Friday, October 18, 2019

PERLU RESILIENSI PADA MASYARAKAT DI DAERAH PERBATASAN TERHADAP BAHAYA NARKOBA

PERLU RESILIENSI PADA MASYARAKAT
DI DAERAH PERBATASAN TERHADAP BAHAYA NARKOBA
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi
Berita tertangkapnya ES (21 tahun) di Nunukan pada awal September ini - seorang mahasiswi semester VII di sebuah universitas swasta Makasar- yang menjadi kurir sabu-sabu untuk kesekian kalinya sangat mencengangkan.
Ini kabarnya juga bukan aksi pertamanya tapi adalah aksi yang ketiga kalinya. Dengan jumlah sabu yang diselundupkan makin membesar. Pada yang pertama berhasil menyelundupkan sabu sejumlah 0,5 kg kemudian meningkat menjadi 1 kg pada yang kedua dan yang menyebabkan dia tertangkap sudah mencapai angka 20 kg. Demikian juga dengan bayarannya yang juga mengikuti dengan risikonya yaitu bila awalnya dibayar dengan 15 juta, kemudian 25 juta dan akhirnya mencapai 90 juta. Tentu saja jumlah yang sangat besar untuk kantong mahasiswa. Sebetulnya kasus ini adalah penangkapan yang kesekian kalinya.
Berita serupa juga belum lama ini yaitu pada 26 Juli juga terkonfirmasi adanya penyelundupan sabu sejumlah total 2680 gram dari kargo di Bandara Juwata Tarakan dengan tujuan Makasar. Sementara 5 hari sebelumnya alias pada 21 Juli 2019 sebelumnya juga ada penggagalan penyelundupan oleh BNN sejumlah 38 kg Sabu juga di ibukota Provinsi di Tanjung Selor.
Dari berita-berita tersebut maka dapat kita ambil sebuah pelajaran bahwa wilayah Nunukan, Tanjung Selor maupun Tarakan pada khususnya dan daerah perbatasan pada umumnya dinilai wilayah yang rentan menjadi pintu masuk perdagangan narkoba internasional khususnya dari Malaysia. Pada kasus yang di Nunukan terungkap juga bahwa ES berhubungan dengan bos besar di Malaysia.
Daerah perbatasan memang menjadi daerah yang sangat rawan penyelundupan bahan berbahaya ini karena secara alamiah perbatasan antar negara memang terdapat banyak titik rawan keamanan di kedua negara yang bisa jadi sudah dipelajari oleh para cukong, bandar atau siapapun yang punya kepentingan dengan hal tersebut. Mulai dari jalur darat di Tawau - kota di wilayah Sabah - biasanya lanjut ke Sebatik yang masuk wilayah Malaysia. Dari sini akan masuk melalui jalur darat pulau Sebatik wilayah Indonesia dan dilanjutkan melalui jalur laut ke Nunukan, Tanjung Selor, Tarakan atau wilayah perbatasan lain. Selanjutnya bisa juga melalui jalur udara saat itu menyebar ke Makasar, Samarinda dan kota lain. Ini selama ini jalur yang sudah pernah digagalkan penyelundupannya.
Untuk wilayah perbatasan lain, juga sangat mungkin menjadi incaran karena banyak pulau kecil yang ada di sekitar Kaltara dan Kaltim, selain juga ada bandara Berau serta Tanjung Selor.
Melihat data bahawa Bea Cukai Tarakan sampai dengan Agustus 2019 telah menggagalkan upaya penyeludupan narkoba sebanyak 45 kg maka dapat di rerata bahwa dalam setiap bulan ada 5,63 kg yang berhasil diselundupkan. Fakta yang sangat mengerikan. Bisa jadi ada banyak lagi yang lolos namun tidak terdeteksi petugas.
Melihat frekuensi penggagalan penyelundupan narkoba yang sangat banyak maka dapat diperkirakan bahwa kemungkinann percobaan penyelundupan itu sudah menjadi target harian dari para perusak generasi yang sangat kejam ini
Penyebab :
Kembali ke kasus gadis cantik (ES) bahwa kisah hidupnya yang pilu –sebagai anak yatim piatu - menjadi alasan pembenaran dia terlibat dalam perdagangan barang haram tersebut. Keterdesakan ekonomi seringkali menjadi alasan klasik saat ditangkap. Namun yang pernah saya lihat dan dengar sendiri dari kisah beberapa napi karena kasus penyalahgunaan maupun perdagangan Sabu di lapas Tarakan beberapa tahun yang lalu adalah keengganan beberapa dari mereka untuk mencari nafkah secara halal. Mereka merasa bahwa menjadi pedagang sabu ataupun kurir (membawakan sabu dari satu tempat ke tempat lain), tidak terlalu berat tapi hasilnya sangat menjanjikan. Hasil dari jualan atau ngurir sabu akan jauh berlipat-lipat dibandingkan dengan bekerja normal. Apalagi tidak terlalu banyak makan tenaga dan pikiran. Hanya modal nekat. Berdasarkan pola yang ada – belajar dari kasus ES-maka dapat diperkirakan bila aksi ini semakin lama akan semakin meningkat jumlah yang diselundupkan. Tentu juga setimpal dengan peningkatan jumlah bayaran yang dijanjikan.
Iming-iming materi yang sangat besar dengan “pekerjaan “ yang relative ringan secara fisik tapi dengan risiko yang sangat besar ini menjadi daya tarik yang luar biasa bagi semua (remaja, pemudi/pemudi, orang dewasa) yang terbiasa berpikir secara pragmatis. Kenyataan di lapangan bahwa bagi mereka ketagihan narkoba itulah yang membuatnya akan semakin nekat. Bukan hanya cukup sebagai pengguna, tapi pada akhirnya bisa juga meningkat menjadi pengedar, kurir atau bahkan Bandar.
Jadi urusan perut bisa jadi bukan menjadi yang paling utama. Seringkali sikap pragmatis juga pada akhirnya membawa life style yang buruk yang mengikutinya. Hura-hura dan foya-foya itu seringkali berhubungan dengan sex bebas, minuman keras dan bergai gaya hedonis lain.
Banyaknya penggagalan penyelundupan akhir-akhir ini juga diyakini akan semakin meningkatkan daya tawar tarif untuk para kurir sabu. Bisa jadi hal ini justru menjadi "challenge " dalam arti negatif bagi pribadi yang berjiwa petualang .
Pencegahan
Sebenarnya dalam kondisi yang sudah sedemikian rupa memang langkah-langkah hukumlah yang paling cepat diambil. Opsi untuk rehabilitasi memang cukup masuk akal tetapi tentu saja bila mereka hanya korban saja alias pemakai. Untuk pengedar, kurir dan Bandar memang tidak layak untuk opsi ini.
Namun kenyataan bahwa penuhnya penjara di daerah perbatasan karena kasus sabu ini tidak menjadikan mereka “ngeri” bila perbuatannya diketahui petugas. Bahkan banyak juga yang sudah keluar dari penjara kembali mengulangi perbuatan yang sama.
Sehingga dalam hal ini perlunya upaya pencegahan yang lebih massif dimana harus disosialisasikan kepada seluruh masyarakat perbatasan khususnya yang sangat rentan (vulnerable) terhadap iming-iming itu.
Upaya yang dapat dikerjakan adalah memberi pengetahuan bahwa barang haram ini juga dapat membawa kepada kerugian secara fisik dan mental yang cukup besar. Efek narkoba pada fisik mulai kerusakan sistem syaraf, sistem jantung dan pembuluh darah, sistem pernafasan serta pada kulit. Hal ini tentu saja -pada titik tertentu -akan menjadi masalah kesehatan yang berbiaya mahal.
Berurusan dengan barang illegal itu tentu juga tidak akan jauh-jauh dari masalah hukum. Bila tertangkap akan menjadi urusan dengan para penegak hukum. Bila terbukti melanggar maka efek ikutan akan diancam hukuman penjara.
Hidup dalam penjara maka berpotensi besar kehidupan rumah tangga atau keluarganya akan “kacau“. Dalam sebuah kunjungan ke lapas maka penulis menyaksikan bahwa orang dewasa yang terjerat hukum karena narkoba, statusnya cukup beragam. Ada yang berstatus sebagai suami atau istri bahkan ayah ataupun ibu. Penulis juga menjumpai seorang tahanan wanita cantik yang masih relatif muda dengan menggendong bayinya yang baru dilahirkan untuk hidup bersama dalam dinginnya ruang penjara. Saat itu juga terdapat beberapa anak balita di dalamnya. Bagaimana kualitas kehidupan anak-anak dalam penjara tentu dapat diperkirakan bahwa itu akan sangat menyedihkan. Saya melihat bahwa kondisi lingkungan untuk mendukung tumbuh kembang yang baik menjadi sesuatu yang langka.
Dalam hal ini maka upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan menyadarkan bahwa iming-iming yang ibarat “madu “ bagi mereka sesungguhnya adalah “racun” bagi seluruh anak bangsa. Berapa anak bangsa yang akan menjadi budak narkoba dan akan menjadi beban masyarakat pada akhirnya.
dari mereka yang akan kehilangan harapan serta masa depannya saat sudah tergantung pada barang-barang haram tersebut. Bahwa sejatinya mereka sudah ikut andil dalam memupus harapan banyak anak bangsa bahkan mungkin anak keturunan mereka sendiri.
Penguatan-penguatan dari luar seperti ini tentu saja membutuhkan dukungan dari pihak lain. Minimal lingkungan terdekat dengannya yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Bila dukungan itu datang maka akan terbuka peluang walaupun mereka hidup dan berada di daerah perbatasan -yang berarti dalam risiko tinggi peredaran narkoba - tetapi mereka tidak terpengaruh untuk menjadi penikmat, pengedar atau kurir. Gambaran kondisi ini biasa disebut sebagai resiliens (tangguh).
Perlu Resiliensi pada Masyarakat High Risk Narkoba
Mengutip dari hasil penelitian disertasi dari Dr. Diana Rahmasari, MSi., Psi pada tahun 2018 di Universitas Airlangga yang meneliti bagaimana sebagian remaja di Madura bertahan tidak terjerat dalam pengaruh zat-zat terlarang itu sementara pada saat yang sama sebagian yang lain dari mereka justru masuk dalam penyalahgunaan dan peredaran narkoba di beberapa wilayah pulau di timur laut dari Jawa Timur itu yang dikenal dengan “kampung narkoba.” Dosen di Fakultas Ilmu Psikologi UNESA ini mendapatkan hasil bahwa ternyata ada 2 faktor yang melindungi mereka yang tidak terjerat yaitu faktor internal yang berasal dalam diri mereka sendiri dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri mereka. Di samping memang ada peran dari harga diri suku Madura yang cukup unik yaitu rasa malo atau malu dalam bahasa Indonesia jika menunjukkan perilaku yang melanggar nilai agama dan kesopanan.
Faktor pelindung internal nya adalah berasal dari kemampuan pengaturan emosi si anak serta dari religiusitas yang diyakininya. Masalah regulasi emosi terutama pengelolaan proses kognitif -yaitu yang berhubungan dengan pengetahuan- dengan berlatih berpikir positif dalam merespon masalah.
Khusus terkait religiusitas adalah meningkatka peribadatanparktik agama Islam dan memaknai praktik ibadah sebagai bentuk coping (upaya mengatasai masalah ) secara religious.
Menurut pendapat penulis, maka menghubungkan konsumsi narkoba dengan kesengsaraan pada kehidupan pasca kematian perlu untuk disampaikan oleh para tokoh agama atau para ulama. Untuk mengimbanginya juga perludismpaikan pula bahwa sebesar apapun kesalahan dan dosa maka tetap ada pintu ampunan Allah swt baginya.
Sementara untuk faktor pelindung eksternal bisa datang dari dukungan keluarga , sekolah dan masyarakat.
Dalam dukungan keluarga maka gaya parenting mempunyai peranan yang cukup besar. Sebuah gaya pengasuhan autoritatif dianggap mempunyai peran dukungan yang sangat baik dalam menjauhi narkoba. Gaya parenting bersifat memperkuat hubungan yang kuat dan hangat dengan anak, tegas dan konsisten dalam menerapkan aturan dan displin, dapat mengembangkan secara tepat harapan serta menumbuhkan semangat, memberikan kesempatan dan keyakinan diri, memiliki empati yang baik serta menjamin komunikasi yang terbuka.
Dukungan sekolah adalah pada peran sekolah dalam merancang program dan kegiatan praktik sekolah yang menarik. Hal ini menjadi menantang saat akan diintergrasikan dengan kurikulum yang dipakai di sekolah. Peran dan fungsi guru agar banyak memberikan pendampingan dalam memberikan bimbingan, motivasi dan menantang siswanya untuk berprestasi sekaligus meningkatkan prestasi.
Sementara lingkungan masyarakat yang dapat mendukung resiliensi adalah lingkungan masyarakat yang memiliki karakteristik suasana penuh kehangatan, komunikasi yang baik, dukungan yang positif dalam membantu remaja.
Dengan mempelajari data bahwa yang menjadi pemakai dan pengedar termasuk kurir sabu dari segala umur maka resiliensi ini tidak hanya dibutuhkan oleh remaja saja tetapi juga semua kalangan umur khususnya dewasa. Bila demikian kiranya peran lingkungan menjadi sangat sentral dalam hal ini menggantikan peran sekolah. Dalam hal ini maka menurut hemat penulis peran guru di masyarakat lah yag perlu diperkuat. Sementara peran guru masyarakat ini mungkin bisa berasal dari masyarakat terdidik yang sadar bahaya narkoba yang peduli dalam wadah- misalnya- masyarakat peduli narkoba atau yang lain.
Organisasi profesi dari lintas bidang seperti kesehatan dan psikologi bersama dengan organisasi masyarakat (ormas) yang ada bisa memberikan kontribusi untuk memperkuat resiliensi masyarakat terhadap bahaya narkoba ini.
Semoga.
(TAS-SBY, 15102019)

No comments: