SAAT ini fenomena kebiasaan merokok dianggap lumrah dan
wajar pada semua kalangan masyarakat. Rokok sebagai benda yang sifatnya
tertier, riilnya telah bergeser menjadi barang primer bagi sebagian kalangan
tertentu. Bahkan bagi si miskin sekalipun.
Dalam peta rokok nasional maka orang miskin yang merokok
bahkan menempati porsi terbesar dari para perokok, salah satu sumber
menyebutkan angka di kisaran 70%. Dalam hasil riset Survei Sosial Ekonomi
Nasional pada tahun 2016, biaya untuk rokok menempati porsi nomor dua yaitu
sekitar 13,8 % dan hanya kalah dengan biaya padi-padian (baca : beras) sebagai
satu jenis makanan pokok (14%). Bahkan biaya untuk beli rokok mengalahkan biaya
untuk membeli telur-sebagai salah satu sumber gizi penting–bagi keluarga.
Dalam hubungan dengan kesehatan, sudah jelas bahwa aktivitas
merokok menjadikan salah satu faktor risiko berbagai penyakit degeneratif
kronis seperti jantung, kanker, stroke, kencing manis, gagal ginjal. Ironisnya,
perokok miskin justru rata-rata rela membayar biaya rokoknya yang jauh lebih besar daripada untuk biaya kesehatan yang dikeluarkan untuk diri
dan keluarganya.
Menurut pendapat penulis, perbandingan biaya rokok dan biaya
kesehatan menemukan momentumnya pada hari kesehatan nasional (HKN) tahun ini
yang bertema Generasi Sehat, Indonesia Unggul. Saat ini yang paling banyak
mendapatkan porsi pemberitaan ada dua hal, yaitu terkait kenaikan iuran BPJS
kesehatan sebagai ikutan dari defisitnya BPJS kesehatan serta kenaikan cukai
sebesar 23 % yang akan mengerek harga jula rokok pada awal tahun depan. Sekilas, kedua isu ini tidak ada hubungannya
sama sekali.
Namun bila ditelusuri menuju hulu maka defisit BPJS
kesehatan ini antara lain disebabkan oleh tingginya klaim RS terhadap BPJS
Kesehatan atas beberapa penyakit kronis sebagaimana sudah disebutkan di atas.
Besarnya klaim pengobatan dan tindakan penyakit tersebut menyedot 25% dari
porsi pembiayaan keseluruhan dari biaya klaim RS ke BPJS kesehatan.
Tidak mengherankan
karena memang penyakit tersebut berbiaya sangat mahal alias katastrofik. Arti
dari katastrofik itu sendiri adalah penyakit ini berbiaya besar dan cenderung
memiskinkan penderitanya. Mayoritas penyakit yang bersifat katastrofik adalah
yang berhubungan dengan perilaku merokok tadi di samping pola makan yang tidak
seimbang, kurangnya gerak atau olahraga, serta tingginya stress. Pendek kata,
pengidap penyakit tersebut rata-rata memang memiliki faktor risiko penyakit yang berhubungan dengan life style
(gaya hidup).
BELAJAR DARI KABUPATEN BONE BOLANGO
Untuk menutup defisit maka hari-hari ini juga sedang ramai
dibahas perihal rencana kenaikan iuran BPJS kesehatan untuk semua kelas. Khusus
untuk kelas III memang masih tarik ulur antara mau menaikkan dari Rp 25.500
menjadi Rp 42.000 atau tetap tetapi dengan diberikan subsidi.
Selama ini, dalam skema jaminan kesehatan nasional yang
diselenggarakan oleh BPJS maka semua orang miskin menjadi penerima bantuan
iuran (PBI). PBI bermakna bahwa orang miskin ini menerima bantuan dari
pemerintah (pusat atau daerah) untuk menjalankan kewajiban pembayaran preminya
setiap bulannya kepada BPJS.
Menjadi sesuatu yang menarik, saat Pemerintah Kabupaten Bone
Bolango melalui Bupatinya Hamim Pou yang
menyatakan bahwa pemerintah akan menganggarkan Rp 20 miliar di APBD untuk
menanggung iuran jaminan sosial BPJS Kesehatan bagi warga Bone, terkecuali para
perokok. Para perokok dianggap mampu dan didorong menjadi peserta mandiri.
Dalam mengambil kebijakan tersebut tentulah Pemda Kabupaten
Bone Bolango bisa jadi mempertimbangkan
besaran perbandingan biaya rokok dan
biaya kesehatan. Status Kabupaten yang
sudah memiliki Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) serta penerima penghargaan tertinggi
dari Menteri Kesehatan dalam bidang kawasan tanpa rokok, yakni penghargaan
Pastika Parama, menjadikan alasan yang lebih kuat dalam upayanya menjadikan
kebijakannya menjadi alat untuk edukasi pada masyarakatnya sekaligus mengandung
unsur preventif (pencegahan).
Menurut penulis, Pemerintah Daerah Kabupaten di Sulawesi ini
melakukan sesuatu yang sangat cerdas, mempunyai efek ganda yaitu efek
pembelajaran dan efek pencegahan. Dalam hal ini antara rokok dan kesehatan
memang menjadi sebuah pilihan. Kata hubung di antara dua istilah itu adalah or
(atau), bukan and (dan). Karena ternyata antara kesehatan dan rokok memenag
tidak bisa menjadi “satu kubu”. Rokok di satu sisi dan kesehatan di sisi lain.
Penundaan pembayaran PBI atas nama orang miskin yang
sekaligus perokok bisa menjadi alternatif baru dalam pengendalian tembakau
sekaligus jadi alternatif terbaik juga untuk mensiasati situasi keterbatasan
anggaran.
Apalagi dengan wacana kenaikan cukai rokok per 1 Januari,
maka biaya rokok para pecandu ini akan secara otomatis naik. Namun apakah
kenaikan cukai akan efektif dalam mengendalikan perokok memang masih
membutuhkan waktu untuk dievaluasi.
Penulis berkeyakinan bahwa penghentian pembayaran PBI ini
bisa menjadi shock therapy bagi para perokok untuk membuat pilihan sulit antara
rokok atau kesehatan.
Namun demikian memang harus ada assesment yang benar tentang
kebiasaan merokoknya. Perlu melibatkan Tim KTR atau apalah namanya dalam
memberi input nama–nama secara perorangan, siapa yang masih aktif merokok atau
sudah dalam taraf berhenti merokok dan berhenti sama sekali. Supaya tidak salah
dalam implementasinya.
Semestinya juga Pemda tersebut menyiapkan perangkat untuk
mengevaluasinya, sehingga dalam waktu ke depan akan didapatkan best practice
dalam pemberian PBI tepat guna sekaligus pengendalian tembakau. Jadi dapat
disimpulkan, bahwa memilih antara rokok atau kesehatan menjadi sesuatu yang
niscaya.(*) (TAS-Sby - DEs 2019)
No comments:
Post a Comment