KASUS HIV DAN AIDS TINGGI, BAIK ATAU BURUK?
Oleh : Tri Astuti
Sugiyatmi
Sejak ditemukannya HIV (Human Immunodeficiency Virus) pertama kali
pada tahun 1978 di AS maka
perkembangan jumlah penderita
sindroma ikutannya yaitu AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome) cepat sekali. Tercatat 3 tahun setelahnya maka
150 negara lain ikut merasakan dampak penularannya. Di Indonesia sendiri kasus
HIV-AIDS ini pertama kali
ditemukan pada turis asing di Bali tahun 1987 dan sejak saat itu jumlah
penderita pun terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada Maret 2012 seluruh propinsi
di Indonesia sudah terkena semua dengan kasus yang tertinggi di propinsi DKI Jakarta, Jatim, Papua dan
Jabar. Kementerian kesehatan Rl mencatat angka kumulatif HIV dan AIDS yang dilaporkan
dari 1987 hingga Maret 2012 sebanyak 82.870 kasus HIV dan 30.430 kasus AIDS.
Sebuah peningkatan yang sangat luar biasa! Namun diyakini bahwa situasi
tersebut baru merupakan puncak dari sebuah gunung es. Sementara “dasar” dari
iceberg phenomen tersebut
adalah angka estimasi yang dikeluarkan
oleh Kemkes RI pada tahun 2009 lalu bahwa jumlah penduduk dewasa yang berisiko
terinfeksi HIV diperkirakan mencapai
186.257 dan 6,4 juta orang berisiko tinggi terinfeksi HIV.
Di samping tingginya lonjakan
kasus maka pada pelaporan kasus ini di Kemenkes
terdapat data yang cukup mengejutkan yaitu makin meningkatnya jumlah
kasus HIV dan AIDS pada perempuan, yang tidak berperilaku seksual berisiko
tinggi namun tertular HIV dari pasangan tetapnya yang berperilaku seksual
beresiko tinggi. Hal inilah yang menyebabkan anak-anak mereka juga dalam posisi
rentan untuk tertular dari orang tuanya yang dalam proses persalinan dan
menyusui. Walaupun menurut Hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP)
tahun 2009 menunjukan angka estimasi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA)tetap pada
kalangan risiko tinggi yaitu wanita penjaja seks (WPS) langsung 6%, WPS tidak
langsung 2%, waria 6%, pelanggan WPS 22%, pasangan pelanggan 7%, lelaki seks
lelaki (LSL) 10%, warga binaan 5%, pengguna napza suntik 37%, dan pasangan seks
penasun 5%.
Khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat status
epidemi sudah memasuki tingkatan generalized
epidemic leveloleh karena prevalensi HIV pada masyarakat umum khususnya
populasi 15-49 tahun sudah mencapai 2,4%.
HIV AIDS juga diketahui dapat ditularkan melalui media transfusi darah ( karena pada 6 bulan pertama
sejak terinfeksi maka donor belum bisa dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium)
sehingga bila dilakukan donor darah pada kondisi window periode tersebut maka virus ini
akan masuk ke dalam tubuh resipiennya (penerima transfusi). Di samping itu maka
petugas kesehatanlah yang juga berpotensi untuk tertular pada saat merawat
pasien-pasien tersebut.
Sebuah ancaman yang ada di depan
mata yang membutuhkan upaya nyata untuk menurunkannya. Menjadi salah satu target dalam
Tujuan Pembangunan Milenium (MillenniumDevelopment
Goals-MDGs) pada tahun 2015, yang ditandatangani juga oleh Indonesia menjadikan
HIV /AIDS mendapat perhatian yang lebih. Sehingga ditemukannya kasus HIV/AIDS
di suatu daerah akan memunculkan banyak
pertanyaan yang berisi kekhawatiran dari berbagai pihak.
Beberapa Sudut Pandang
Pemberian cap buruk yang
cenderung menghakimi penderita penyakit
ini, dimana semua penderitadianggap karena perilaku buruk penderita, membuat beberapa
pihak berpikir bahwa tindakan yang
paling pas saat menemukan penderita adalah
dengan mengucilkannya bahkan bila
perlu mengusirnya (walaupun dengan
cara yang halus seperti dipulangkan ke kampung halaman).
Hal ini biasanya dilakukan pada daerah yang menyatakan bebas HIV/AIDS.Daerah yang demikian biasanya justru akan mengambil kebijakan yang cenderung memberi stigma yang pada
akhirnya menimbulkan diskriminasi pada
penderita. Pada gilirannya dikhawatirkan
ODHA yang sudah ditemukan tidak
mendapatkan layanan yang semestinya
(termasuk kesehatan). Hal inilah yang justru akan membuat pencegahan dan
penanggulangannya akan semakin sulit.Sehingga pernyataan bahwa daerah tertentu
bebas HIV/AIDS justru dianggap akan memacu penyebaran HIV/AIDS yang lebih
cepat.
Dapat dipahami bahwa kewaspadaan universal (sikap petugas
kesehatan untuk menganggap semua pasien yang ditanganinya positif HIV/AIDS)
justru akan menjadi mengendor. Di
samping itu, kebutuhan akan layanan standar seperti kebutuhan akan alat penyeteril yang harus terpenuhi untuk mencegah penularan hampir pasti tidak menjadi perhatian utama.
Tidak Sama dengan
Penyakit Lain
Satu hal yang harus diingat bahwa penyakit ini adalah
seperti gunung es, yang puncaknya kecil sementara dasarnya sangatlah besar. Sehingga bila tidak
ada upaya khusus untuk mencari kasusnya maka biasanya tidak akan diketemukan
dalam kondisi dini. Sementara untuk
mencari dan menemukan HIV/AIDS ini tidaklah sama dengan penyakit lain. Bila
untuk pemeriksaan kondisi tertentu misalnya tekanan darah tinggi
(hipertensi) dan tulang keropos
(osteoporosis) seringkali dijumpai di
mal-mal atau pusat keramaian. Khusus
HIV/AIDS maka harus dilakukan di sebuah
klinik VCT (Voluntary Counseling and
Testing) yang menyediakan ruangan tersendiri untuk melakukan konseling. Sementara
itu untuk pemeriksaan laboratoriumnya juga
dilakukan setelah pasien secara sukarela bersedia untuk ditest. Begitu
juga saat mau membacakan hasil laboratoriumnya juga harus dilakukan konseling terlebih dahulu untuk mempersiapkan
mental saat ada keputusan apakah dia mengidap HIV /AIDS atau tidak.
Hal-hal seperti inilah termasuk juga adanya tenaga
konselor yang terlatih yang membuat tidak setiap daerah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk memberi layanan penderita yang penularan terbanyaknya melalui transimisi
seksual dan pemakaian jarum suntik ini. Juga pasca “tertangkapnya” penderita
ini maka langkah selanjutnya juga sudah harus disiapkan. Pengobatan melalui
klinik CST ( care, support and treatment)
serta pencegahan penularan dari ibu ke anak melalui klinik PMTCT (PreventionofMother To Child Transmission) sampai pada penanganan pemulasaraan
jenazahnya bila si pasien meninggal.
Memang penderita
yang sudah mengarah ke kondisi AIDS dengan infeksi opportunistik seperti diare berat, infeksi berat lain
pasti akan mencari pertolongan ke layanan kesehatan. Namun pada kondisi
terminal seperti ini maka upaya pencegahan lebih dini sudah tidak mungkin lagi diterapkan. Dapat ditebak
berapa banyak orang yang kemungkinan sudah tertular. Apalagi bila si pasien
tidak mengubah perilaku buruknya karena ketidakadaan informasi tentang hal
tersebut.
Jadi ditemukannya kasus-kasus HIV AIDS yang cukup tinggi
dapat dinilai baik dari sisi kinerja
surveilans penyakit tetapi sekaligus menandakan ada pola penularan
yang biasanya khas di daerah
tersebut. Khusus di Tarakan pola penularan terbanyak
adalah masih melalui transmisi seksual sehingga pencegahan dan penularannya
juga harus diarahkan ke sana.
Apalagi data terakhir yang diungkapkan anggota Komisi IV
DPRD Encik Widyani baru-baru ini betul-betul memprihatinkan. Walaupun yang
disurvei adalah Kaltim secara keseluruhan tetapi setidaknya ada banyak kesamaan
dengan situasi Tarakan dan jelas bahwa Tarakan sebagai satu kota yang masih masuk dalam gambaran survei ini. Bahwa
di Kaltim sekitar 20% pada tahun 2010 pelajar SMP dan SMA mengaku sudah pernah
melakukan hubungan suami istri dan
mengalami peningkatan pada tahun 2012 yaitu menjadi hampir 80% anak remaja mengaku melakukan
pergaulan bebas ini (Republika, 4
Februari 2013). Ditambah lagi bahwa
tingkat pengetahuan tentang HIV /AIDS di kalangan remaja kita memang juga
masih sangat rendah yaitu <20 75="" ada="" besarnya="" dari="" gap="" inilah="" pengetahuan="" span="" target="" yang=""> 20>yang menjadi PR kita bersama untuk menanggulanginya dan
mencegah penularan sesuai dengan bidang tugas kita masing-masing.
Semoga.
No comments:
Post a Comment