Wednesday, December 4, 2019

Memilih Antara Rokok atau Kesehatan



SAAT ini fenomena kebiasaan merokok dianggap lumrah dan wajar pada semua kalangan masyarakat. Rokok sebagai benda yang sifatnya tertier, riilnya telah bergeser menjadi barang primer bagi sebagian kalangan tertentu. Bahkan bagi si miskin sekalipun.
Dalam peta rokok nasional maka orang miskin yang merokok bahkan menempati porsi terbesar dari para perokok, salah satu sumber menyebutkan angka di kisaran 70%. Dalam hasil riset Survei Sosial Ekonomi Nasional pada tahun 2016, biaya untuk rokok menempati porsi nomor dua yaitu sekitar 13,8 % dan hanya kalah dengan biaya padi-padian (baca : beras) sebagai satu jenis makanan pokok (14%). Bahkan biaya untuk beli rokok mengalahkan biaya untuk membeli telur-sebagai salah satu sumber gizi penting–bagi keluarga.

Dalam hubungan dengan kesehatan, sudah jelas bahwa aktivitas merokok menjadikan salah satu faktor risiko berbagai penyakit degeneratif kronis seperti jantung, kanker, stroke, kencing manis, gagal ginjal. Ironisnya, perokok miskin justru rata-rata rela membayar biaya rokoknya  yang jauh lebih besar daripada untuk  biaya kesehatan yang dikeluarkan untuk diri dan keluarganya.

Menurut pendapat penulis, perbandingan biaya rokok dan biaya kesehatan menemukan momentumnya pada hari kesehatan nasional (HKN) tahun ini yang bertema Generasi Sehat, Indonesia Unggul. Saat ini yang paling banyak mendapatkan porsi pemberitaan ada dua hal, yaitu terkait kenaikan iuran BPJS kesehatan sebagai ikutan dari defisitnya BPJS kesehatan serta kenaikan cukai sebesar 23 % yang akan mengerek harga jula rokok pada awal tahun depan.   Sekilas, kedua isu ini tidak ada hubungannya sama sekali.

Namun bila ditelusuri menuju hulu maka defisit BPJS kesehatan ini antara lain disebabkan oleh tingginya klaim RS terhadap BPJS Kesehatan atas beberapa penyakit kronis sebagaimana sudah disebutkan di atas. Besarnya klaim pengobatan dan tindakan penyakit tersebut menyedot 25% dari porsi pembiayaan keseluruhan dari biaya klaim RS ke BPJS kesehatan.



Tidak  mengherankan karena memang penyakit tersebut berbiaya sangat mahal alias katastrofik. Arti dari katastrofik itu sendiri adalah penyakit ini berbiaya besar dan cenderung memiskinkan penderitanya. Mayoritas penyakit yang bersifat katastrofik adalah yang berhubungan dengan perilaku merokok tadi di samping pola makan yang tidak seimbang, kurangnya gerak atau olahraga, serta tingginya stress. Pendek kata, pengidap penyakit tersebut rata-rata memang memiliki faktor risiko  penyakit yang berhubungan dengan life style (gaya hidup).
BELAJAR DARI KABUPATEN BONE BOLANGO

Untuk menutup defisit maka hari-hari ini juga sedang ramai dibahas perihal rencana kenaikan iuran BPJS kesehatan untuk semua kelas. Khusus untuk kelas III memang masih tarik ulur antara mau menaikkan dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 atau tetap tetapi dengan diberikan subsidi.
Selama ini, dalam skema jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan oleh BPJS maka semua orang miskin menjadi penerima bantuan iuran (PBI). PBI bermakna bahwa orang miskin ini menerima bantuan dari pemerintah (pusat atau daerah) untuk menjalankan kewajiban pembayaran preminya setiap bulannya kepada BPJS.

Menjadi sesuatu yang menarik, saat Pemerintah Kabupaten Bone Bolango melalui Bupatinya  Hamim Pou yang menyatakan bahwa pemerintah akan menganggarkan Rp 20 miliar di APBD untuk menanggung iuran jaminan sosial BPJS Kesehatan bagi warga Bone, terkecuali para perokok. Para perokok dianggap mampu dan didorong menjadi peserta mandiri.



Dalam mengambil kebijakan tersebut tentulah Pemda Kabupaten Bone Bolango  bisa jadi mempertimbangkan besaran perbandingan biaya  rokok dan biaya kesehatan. Status Kabupaten  yang sudah memiliki Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) serta penerima penghargaan tertinggi dari Menteri Kesehatan dalam bidang kawasan tanpa rokok, yakni penghargaan Pastika Parama, menjadikan alasan yang lebih kuat dalam upayanya menjadikan kebijakannya menjadi alat untuk edukasi pada masyarakatnya sekaligus mengandung unsur preventif (pencegahan).

Menurut penulis, Pemerintah Daerah Kabupaten di Sulawesi ini melakukan sesuatu yang sangat cerdas, mempunyai efek ganda yaitu efek pembelajaran dan efek pencegahan. Dalam hal ini antara rokok dan kesehatan memang menjadi sebuah pilihan. Kata hubung di antara dua istilah itu adalah or (atau), bukan and (dan). Karena ternyata antara kesehatan dan rokok memenag tidak bisa menjadi “satu kubu”. Rokok di satu sisi dan kesehatan di sisi lain.



Penundaan pembayaran PBI atas nama orang miskin yang sekaligus perokok bisa menjadi alternatif baru dalam pengendalian tembakau sekaligus jadi alternatif terbaik juga untuk mensiasati situasi keterbatasan anggaran.

Apalagi dengan wacana kenaikan cukai rokok per 1 Januari, maka biaya rokok para pecandu ini akan secara otomatis naik. Namun apakah kenaikan cukai akan efektif dalam mengendalikan perokok memang masih membutuhkan waktu untuk dievaluasi.
Penulis berkeyakinan bahwa penghentian pembayaran PBI ini bisa menjadi shock therapy bagi para perokok untuk membuat pilihan sulit antara rokok atau kesehatan.

Namun demikian memang harus ada assesment yang benar tentang kebiasaan merokoknya. Perlu melibatkan Tim KTR atau apalah namanya dalam memberi input nama–nama secara perorangan, siapa yang masih aktif merokok atau sudah dalam taraf berhenti merokok dan berhenti sama sekali. Supaya tidak salah dalam implementasinya.
Semestinya juga Pemda tersebut menyiapkan perangkat untuk mengevaluasinya, sehingga dalam waktu ke depan akan didapatkan best practice dalam pemberian PBI tepat guna sekaligus pengendalian tembakau. Jadi dapat disimpulkan, bahwa memilih antara rokok atau kesehatan menjadi sesuatu yang niscaya.(*) (TAS-Sby - DEs 2019)

No comments: