juga
dapat ditularkan oleh nyamuk yang sama yang terdiri dari Aedes aegypti maupun
Aedes albopictus. Melihat kesamaan kelompok virus dan metode penyebarannya maka
potensi penyebaran dan risiko ZIKA di Indonesia bisa jadi cukup tinggi, walaupun
sampai sekarang dilaporkan masih negative,” ungkap Tri.
Penelitian beberapa ahli menyatakan penyakit yang cukup
mematikan ini dianggap terkait dengan perubahan iklim. Dalam beberapa studi
disebutkan bahwa wilayah yang temperaturnya semakin menghangat dan lembab
sangat cocok untuk berkembangnya nyamuk penyebar penyakit. Hal inilah yang
mengakibatkan siklus perkawinan dan metamorfosa nyamuk menjadi lebih singkat
yang akan menyebabkan jumlah populasi nyamuk akan lebih berkembang.
Di samping ada faktor curah hujan yang lebih tinggi. Bergabung
dengan factor kenaikan jumlah penduduk yang diasumsikan sebagai kenaikan jumlah
kebutuhan air bersih dan jumlah penampungan air yang ada maka dapat disimpulkan
bahwa ada keterkaitan antara DBD dengan perubahan iklim.
Menurut Tri walaupun ZIKA sebenarnya sudah lama muncul, tapi
hubunganya dengan perubahan iklim belum tereksplorasi dengan baik. “Melihat
bahwa Sang Penyebar ZIKA juga sama dengan vector DBD maka secara empirik dapat
dinyatakan ada kemungkinan ZIKA juga akan menjadi penyakit sebagai dampak
perubahan iklim yang berikutnya,” ujarnya.
“Dititik ini yang bisa kita lakukan adalah tidak memperburuk
pemanasan global dan melakukan adaptasi. Jangan sampai seperti menyambut Zika
dengan melakukan dukungan pemanasan global,” sebutnya tegas.
Halaman:
No comments:
Post a Comment