Sebuah Diksi
Saat kami kecil, ibu saya setiap saat mengajari kami
untuk menggunakan boso Jowo kromo (Kromo
inggil). Setahuku kromo inggil adalah Sebuah
pakem bahasa Jawa yang sangat menghormati orang yang lebih tuaa, orang dengan
kedudukan yang terhormat dll. Saya
seringkali terbalik-balik memakai nya. Seringkali untuk diri sendiri memakai
bahasa yang sangat halus, sebaliknya untuk orang lain justru yang sangat kasar.
Dalem badhe siram, njenengan sampun adus? (he..he. secara leksikal siram dan
adus sama mengacu pada istilah mandi yaitu membersihkanbadan dengan air).
Tetapi memang secara “rasa” bahasa sangat berbeda. Siram adalah lebih halus daripada
adus . kata s’siram’ sebaiknya dipakai
untuk yang lebih tua, orang yang kita hormati dll. Menurut pengetahuanku bahwa
bila kita membahasakan dengan lebih halus untuk diri sendiri dan otomatis yang
lebih kasar untuk orang lain maka berarti itu dianggap kita menyalahi pakem boso
kromo tadi.
Walaupun kadang terkesan sekedar lip service bin basa basi
tapi kromo inggil yang diucapkan dengan ikhlas menurutku mengandung
penghormatan yang luar biasa. Mungkin
itu di Jawa. Kata yang lain seperti :
kula badhe matur (saya mau bicara…) menjadi
berbeda nuansanya bila Ibu badhe ngendhika …. (ibu mau bicara…). Sama2 berarti
bicara tapi ada nunsa yang berbeda di dalamnya. Itu memang rasa bahasa orang Jawa.
Tentu saja bila berasal dari suku lain mungkin akan sulit
memahami. Karena kita memang beragam .
Secara ekstrim kadang apa yang menurut kita tidak pantas tapi justru bagi suku
yang lain justru itu yang baik. Atau bahkan sebaliknya.
Bahasa Indonesia menjadi sebuah solusi. Supaya tidak ada salah paham tentang diksi antar suku. Jadi dengan bahasa yang sama yang digunakan
maka setidaknya perbedaan persepsi tentang arti sebuah kata akan makin kecil.
Saat kata/ istilah b****gan
atau istilah ‘seram’ lain
akhir-akhir menempati bahasan yang cukup panas bahkan sampai memasuki
pro kontra tokoh yang mengeluarkannya.
Sampai akhirnya juga adanya permohonan maaf dari Sang tokoh karena adanya bahasa toilet yang sempat beliau
lontarkan menjadikan konten bahasa Jawa
yang dulu sering saya kritik tidak egaliter menemukan “rohnya”.
Maka saat dulu di dalam bahasa Jawa ada bahasa kromo inggil
yang membeda-bedakan pemanfaatan kata sesuai dengan kedudukan maka sebenarnya
dalam bahasa persatuan kita sudah tidak ada lagi. Maka keegaliteran bahasa
Indonesia kita semestinya tetap harus mengandung kehatian-hatian sebagaimana
substansi kromo inggil dimana menempatkan diksi menjadi utama. Bagaimana bahasa
menunjukkan bangsa katanya. Walaupun dalam konteks kromo inggil terkesan tidak
adil, tapi sebenarnya justru terkandung ajaran yang sangat luar biasa. Menempatkan
lawan bicara sebagai orang yang harus dihormati. Ternyata pilihan kata pada era
sekarang saat media begitu mudahnya untuk menyiarkan ucapan aslinya ke seluruh
penjuru dunia, maupun saat gadget ada di tangan dan dengan mudahnya menshare status tulisan apapun yang ada,
maka diksi menjadi sebuah perkara besar.
Bukan bermaksud menghakimi maka diksi menjadi sebuah
kemampuan dasar dalam berkomunikasi.Bagaimana diksi yang salah tempat, salah
orang dan waktu justru akan menjadi pedang bermata dua. Alih-alih jadi lucu tetapi seringkali status
pendek itu pun bisa menimbulkan banyak tafsir yang ujung-ujungnya rusaknya
silaturahim dua orang/pihak. Bahkan ada yang sampai tuntutan hukum.
Ya diksi sebagai produk dari pikiran yang bisa ditorehkan
oleh jari lewat ketikan di keypad gadget maupun
lewat lidah melalui suara memang
sudah saatnya untuk kembali dipelajari.
Walaupun sebagian menganggap sepi pro kontra diksi. Katanya ; ‘ yang
penting substansi atau konten”. Tapi bagaimanapun menurut saya sih
konten/substansi belum tentu “masuk” saat kemasan yang dipilih sudah
menghabiskan banyak energi duluan untuk
berbantah-bantahan.
Dengan ‘kegaduhan’
itu maka konten yang sangat positif pun menjadi akan kurang berarti. Padahal dengan diksi yang berbeda sedikit maka
bisa jadi akan membuat isu itu menjadi besar dan penting.
Nah mungkin inilah PR
bagi para pakar bahasa Indonesia –kalau
boleh saya usul- untuk mengumpulkan diksi yang sudah secara umum dalam bahasa Indonesia mempunyai arti
umpatan, kata kasar dan lain-lain beserta artinya. Bukan untuk
dipakai tapi justru supaya makin dipahami dengan itu akan berpotensi membuat
semua orang, semua jenis golongan
manusia Indonesia akan merasa tidak
nyaman untuk mendengarnya. Sehingga kita
akan semakin hati-hati dalam memakaianya apalagi di ruang public seperti berbagai ruang media sosial dan media
lainnya. So,…..
Kata-kata punya
makna………….
Diksi (pemilihan kata) menjadi sebuah keniscayaan………….
No comments:
Post a Comment