Wednesday, March 30, 2011

Standar Mutu Gas elpiji

Sejak merebaknya ledakan gas elpiji atau tabungnya maka istilah SNI ( Standar Nasional Indonesia) makin sering terdengar. Istilah SNI yang digandengkan dengan tabung selang, regulator makin kencang gaungnya. Karena dituding bahwa semua peralatan yang belum mengantongi SNI- sebagai satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia yang dirumuskan oleh panitia teknis dan ditetapkan oleh BSN (Badan Standardisasi Nasional)-itulah yang menyebabkan ledakan gas elpiji tersebut. Namun di sisi lain dari Catatan Seorang Agus Pambagyo - seorang pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) - analisisnya tentang kemungkinan isi elpiji mengalami perubahan menyebabkan publik kembali tersentak. Memang belum ada klarifikasi secara resmi dari pihak berwenang. Tetapi informasi ini setidaknya menggambarkan bahwa standar mutu tentang hal-hal yang berkaitan dengan elpiji ini juga perlu ditetapkan. Tidak sekedar upaya reaktif yang efek jangka panjangnya belum dikaji secara serius.
Istilah standar sendiri adalah suatu tingkat mutu yang relevan terhadap sesuatu. Agar dapat disebut bermutu maka dalam standar dijelaskan tentang apa yg harus dicapai, tingkat yang harus dicapai, persyaratan yang harus dipenuhi. Istilah standar memang sangat erat kaitannya dengan istilah seperti mutu, keselamatan dan risiko. Sedangkan keamanan dan keselamatan (safety) produk dari risiko, kesesuaian dengan kebutuhan (appropriateness) adalah beberapa syarat produk untuk dikatakan bermutu yang ujungnya adalah kepuasan dari pelanggan, yaitu masyarakat.
Dalam hal ledakan gas elpiji maka dapat dikatakan bahwa dimensi keamanan produk, keselamatan dan risiko konsumen sempat menjadi sebuah tanda tanya besar. Walaupun sekarang sudah dilakukan evaluasi dan tindak lanjutnya tetapi korban sudah “kadung” berjatuhan. Kerugian sudah menyeruak. Bahkan disebut-sebut jumlah kerugian akibat ledakan gas tersebut sudah mengurangi keuntungan dari konversi.
Untuk tidak mengulangi hal yang sama maka perubahan komposisi elpiji yang 12 kg juga harus dikaji secara mendalam. Bukan karena akan merugikan konsumen tetapi juga karena bagaimana mutunya?
Konsep mutu adalah pencegahan
Dapat dikatakan bahwa teror bom di rumah dari ledakan gas ini menjadi sebuah bencana nasional. Ironisnya lagi-lagi kita selalu bersikap reaktif dan kurang antisipatif. Setelah jatuh korban yang sangat banyak maka kita baru berpikir kearah mutu, standar atau SNI. Diskusi tentang keamanan produk elpiji baru digelar, pembicaraan tentang standar mutu tabung, selang, regulator maupun karetnya menjadi pembicaraan hangat di mana-mana. Mencari apa-apa yang sekiranya menjadi penyebab bencana ini.
Sebenarnya konsep mutu sendiri adalah sebuah pencegahan. Dalam membangun mutu sebuah produk adalah sesuatu yang dapat direncanakan. Diantisipasi. Dalam hal pekerjaan yang bermutu maka mencegah sesuatu produk barang atau jasa yang jelek sampai ke tangan pelanggan adalah mutlak adanya.
Namun kendala dalam membangun sebuah standar seringkali adalah kurangnya komitmen manajemen puncak terhadap mutu itu sendiri ditambah mitos tentang mutu yang mahal, mewah dan luks yang menyebabkan manajemen merasa sayang mengeluarkan biaya mutu yang mendukung pelayanan yang lebih baik, karena menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang merugikan, sia-sia dan tidak perlu dikeluarkan. Bahkan ada yang berpikiran sesuatu yang sifatnya masal, untuk rakyat kebanyakan, adalah tidak perlu bermutu. Poor quality for poor people.
Di lain pihak adanya pandangan modern tentang mutu yang sangat bertolak belakang. Philip Crosby, seorang pakar mutu menyatakan bahwa sebenarnya mutu itu murah bahkan bisa menjadi gratis. Dengan mengeluarkan biaya untuk melakukan perencanaan, koordinasi dan pengawasan semestinya kemungkinan terjadinya hal-hal tersebut sudah dapat diantisipasi sejak awal. Yakinlah bahwa bila proses itu dilampaui dengan maka masalah seperti ini sudah dapat dipetakan jauh-jauh hari dan biaya akibat kegagalan akibat program dapat ditekan sedemikian rupa. Sehingga tidak salah bila Crosby menyatakan bahwa mutu itu bisa menjadi barang yang sangat murah seperti dalam sebuah bukunya yang berjudul Quality is Free.
Namun pepatah Jawa yang menyatakan bahwa jer basuki mawa bea juga tidak salah. Untuk mendapatkan sesuatu yang baik adalah selalu membutuhkan biaya. Namun biaya untuk melakukan pencegahan ini yang disebut sebagai (prevention cost) dan biaya pemeriksaan atau pengawasan (appraisal cost) sebagai sebuah upaya untuk membangun mutu yang baik (cost of good quality) yang dapat dipastikan akan selalu lebih murah daripada biaya untuk sebuah kegagalan (failure cost) dari sebuah produk/layanan yang tidak terencana dengan baik.
Biaya kegagalan lebih besar dari keuntungan konversi?
Seperti sering dikatakan oleh pemerintah maka tujuan konversi mitan ke gas sudah berhasil menghemat dana pemerintah 20 trilyun rupiah per tahun. Namun, dalam pelaksanaannya yang jauh dari mutu maka keberhasilan tersebut akan terkurangi dengan munculnya biaya kegagalan yaitu biaya yang dipakai untuk mengganti sesuatu pekerjaan yang dilaksanakan secara salah (doing things wrong).
Biaya ini dapat meliputi penarikan produk tabung dan asesorisnya, biaya pengerjaan ulang bila nanti akan diproduksi masal lagi, biaya distribusi kembali. Ini adalah biaya yang terkait dengan prosesnya sendiri.
Sedangkan biaya kegagalan yang terkait dengan korban adalah biaya pengganti kerugian kepada pelanggan seperti biaya pengobatan, perawatan, pemakaman, serta pemberian santunan atas kerusakan rumah dan isinya. Satu hal yang kemungkinan dapat terjadi adalah besarnya biaya tuntutan. Namun masih ada biaya kegagalan lain seperti biaya untuk merespon keluhan pelanggan seperti pembentukan tim pengawas, rapat-rapat dan sebagainya. Satu hal yang harus dipikirkan lebih mendalam adalah biaya akibat kehilangan pelanggan seperti dibuktikan dalam sebuah “pemilu” antara mitan dengan gas di kawasan Jakarta maka suara yang memilih mitan lebih banyak dari pada gas.
Satu hal yang sering terlupakan adalah adanya biaya-biaya yang tidak bisa dirupiahkan (intangible cost) seperti rasa khawatir yang makin menyeruak di masyarakat akan pemakaian gas elpiji, trauma yang sangat mendalam dari para korban, rasa nyeri, penderitaan dan hal-hal yang sifatnya ada tetapi tidak dapat diraba. Demikian juga hilangnya nyawa yang sulit untuk diukur dengan rupiah.
Mungkin bila dikalkulasi biaya kegagalan yang terjadi sejak program konversi yang kurang direncanakan dengan baik ini akan sangat besar. Kabarnya bila satu korban mendapat 25 juta rupiah sedangkan pengganti kerusakan mencapai 100 juta rupiah maka jumlah biaya yang sudah dikeluarkan tinggal mengalikan saja dengan jumlah korban yang ada. Bukan jumlah yang sedikit. Apalagi sampai sekarang korban masih berjatuhan dan belum jelas sampai kapan teror gas ini akan berakhir. Bisa jadi bila masih berlanjut terus maka keuntungan konversi akan hilang ditelan oleh biaya kegagalannya sendiri.
Semoga banyaknya kasus ledakan akhir-akhir ini yang mengancam pada tujuan konversi menjadikan pemerintah menyadari bahwa hal yang berkaitan dengan standar dan mutu suatu layanan / produk sudah harus mulai dipikirkan sejak awal dari sebuah program, termasuk juga dalam penggantian komposisi tabung gas elpiji 12 kg. Semoga


@ email: triastutisgtm004@gmail.com

No comments: