Wednesday, February 6, 2013

KASUS HIV DAN AIDS TINGGI, BAIK ATAU BURUK?


KASUS HIV DAN AIDS TINGGI, BAIK ATAU BURUK?

Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi
Sejak ditemukannya HIV (Human Immunodeficiency Virus)  pertama kali  pada tahun 1978 di AS maka  perkembangan  jumlah penderita sindroma ikutannya yaitu AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) cepat sekali. Tercatat 3 tahun setelahnya maka 150 negara lain ikut merasakan dampak penularannya. Di Indonesia sendiri  kasus  HIV-AIDS ini pertama kali   ditemukan pada turis asing di Bali tahun 1987 dan sejak saat itu jumlah penderita pun terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada Maret 2012 seluruh propinsi di Indonesia sudah terkena semua dengan kasus yang tertinggi  di propinsi DKI Jakarta, Jatim, Papua dan Jabar. Kementerian kesehatan Rl mencatat angka kumulatif HIV dan AIDS yang dilaporkan dari 1987 hingga Maret 2012 sebanyak 82.870 kasus HIV dan 30.430 kasus AIDS. Sebuah peningkatan yang sangat luar biasa! Namun diyakini bahwa situasi tersebut baru merupakan puncak dari sebuah gunung es. Sementara  “dasar” dari  iceberg phenomen tersebut adalah angka  estimasi yang dikeluarkan oleh  Kemkes  RI pada tahun 2009 lalu  bahwa jumlah penduduk dewasa yang berisiko terinfeksi HIV  diperkirakan mencapai 186.257 dan 6,4 juta orang berisiko tinggi terinfeksi HIV.
Di samping tingginya lonjakan kasus maka pada pelaporan kasus ini di Kemenkes  terdapat data yang cukup mengejutkan yaitu makin meningkatnya jumlah kasus HIV dan AIDS pada perempuan, yang tidak berperilaku seksual berisiko tinggi namun tertular HIV dari pasangan tetapnya yang berperilaku seksual beresiko tinggi. Hal inilah yang menyebabkan anak-anak mereka juga dalam posisi rentan untuk tertular dari orang tuanya yang dalam proses persalinan dan menyusui. Walaupun menurut Hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) tahun 2009 menunjukan angka estimasi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA)tetap pada kalangan risiko tinggi yaitu wanita penjaja seks (WPS) langsung 6%, WPS tidak langsung 2%, waria 6%, pelanggan WPS 22%, pasangan pelanggan 7%, lelaki seks lelaki (LSL) 10%, warga binaan 5%, pengguna napza suntik 37%, dan pasangan seks penasun 5%.
Khusus  di Provinsi Papua dan Papua Barat status epidemi sudah memasuki tingkatan generalized epidemic leveloleh karena prevalensi HIV pada masyarakat umum khususnya populasi 15-49 tahun sudah mencapai 2,4%.
HIV AIDS juga  diketahui dapat ditularkan melalui media  transfusi darah ( karena pada 6 bulan pertama sejak terinfeksi maka donor belum bisa dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium) sehingga  bila  dilakukan donor darah pada kondisi window periode tersebut maka virus ini akan masuk ke dalam tubuh resipiennya (penerima transfusi). Di samping itu maka petugas kesehatanlah yang juga berpotensi untuk tertular pada saat merawat pasien-pasien tersebut.
Sebuah ancaman yang ada di depan mata yang membutuhkan upaya nyata untuk menurunkannya.  Menjadi salah satu target  dalam  Tujuan Pembangunan Milenium (MillenniumDevelopment Goals-MDGs) pada tahun 2015, yang ditandatangani juga oleh Indonesia menjadikan HIV /AIDS mendapat perhatian yang lebih. Sehingga ditemukannya kasus HIV/AIDS di suatu daerah akan memunculkan  banyak pertanyaan yang berisi kekhawatiran dari berbagai pihak.
Beberapa Sudut Pandang
Pemberian cap buruk yang cenderung menghakimi  penderita penyakit ini, dimana semua penderitadianggap karena perilaku buruk penderita, membuat beberapa pihak berpikir bahwa  tindakan yang paling pas saat menemukan penderita adalah  dengan mengucilkannya  bahkan bila perlu mengusirnya (walaupun dengan cara yang halus seperti dipulangkan ke kampung halaman).
Hal ini biasanya dilakukan pada daerah yang menyatakan  bebas HIV/AIDS.Daerah yang demikian  biasanya justru akan mengambil kebijakan  yang cenderung memberi stigma yang pada akhirnya menimbulkan diskriminasi  pada penderita. Pada gilirannya   dikhawatirkan ODHA  yang sudah ditemukan tidak mendapatkan layanan  yang semestinya (termasuk kesehatan). Hal inilah yang  justru akan membuat pencegahan dan penanggulangannya akan semakin sulit.Sehingga pernyataan bahwa daerah tertentu bebas HIV/AIDS justru dianggap akan memacu penyebaran HIV/AIDS yang lebih cepat.
Dapat dipahami bahwa kewaspadaan universal (sikap petugas kesehatan untuk menganggap semua pasien yang ditanganinya positif HIV/AIDS) justru akan menjadi mengendor.  Di samping itu,  kebutuhan akan  layanan standar  seperti kebutuhan akan alat penyeteril  yang harus terpenuhi untuk mencegah penularan   hampir pasti tidak menjadi perhatian utama.
Tidak Sama dengan Penyakit Lain
Satu hal yang harus diingat bahwa penyakit ini adalah seperti gunung es, yang puncaknya kecil sementara  dasarnya sangatlah besar. Sehingga bila tidak ada upaya khusus untuk mencari kasusnya maka biasanya tidak akan diketemukan dalam kondisi dini.  Sementara untuk mencari dan menemukan HIV/AIDS ini tidaklah sama dengan penyakit lain. Bila untuk pemeriksaan kondisi tertentu misalnya tekanan darah tinggi (hipertensi)  dan tulang keropos (osteoporosis)  seringkali dijumpai di mal-mal atau pusat keramaian.  Khusus HIV/AIDS maka harus dilakukan di  sebuah klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) yang menyediakan ruangan tersendiri untuk melakukan konseling. Sementara itu untuk pemeriksaan laboratoriumnya juga  dilakukan setelah pasien secara sukarela bersedia untuk ditest. Begitu juga saat mau membacakan hasil laboratoriumnya juga harus dilakukan  konseling terlebih dahulu untuk mempersiapkan mental saat ada keputusan apakah dia mengidap HIV /AIDS atau tidak.
Hal-hal seperti inilah termasuk juga adanya tenaga konselor yang terlatih yang membuat tidak setiap daerah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memberi layanan penderita yang penularan terbanyaknya melalui transimisi seksual dan pemakaian jarum suntik ini. Juga pasca “tertangkapnya” penderita ini maka langkah selanjutnya juga sudah harus disiapkan. Pengobatan melalui klinik CST ( care, support and treatment) serta pencegahan penularan dari ibu ke anak melalui klinik PMTCT (PreventionofMother To Child Transmission)  sampai pada penanganan pemulasaraan jenazahnya bila si pasien meninggal.
Memang penderita  yang sudah mengarah ke kondisi AIDS dengan infeksi opportunistik   seperti diare berat, infeksi berat lain pasti akan mencari pertolongan ke layanan kesehatan. Namun pada kondisi terminal seperti ini maka upaya pencegahan lebih dini  sudah tidak mungkin lagi diterapkan. Dapat ditebak berapa banyak orang yang kemungkinan sudah tertular. Apalagi bila si pasien tidak mengubah perilaku buruknya karena ketidakadaan informasi tentang hal tersebut.
Jadi ditemukannya kasus-kasus HIV AIDS yang cukup tinggi dapat dinilai baik dari sisi kinerja  surveilans penyakit tetapi sekaligus menandakan ada pola penularan yang  biasanya khas di daerah tersebut.   Khusus di Tarakan pola penularan terbanyak adalah masih melalui transmisi seksual sehingga pencegahan dan penularannya juga harus diarahkan ke sana.
Apalagi data terakhir yang diungkapkan anggota Komisi IV DPRD Encik Widyani baru-baru ini betul-betul memprihatinkan. Walaupun yang disurvei adalah Kaltim secara keseluruhan tetapi setidaknya ada banyak kesamaan dengan situasi Tarakan dan jelas bahwa Tarakan sebagai satu kota yang  masih masuk dalam gambaran survei ini. Bahwa di Kaltim sekitar 20% pada tahun 2010 pelajar SMP dan SMA mengaku sudah pernah melakukan hubungan suami istri  dan mengalami peningkatan pada tahun 2012 yaitu menjadi  hampir 80% anak remaja mengaku melakukan pergaulan bebas ini (Republika,  4 Februari 2013).  Ditambah lagi bahwa tingkat pengetahuan tentang HIV /AIDS di kalangan remaja kita memang juga masih  sangat rendah yaitu <20 75="" ada="" besarnya="" dari="" gap="" inilah="" pengetahuan="" span="" target="" yang="">  yang menjadi  PR kita bersama untuk menanggulanginya dan mencegah penularan sesuai dengan bidang tugas kita masing-masing. Semoga.

No comments: