Monday, June 20, 2011

Profesi Dokter, tak Lagi Menjanjikan ?

11/06/2011 08:40:06 MEMASUKI 103 tahun kiprah dokter di Indonesia, banyak yang sudah terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus tuntutan kepada profesi dokter meningkat tajam. Sebanyak 405 kasus yang masuk dalam laporan Lembaga Bantuan Hukum (Majalah Kedokteran Indonesia,2009). Hal tersebut membuktikan, masyarakat yang makin kritis dengan pelayanan seorang tenaga medis.
Banyak hal yang seharusnya menjadi concern para dokter maupun lembaga profesinya. Iklim keterbukaan serta adanya krisis kepercayaan terhadap dokter menyebabkan dalam banyak kasus terkesan dokter banyak disudutkan. Seperti kasus yang sudah dipublikasikan sebagai malpraktik yang belum terbukti kebenarannya, pemakaian obat generik, moral hazard dokter dalam asuransi.
Adanya Sifat asimetri informasi dalam dunia kedokteran, yaitu informasi yang dimiliki oleh dokter yang lebih banyak daripada pasien dan masyarakat umum - yang sebenarnya hal yang alamiah, justru seringkali dicitrakan hanya sebagai akal-akalannya para dokter dalam menangani pasien, untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Adakah sesuatu yang salah, sehingga dokter di tengah-tengah tugasnya yang mulia, tanggungjawabnya yang sangat berat, dengan penghargaan sangat minim seakan-akan menjadi bulan-bulanan banyak pihak?
Bayangkan, di tengah malam dokter, termasuk petugas paramedis seperti bidan dan perawat tidak mengenal waktu masih harus berkutat dengan urusan pasien di saat orang lain sudah terlelap tidur. Juga di saat profesi lain bisa istirahat, saat libur hari raya / cuti bersama maka pelayanan kesehatan tetap harus buka. Petugas kesehatan juga orang yang pertama dan paling berisiko tertular penyakit pasiennya. Istilah pahlawan tanpa tanda jasa juga layak disematkan pada pekerja kesehatan.
Pendidikan Dokter Mahal
Sejak awal, pendidikan dokter memakan biaya sangat mahal. Berbeda dengan zaman dulu yang hanya bermodalkan semangat dan kemampuan bersaing untuk menyingkirkan ratusan saingan, yang akan masuk fakultas kedokteran (FK) universitas negeri. Dalam perkembangannya baik di FK negeri apalagi swasta sekarang sama-sama mahalnya. Sehingga orang dengan kemampuan ekonomi pas-pasan akan semakin sulit menjadi dokter. Belum lagi cerita untuk menggapai sebuah keahlian, spesialis.
Di tengah-tengah situasi yang demikian, banyak kalangan mengasumsikan penghasilan semua dokter lebih dari rata-rata kebanyakan profesi. Besar penghasilan dokter sangat bervariasi dan mempunyai rentang yang sangat jauh. Seorang dokter umum di daerah yang sangat terpencil, biasanya hanya mengandalkan gaji dari pemerintah/perusahaan yang mengontraknya. Sangat berbeda dengan seorang spesialis yang keahliannya mumpuni dan langka bisa jadi mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.
Sementara sekarang, standar gaji pegawai negeri sipil (PNS) dokter juga mengikuti ketentuan PNS secara umum. Bandingkan dengan guru yang sudah tersertifikasi. Sangat jauh. Penghargaan berupa gaji dari pemerintah yang jumlahnya tidak terlalu besar membuat dokter umum berusaha untuk menambah penghasilan dengan menjadi Dokter Praktik Swasta (DPS). Namun seringkali praktik mandiri ini yang menjadikan alasan bahwa penghasilan dokter sudah pasti di atas rata-rata. Padahal sama dengan usaha lain, bahwa tidak semua DPS sama kondisinya.
Mungkin era sebelum 1980- an dari praktik dokter umum masih cukup menjanjikan. Namun semakin tahun peran dan fungsi dokter umum makin terpinggirkan. Bila ingin eksis, mesti tergabung menjadi dokter keluarga perusahaan asuransi, yang sudah bukan rahasia lagi bila dokter tidak memiliki nilai tawar dalam sebuah kontrak. Tidaklah heran bila bayaran jasa dokter umum sebagai dokter keluarga sangat kecil. Ada yang hanya kurang dari dua ribu rupiah per anggota per bulan. Lebih kecil dari seorang tukang parkir sekalipun!
Sementara untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi dibutuhkan kredit poin yang harus dikumpulkan dalam jumlah tertentu selama 5 tahun. Kredit poin dapat diperoleh dari kegiatan ilmiah seperti pelatihan, kursus dan seminar. Namun sudah bukan rahasia umum kalau kegiatan peningkatan kapasitas dokter tersebut juga butuh biaya yang cukup besar. Apalagi bagi dokter yang bekerja di daerah terpencil, biaya akomodasi dan transportasi menjadi permasalahan tersendiri.
Maka tidaklah heran, bila hal tersebut ditengarai, seringkali menimbulkan kolusi antara oknum dokter dengan perusahaan farmasi untuk membiayai kegiatan ilmiah dimaksud. Sebagai imbal baliknya maka oknum dokter harus memenuhi target penjualan obat. Akibat yang lebih jauh dokter dituding sebagai biang gagalnya pemakaian obat generik !
Tuduhan menyakitkan yang masih perlu dikaji ulang. Karena sebenarnya banyak pihak yang bermain di sini, seperti pabrik obat dan kebijakan pemerintah yang masih mengimpor bahan baku yang tentu saja terkait dengan dollar. Walaupun diakui bahwa dalam profesi apapun tetap ada ‘oknum’.
Tudingan Miring
Ujung dari permasalahan yang saling terkait, antara kesejahteraan dokter dengan segala tudingan miring dan hubungannya dengan mutu pelayanan kesehatan, adalah pada kepentingan masyarakat sendiri. Tanpa pemberian penghargaan yang layak maka peningkatan mutu dokter akan terkendala. Masyarakat akan dirugikan bila pelayanan dokter kita kurang baik.
Menghadapi situasi Jaminan Semesta pada tahun 2014 yang akan segera diterapkan, dimana DPS juga akan diusahakan menjadi provider Jaminan Kesehatan. ini sesuai roadmap Kementerian Kesehatan dalam bidang ketersediaan jaringan pemberi pelayanan kesehatan, maka sudah seharusnya dokter sendiri juga organisasi profesi untuk menyiapkan diri.
Demikian juga untuk menghadapi pasar bebas di bidang kesehatan. Jangan sampai ketertinggalan dokter-dokter kita akan semakin jauh dengan dokter asing yang kehadirannya sudah kita rasakan. Sehingga masyarakat akan lebih memilih dokter asing untuk menangani permasalahan kesehatannya.
Untuk mengatasinya, semestinya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-satunya organisasi yang harus memperjuangkan nasib dokter. Bersama dengan pemerintah untuk dapat menurunkan biaya pendidikan calon dokter dan spesialis, serta memberinya penghargaan yang lebih layak yang bisa dalam bentuk ‘Sertifikasi dokter’ seperti layaknya guru. q-c-(3032A-2001).
*) dr Tri Astuti Sugiyatmi,
adalah dokter, anggota di Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, Fakultas Kedokteran UGM)

No comments: