Friday, August 24, 2012

kondisi HIV/ AIDS Layak ditanggung oleh BPJS ?

                              Oleh: Tri Astuti Sugiyatmi 

Associate Researcher Pusat KPMAK FK UGM
Sampai dengan 31 Maret tahun 2010, sebanyak 32 propinsi dan 300 kabupaten /kota telah melaporkan kasus AIDS. Ini menunjukkan epidemi AIDS di Indonesia sejak pertama kali ditemukannya pada tahun 1987 mengalami kenaikan yang cukup besar.  Pada beberapa daerah, terlihat  angka kesakitan dan kematian yang semakin bertambah.
Berbagai upaya pengendalian sudah dikerjakan.  Program pencegahan yang  bertujuan agar setiap orang mampu melindungi dirinya agar tidak tertular HIV atau menularkan pada orang lain sudah sering kita dengarkan pada berbagai  kegiatan  seperti  penyuluhan, seminar maupun konsultasi.  
Setelah  kegiatan ini berjalan maka dengan dibukanya klinik VCT (voluntary counseling and testing)  yaitu tes HIV sukarela disertai dengan konseling maka penemuan kasus menjadi  tahap berikutnya. Klinik yang pada umumnya di support oleh Global Fund (GF)  di beberapa daerah menjadi pintu masuk bagi orang dengan HIV  untuk menjalani pengobatan bila memang kondisinya sudah memungkinkan. Tahap berikutnya untuk pasien tersebut adalah ke CST (Care , Support and Treatment) untuk mendapatkan dukungan serta pengobatan maupun ke arah PMTCT(Prevention of  Mother to Child Transmission)  bagi ibu hamil yang terinfeksi
Selama ini biasanya permasalahan memang muncul setelah pasien dinyatakan positif.  Pada waktu dilakukan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa  pembiayaan biasanya tidak menjadi masalah. Karena rata-rata klinik VCT yang ada biasanya disupport oleh  pendanaan dari GF. Bila pasien sudah harus diterapi  ( yaitu bila kondisi CD4 dan Viral Load dalam jumlah tertentu ) maka ARV/ART  juga sudah didanai oleh GF.
Tetapi yang menjadi permasalahan yang cukup besar saat pasien  harus rawat inap.  Pasien yang  rawat inap dengan AIDS, biasanya pihak asuransi /bebarapa  jamkesda tidak mau membayarnya, terkecuali pada jamkesmas.
Entah mengapa pihak asuransi biasanya tidak mau membayar, sehingga seringkali pihak yang merawat hanya mencantumkan diagnosa  infeksi opportunistik  (sebagai gejala yang tampak dari kondisi AIDS)    dalam catatan medisnya.
Sekilas hal tersebut tidak menjadi  problem karena toh pasien tetap tertangani. Masalah baru muncul ketika  rekam medis menjadi  kurang mampu telusur : dalam hal kasus2 HIV/AIDS. Dalam hal ini otomatis  kasus medis akan tertutup  dan bisa ikutannya akan sangat panjang. Data epidemiologi HIV/AIDS yang  kurang akurat yang bila diikuti akan berakibat pada perencanaan dan pengambilan keputusan yang kurang tepat pada level pengambil kebijakan.
Yang juga tidak dapat  di anggap sepele, akibat dari hal ini maka pemberian stigma pada penderita HIV – AIDS masih tetap tinggi.  Semua penderita HIV AIDS dianggap hasil dari perbuatan buruknya sendiri yang  tidak pantas untuk ditanggung oleh asuransi. Seperti kasus merokok, penyakit menular seksual lainnya, HIV-AIDS tidak bisa ditanggung. Memang dalam beberapa klausul yang sering muncul dalam  asuransi maka yang  tidak termasuk (pengecualian) adalah yang bersifat kosmetik tanpa indikasi medis. Wajar bila operasi hanya untuk memancungkan hidung dengan pertimbangan kosmetik tidak akan ditanggung. Hal ini juga seperti percobaan bunuh diri yang biasanya juga tidak ditanggung asuransi.
IMS, HIV-AIDS  dan asuransi
Infeksi virus HIV yang kemudian bisa berkembang menjadi  kondisi AIDS memang bisa ditularkan oleh hubungan seksual sebagaimana penyakit infeksi seksual lainnya seperti gonorrhea, sifilis dan beberapa lainnya.
Infeksi menular seksual  (IMS) memang menjadi pintu  masuk bagi masuknya virus HIV ini yang bisa berlanjut menjadi AIDS dalam beberapa  waktu kemudian. Namun demikian banyak pasien HIV –AIDS yang bisa jadi bukan karena hubungan seksual tetapi didapat dari  kegiatan lain seperti transfusi darah, pemakaian jarum suntik yang tidak steril ( ini mungkin hanya relevan pada beberapa waktu yang lalu, saat belum  informasi penyakit ini masih jarang) yang bisa menjadi pintu masuk. Atau bisa jadi karena  dari ibu hamil   yang positif yang menularkan kepada bayinya.  Atau bahkan ibu rumah tangga baik-baik yang tertular dari suaminya.  Atau bahkan yang paling ekstrim adalah kejadian HIV-AIDS  yang bersifat “kecelakaan”  pada tenaga medis  akibat mengelola pasien HIV-AIDS.
Jadi   kondisi orang dengan HIV-AIDS yang seperti inilah yang sebenarnya memang seharusnya ditanggung oleh asuransi. Bagaimana tidak, obat-obat untuk mengatasi  gejala-gejala yang muncul dari HIV-AIDS ini  bisa jadi sangat menguras kantong.  Bisa jadi sangat katastrofik.  Belum lagi penderitaan yang dialami akibat stigma yang ada juga akan mempersulit kondisi sosial ekonomi pasien. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa pasien dengan HIV/AIDS sulit untuk diterima bekerja kembali di masyarakat untuk membantu perekonomiannya. Sehingga bantuan pengobatan melalui asuransi  penulis anggap cukup penting.



 
 
 




No comments: