Wednesday, May 26, 2010

Jamkesmas atau Jamsosnas

Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi *

Beberapa waktu yang lalu seiring dengan dilantik dan mulai bekerjanya Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai Menteri Kesehatan yang baru- anggota Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II)- kontroversi tentang kebijakan pola pembiayaan kesehatan mengemuka. Secara gamblang terlihat ada tarik menarik antara program pembiayaan orang miskin yang terdapat di dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat ( Jamkesmas) - yang digagas oleh Menkes sebelumnya Siti Fadilah Supari dengan bentuk Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas) yang akan diusung oleh Menkes yang baru itu.
Pro kontra itu dimulai sejak serah terima menteri kesehatan tanggal 23 Oktober 2009, dimana program jamkesmas “ dititipkan” dari mantan menkes kepada menteri kesehatan yang baru. Dan dalam beberapa kesempatan Menkes baru menyatakan bahwa jamkesmas menjadi salah satu prioritas dalam program 100 hari Kinerja KIB II (1)
Dalam perkembangannya- setelah mendengar pendapat dan pertimbangan berbagai pihak- maka Menkes baru menyatakan bahwa pelaksanaan Jamkesmas akan ditinjau ulang, diganti atau tepatnya dikembalikan dengan sistem asuransi. Sehari setelah pernyataannya maka hampir seluruh surat kabar memberitakan sebagai : Jamkesmas akan dihapus, diganti atau pernyataan senada tentang adanya sebuah program baru yang akan menggeser Jamkesmas – program kebanggaan Siti Fadilah Supari.
Sehari berselang pada tanggal 9 November dalam kesempatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR menkes baru juga mengungkapkan bahwa akan disusun sebuah roadmap menuju pelaksanaan Jaminan Sosial Nasional atau Jaminan Kesehatan semesta, sebuah jaminan yang tidak hanya mencakup orang miskin, tetapi malah diperluas untuk seluruh masyarakat, yang rencananya akan mulai diterapkan secara bertahap tahun 2010 sampai 2014, sesuai dengan amanat UU no 40 / 2004 tentang SJSN ( Sistem Jaminan Sosial Nasional).(2)
Walaupun dalam kenyataannya jamkesmas sudah banyak membantu orang miskin dimana pemanfaatannya menunjukkan kenaikan yang luar biasa ( > 392 %) namun program yang dianggap tidak sejalan dengan konsep asuransi – sebagaimana amanat SJSN – menjadi alasan yang cukup kuat untuk menggantinya.
Tentu saja ide yang dilontarkan oleh seorang menteri baru yang pengangkatannya juga diwarnai beberapa kontroversi ini, kontan mendapat perhatian dari banyak pihak. Tak terkecuali dari mantan menkes. Dalam sebuah acara Dewan Kesehatan Rakyat ( DKR) tanggal 16 November di Yogyakarta mengatakan bahwa bentuk jamkesmas harus tetap ada dan sebaiknya tidak diganti dengan sistem asuransi. Karena menurut beliau Jamkesmas akan menjamin hak rakyat dan semua pelayanan kesehatan ditanggung gratis, sementara bila asuransi maka rakyat harus membayar dan hanya pelayanan kesehatan tertentu yang bisa dijamin.
Bila melihat dari wacana yang mengemuka, perdebatan mengarah pada bagaimana pembiayaan kesehatan pada orang miskin khususnya dan masyarakat pada umumnya- sebuah isu besar yang tidak saja dihadapi oleh negara kita atau rata-rata negara berkembang lainnya - tetapi juga oleh negara sekelas seperti Amerika Serikat (AS). Sehingga tidak perlu terlalu pesimis dengan hal tersebut, karena penulis merasa yakin bahwa kedua ibu – Menkes dan mantan menkes – sama -sama berangkat dari semangat untuk berbuat yang terbaik bagi dunia kesehatan kita. Sehingga permasalahan Jamkesmas atau Jamsosnas harus didudukkan pada proporsi yang sebenarnya (3)


REFORMASI PEMBIAYAAN KESEHATAN : SUATU KENISCAYAAN

Permasalahan pembiayaan kesehatan memang “ baru” dirasakan menjadi hal penting saat ada momentum krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis moneter pada tahun 1998. Orang miskin sangat kesulitan mengakses kesehatan karena kesehatan menjadi sangat mahal. Ancaman adanya ‘sebuah generasi yang hilang” akibat krisis, sampai pada kesimpulan untuk memunculnya program Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net ) Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang mampu menolong jutaan rakyat miskin dari kesakitan. Program serupa berlanjut dengan nama yang berbeda-beda, pada tahun-tahun berikutnya. PKPS BBM, Askeskin ( 2005 – 2007) dan pada awal 2008 berubah menjadi Jamkesmas.(4)
Tetapi yang jelas persamaannya bahwa pembiayaan kesehatan biasanya mulai dipikirkan secara serius oleh pemerintah pada saat situasi yang mendesak seperti adanya krisis ekonomi, pengurangan subsidi BBM dan situasi ‘kepepet’ lain. Permasalahan di bidang kesehatan memang masih menjadi isu kelas dua. Walaupun dari tahun ke tahun jumlah orang miskin menunjukkan peningkatan dari 36,14 juta menjadi 76,2 juta pada tahun 2007 maka kucuran dana yang juga sudah menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun ( mulai dari Rp 2,256 T pada tahun 2005, menjadi Rp. 4,6 T pada tahun 2008) belumlah mencukupi. Terbukti masih orang miskin yang tidak tercakup oleh jamkesmas, yang mana hal ini menyebabkan daerah terpancing untuk berinovasi dalam sebuah jaminan kesehatan daerah ( jamkesda), Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos) maupun Jaminan Sosial Kesehatan ( Jamsoskes) seperti di Purbalingga, Balikpapan, Yogyakarta dan Sumatera Selatan.(5,6)
Jumlah yang cukup besar dalam angka absolute ternyata masih sangat kecil bila dibandingkan dengan keseluruhan anggaran pemerintah ( hanya berkisar 2,7% dari PDB). Anggaran yang sangat tidak memadai ini menjadikan pembiayaan kesehatan yang berasal pengeluaran langsung dari kantong masyarakat (Out of Pocket ) menjadi sangat besar bahkan mencapai 70 %. Akibatnya berlakulah hukum “You get what you Pay For” dimana masyarakat yang mampu saja yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. (3,5,7)
Masyarakat yang mendekati miskin ( near poor) yang tidak tercakup pada jamkesmas dan masyarakat mampu yang karena sakitnya menjadi miskin ( sadikin) sangatlah berat menanggung beban biaya kesehatan. Ditambah lagi dengan sifat dasar pembiayaan kesehatan yang cenderung naik terus sejalan dengan inflasi dan munculnya teknologi kedokteran maka orang yang tidak mendapatkan
jaminan pelayanan kesehatan ini menjadi golongan yang paling tidak beruntung (6).
Jadi tidaklah mengherankan bila adanya keterbatasan akses secara ekonomi tersebut menjadikan status kesehatan masyarakat Negara kita menjadi lebih rendah dibandingkan Negara tetangga, disamping memang masih adanya masalah lain di bidang kesehatan seperti mutu layanan dan kinerja petugas. Indikator – indikator status kesehatan seperti angka kematian ibu dan anak masih terburuk diantara Negara ASEAN. Kondisi yang seperti ini yang sempat memunculkan pesimisme bahwa fungsi negara kesejahteraan ( welfare state) sebagaimana amanat dalam UUD 1945 seolah-olah menjadi tidak bermakna (5)
Dalam situasi seperti itulah UU SJSN sebagai sebuah bentuk reformasi kesehatan lahir dan menemukan momentumnya. UU SJSN yang kelahirannya lebih belakangan sebagai salah satu jawaban daripada situasi ( krisis) dan reaksi ( lahirnya dana-dana bantuan ), sebenarnya merupakan lompatan besar sebuah reformasi pembiayaan kesehatan. Isu pembiayaan kesehatan menjadi tidak sebatas hanya pada masyarakat miskin tetapi malah seluruh masyarakat (5,6,8)
Namun yang menyedihkan UU justru seringkali dihadapkan secara head to head dengan model-model pembiayaan kesehatan orang miskin yang pernah ada. Jamkesmas maupun Jamkesda seringkali dipertanyakan dan dipertentangkan dengan UU yang kelahiran dan rencana –rencana implementasinya justru “dipercepat ” oleh adanya program - program itu.(9)
Sehingga dengan melihat Jamkesmas sebagai program yang mengusung nafas sebuah reformasi kebijakan pembiayaan kesehatan maka sudah tidak pada tempatnya dan menjadi sangat tidak relevan bila masih terdapat pernyataan yang menafikkan manfaat dan fungsi Jamkesmas dengan menghadapkannya dengan UU SJSN itu. Karena dalam kenyataan memang orang miskin tidak peduli dengan cara apa kebutuhan akan kesehatannya dipenuhi. Dengan sebuah jaminan atau asuransi yang preminya dibayar oleh oleh pemerintah. Dengan jamkesmas atau jamsosnas.

UNIVERSAL COVERAGE
Pernyataaan mantan menkes yang mendikotomi jaminan atau asuransi sosial sebagai alasan utama untuk menolak program yang diusung menteri baru, memang pernyataan yang sangat terburu-buru. Memang di dalam perkembangannya jaminan sering diidentikkan dengan NHS ( National Health Service)- sebuah sistem yang berbasis pajak yang diberlakukan di Inggris dan Malaysia, namun secara terminologi dalam rangka menuju SJSN kedua istilah tersebut bisa dimaknai sama. Bahwa dalam asuransi sosial ada iur biaya memang benar. Namun, sebagaimana amanat UUD 1945 bahwa orang miskin dipelihara oleh Negara maka yang membayar / menjamin premi orang miskin tersebut adalah Negara.(10)
Jadi menurut penulis mantan menkes dan menkes sejatinya hanya berbeda cara pandang saja. Pada prinsipnya bahwa kedua cara itulah yang memungkinkan dapat mengantarkan bangsa ini ke dalam Universal Coverage, dimana semua warga negara baik miskin atau kaya akan terjamin kesehatannya dan tidak boleh orang menjadi miskin gara-gara menderita sakit. ( 5,11)
Walaupun ada peningkatan dana setiap tahunnya, namun masih terasa “ sangat kecil” artinya bila kita mau menuju situasi universal coverage yang disebut juga sebagai Jaminan Kesehatan Semesta oleh menkes baru. Karena berapa dana lagi yang harus disiapkan untuk menjamin sisa penduduk dikurangi dengan PNS yang sudah terasuransi oleh PT ASkes Persero maupun pekerja yang sudah terasuransi dengan PT Jamsostek. Sedangkan permasalahan negara ini tentu saja bukan hanya kesehatan tetapi juga kemiskinan, pengangguran, kebodohan dan lain-lain.(5,11)
Sehingga menjadi masuk akal jika disinilah muncul bentuk subsidi silang dari si kaya kepada si miskin, si sehat kepada si sakit dan dari yang muda kepada yang tua sebagaimana seperti konsep asuransi sosial yang berpegang pada sifat kegotongroyongan antar golongan. (5,6,11, 12,13)
Dalam asuransi sosial juga akan dilaksanakan oleh badan penyelenggara yang dapat dari unsur pemerintah atau quasi pemerintah namun tetap menganut prinsip nirlaba. Dalam program ini akan menjanjikan paket yang sama pada setiap peserta, yang akan menjamin rasa keadilan (equity of egaliter) dimana akan berlaku you get what you need. Setiap peserta akan mendapatkan pelayanan medis yang dibutuhkan.(14)
Memang menjadi sangat berbeda bila asuransi yang diterapkan adalah komersial, dimana adanya penerapan seleksi pada calon-calon peserta yang kadang-kadang sangat ketat, sehingga terkesan perusahaan asuransi hanya mau mengambil untung. Dan adanya mekanisme pasar di dalamnya sehingga akan berlaku hukum alam bahwa siapa kuat dialah yang sehat dan si miskin “di larang” sakit (5, 11,12)
Belajar dari Jerman dan Jepang dengan mekanisme asuransi sosialnya - dengan berbagai modifikasi di dalamnya – yang memperlihatkan hasil status kesehatan masyarakat yang sangat memuaskan dibanding di Amerika Serikat sekalipun maka tidak perlu terlalu khawatir dengan sebuah reformasi kesehatan yang sudah dicanangkan. (5,11,12)
Mudah-mudahan ini menjadi sebuah jalan untuk merajut persatuan yang makin hari makin terkoyak.

No comments: