Monday, December 28, 2015

HIV-AIDS dan Perilaku Kita

HIV-AIDS dan Perilaku Kita
Oleh:  Tri Astuti Sugiyatmi

1 Desember ini kita peringati sebagai hari AIDS sedunia.  Memperingati pada sebuah fenomena penyakit yang  sejak kemunculannya sampai sekarang masih mengharu biru umat manusia di dunia.  AIDS sebagai sebuah kumpulan gejala akibat HIV (virus yang memperlemah daya tahan tubuh manusia seringkali dihubungkan hanya  dengan perilaku  tidak sehat dan cenderung menyimpang dari umat manusia. Akibatnya memang tidak bisa dielakan berbagai  cap atau stempel buruk yang hampir selalu  menempel pada ODHA (orang dengan HIV AIDS). BIasanya pemberian  stigma  tadi hampir pasti akan diikuti dengan pembedaan perlakuan (diskriminasi) yang cenderung tidak menguntungkan dan bahkan merugikan bagi ODHA  maupun keluarganya.
Di beberapa daerah tertentu diagnosa HIV - AIDS dianggap sebagai aib bagi si pelaku dan keluarganya. Sehingga perlakuan buruk terhadap penderita dan keluarganya seringkali terjadi. ODHA Dipandang sebelah mata, dihina, dikucilkan, dibuang dan diusir dari  masyarakat terdekatnya. Pada beberapa kasus, keluarganya sendiri justru yang memperlakukan hal yang demikian. AIDS pada stadium akhir  dengan tampilan  fisik  yang parah  dengan kemunculan infeksi oportunistiknya yang bermacam-macam seperti  batuk berkepanjangan, diare tidak berkesudahan serta kehilangan berat badan yang sangat  besar   menjadikan fisiknya ibaratnya tinggal tulang dan kulit – dianggap sebagai   kondisi  yang sangat  mengerikan.   Bagi sebagian kalangan penyakit ini sering disebut sebagai penyakit “kutukan”- sebuah istilah yang seolah  merujuk pada  “hukuman” yang diberikan  dari Yang Maha Kuasa kepada manusia atas perilaku  buruknya. Dengan  perkembangan data epidemiologi HIV AIDS yang ada sekarang  justru menunjukkan adanya pergeseran  pola penderitanya, dimana istilah tersebut pada akhirnya  memudar untuk menyebut sudah terbantahkan.
Bila awalnya, data penderita  HIV AIDS hanya menyerang kaum penyuka sesama jenis  (homoseks).    Data terakhir  menyatakan bahwa jumlah  ibu rumah tangga biasa  yang  punya bersuami laki-laki (heteroseksual)    justru menempati prosentase tertinggi dari  berbagai macam profesi lain, bahkan wanita pekerja seksual (WPS) sekalipun.  Kasus HIV AIDS pada anak-anak yang tidak berdosa sebagai konsekuensi HIV-AIDS pada ibunya yang tidak terkelola dengan baik, serta pada pasien penerima transfusi  darah misalnya, menunjukkan bahwa sekarang HIV- AIDS menjadi penyakit yang bisa menyerang siapa saja.  Termasuk dalam hal ini adalah para petugas kesehatan yang setiap hari “bermain-main” dengan darah pasien.
Jadi menurut hemat penulis, ada dua klasifikasi  besar “jalur” untuk seseorang menjadi ODHA. Yang pertama adalah  ODHA hasil dari perilaku tidak sehatnya, seperti perilaku seks bebas dan mengkonsumsi narkoba suntik. Yang kedua  adalah yang karena “kecelakaan”  untuk menyebut  sebagai  takdir,  sesuatu yang sifatnya given  yang tidak bisa dipilih. Andaikan ada kesempatan memilih maka saya yakin ibu rumah tangga dan anak  yang tidak berdosa,   tidak akan mau menerima penyakit yang tanggungan psikologisnya bisa jadi lebih berat dari penyakitnya itu sendiri. Begitu juga pada penerima transfusi darah yang pendonornya masih dalam masa window periode - dimana pada saat itu walaupun virus sudah masuk dalam tubuh - tapi belum dapat terdeteksi  dengan pemeriksaan laboratorium yang ada.

Perilaku Sehat  Bagi ODHA
Sebelum masuk dalam pembahasan perilaku sehat maka perlu diketahui bahwa HIV ditularkan melalui media  cairan kelamin pria (sperma) dan wanita (cairan vagina), darah serta air susu ibu.  Dari sini terlihat bahwa HIV AIDS tidak menular lewat pernafasan seperti flu pada umumnya atau gigitan nyamuk seperti pada penyakit demam berdarah dengue (DBD) atau malaria.  Sehingga sangat tidak berdasar bila ODHA dikarantina dan kita tidak mau berhubungan sosial dengan para ODHA yang ada.  Bersalaman, berpelukan, makan bersama, berenang, memakai toilet secara bersama  bahkan hidup serumah dengan HIV AIDS terbukti aman saja.
Memang akan menjadi masalah yang cukup besar pada pasangan suami istri dimana salah satunya adalah positif (diskordan).  Tentu saja keinginannya adalah yang negatif dipertahankan untuk tetap negatif, artinya baik suami/istri yang positif diharapkan tidak menulari yang masih sehat.  Pada saat pasangan yang terkena sudah membuka statusnya pada istri / suaminya maka urusan akan menjadi lebih mudah.   Tetap ada upaya dan jalan bagi pasangan diskordan yang ingin tetap “aman” saat berhubungan seksual. Bahkan upaya yang sama  juga disarankan untuk dipakai juga pada pasangan yang dua-duanya sudah dianggap positif sebagai upaya untuk menghindari pertukaran jenis virus antara keduanya.
Pasangan sah dimana salah satu ODHA atau bahkan dua-duanya ODHA juga terkadang  menginginkan mempunyai keturunan. Ya siapa yang bisa mengingkari bahwa ada hak dari pasangan suami istri sah untuk mendapatkan keturunan sebagai penerusnya kelak, sekalipun salah satu pasangan positif HIV atau bahkan dua-duanya. Khusus pada pasangan diskordan bila yang terkena adalah suami maka untuk mendapatkan keturunan maka diupayakan pada saat pembuahan terjadi diharapkan kondisi dari Si suami  dalam kondisi terbaik (ada parameter pengukurannya yaitu  dengan menghitung jumlah sel darah putih yang berfungsi sebagai tentara tubuh) dan jumlah virus dalam tubuhnya (viral load) dalam kondisi yang sangat kecil. Tentu saja ini adalah sebagai upaya supaya pasangannya tetap diusahakan tidak tertular. Namun andaikan Si ibu sudah juga menjadi ODHA maka ada beberapa program yang harus diikuti supaya bayi yang dikandungnya mempunyai kemungkinan untuk tertularnya virus ini  menjadi lebih kecil.
Program Pencegahan Ibu ke Anak (PPIA) atau dulu dikenal sebagai Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT) sudah bisa membuktikan  bahwa walaupun si janin menerima makanan lewat plasenta dari ibunya dalam proses kehamilannya,   tetapi si bayi yang berkembang menjadi anak ada kemungkinan  tetap dinyatakan negatif pada saatnya diperiksa nanti, saat ibunya patuh mengikuti saran dari program. Pada saat sekarang ini ibu hamil dengan HIV positif di tubuhnya sudah harus meminum ARV (obat anti retro viral) yang walaupun tidak membunuh si virus  tetapi  bisa menekan perkembangan laju virus. Selain itu   persalinan juga tetap harus dilakukan dengan persiapan matang dan biasanya karena ada juga penularan lewat ASI maka anak biasanya mendapat pengganti dari ASI. Keberhasilan PPIA biasanya tergantung dari semua rangkaian saat kehamilan (antenatal), saat persalinan dan saat laktasi.  
Itulah berbagai perilaku yang diharapkan bagi orang yang sudah “kadung” terkena HIV AIDS baik karena perilaku buruknya  di masa lalu maupun karena karena “kecelakaan” tadi. Tapi yang jelas para ODHA memang juga harus paham bagaimana supaya orang yang dalam lingkaran terdekatnya ( keluarga yang dicintainya) tidak terkena penyakit ini.
Dalam beberapa kasus maka ODHA yang sudah sadar akan cara penularan biasanya akan berterus terang kepada yang merawat kesehatan kepadanya.  Bisa dipahami bahwa untuk melakukan hal ini biasanya akan sangat berat, karena diperlukan kebesaran jiwa ODHA untuk melakukan hal ini. Pada akhirnya tentu saja hal ini dikembalikan pada masing-masing ODHA khususnya dalam hal kesiapan mentalnya.  
Dengan dukungan  dan dorongan dari keluarga tercinta dan lingkungan besarnya maka perilaku buruk sebagai salah satu jalur menuju ODHA hendaknya menjadi masa lalu dan sekarang saatnya untuk  switch (mengubahnya) menjadi lebih baik. Walaupun pahit memang itulah satu-satunya pilihan yang harus ditempuh. Berdamai dengan masa lalu untuk menatap masa depan yang lebih baik. 
Jauhi Perilaku yang Berisiko
Kementrian kesehatan menyatakan bahwa dua hal yang menjadi penyumbang angka HIV AIDS terbanyak adalah melalui transmisi seksual maupun pemakaian narkoba suntik.  Dari keseluruhan ODHA  di tahun 2012 maka hampir separohnya ( 47%) adalah dari kalangan pemakai narkoba suntik ( penasun).
Khususnya dalam hal transmisi seksual walaupun dinyatakan hubungan seksual cukup kecil kemungkinannnya untuk menularkan HIV  tetapi karena  frekuensi dilakukannya tinggi  dan dilakukan oleh secara lebih luas maka kontribusinya dalam penularan ini juga cukup signifikan.
Dalam sebuah pemetaan yang dilakukan KPA Nasional juga ditemukan fakta bahwa pada tahun 2012 dinyatakan bahwa ada sekitar 6,9 juta pria pembeli seks. Ya sekali lagi pria. Bahwa si pria inilah  yang dengan berbagai macam latar belakang pekerjaan akan membeli seks di luaran dengan wanita pekeja seksual (WPS) maupun “ayam kampus” atau “ayam sekolah” dan membawanya pulang ke rumah sehingga pada akhirnya akan menularkan pada istri dan ada risiko bagi anak yang dikandung oleh istrinya. Pria seperti inilah yang kita kenal sebagai LBT (lelaki Berisiko tinggi). Biasanya LBT mempunyai sebuah kesamaan seperti mempunyai uang,  mobile dalam pekerjaannya maupun mempunyai sikap ingin diakui macho di lingkungannya (4M= man with money, mobile, macho behavior).
Prostitusi online  seperti yang banyak diliput  oleh media massa pada waktu ini  tentu saja sangat berisiko  tertular HIV AIDS. Bagaimanapun cantiknya dan sempurnanya tampilan luar si penjaja seks  maka risiko untuk terkena Infeksi menular seksual (IMS)  dan otomatis sebagai pintu masuknya virus HIV ke dalam tubuh  menjadi lebih terbuka. Begitu pula prostitusi “off line” atau prostitusi konvensional, free sex (hubungan seks secara bebas dan berganti pasangan) juga  membuka peluang ke arah HIV AIDS.  Tentu saja kembali bahwa yang menjadi perantara adalah “ si pria tadi”.
Bagi para pria seperti ini,  memang diharapkan sejak awal bahwa kuncinya adalah Be faithful (setia dengan pasangannya). Abstinence atau tidak berhubungan seks sama sekali juga sangat disarankan bagi para pria yang jauh dari keluarga. Ya ternyata pernyataan anggota KPAN beberapa waktu yang lalu pada sebuah acara di gedung serbaguna walikota Tarakan  bahwa perintah menjauhi zina dan “berpuasa” dari seks sangat pas diterapkan dalam pencegahan HIV AIDS. Memang bisa jadi agak  rumit pendekatan bagi para kalangan tertentu  yang sudah tidak mempan lagi diberi pemahaman tentang  sebuah tata nilai.
Data tentang seks bebas  di kalangan pelajar khususnya di Kaltim saat itu juga tidak kalah mengerikannya. Betapa data dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia ) tahun 2010 yang mendapatkan data bahwa pelajar SMP dan SMA kita (termasuk kota Tarakan tentunya) mencapai 20% dan naik menjadi 80% di tahun 2012.   Jangan hanya berpikir mereka bahwa mereka hanya dengan berhubungan sesama temannya bahkan sekarang ditengarai bahwa banyak juga mereka yang akan main dengan “si Om-Om LBT”  dengan berbagai motif seperti ekonomi maupun  pola pikir hedonism dan pragmatism yang sudah sangat keblinger.
Maka tak heran bila usia penderita HIV AIDS  juga ditemukan makin muda umurnya-  tentu saja diluar dari anak yang tertular dari ibunya. Bila menilik bahwa waktu yang dibutuhkan mulai masuknya HIV ke dalam tubuh sampai menjadi AIDS cukup lama 3-10 tahun, maka bila sudah ada yang ditemukan AIDS pada usia muda / produktif maka dapat kita bayangkan berapa saat HIV baru pertama kali masuk ke dalam tubuhnya.
Di sisi lain para pemakai narkoba suntik yang cenderung bergantian memakai jarum suntik akan mempunyai risiko yang berlipat-lipat pula untuk terkena yang diperingati setiap 1 Desember  dalam setiap tahunnya ini.  Bukan berarti bahwa pemakai narkoba non suntik lebih aman, karena seringkali  kalangan ini kehilangan orientasi normalnya saat dalam pengaruh obat/ sabu misalnya dan dalam kondisi demikian maka  biasanya ada kecenderungan besar untuk bermain seks bebas juga.        
Karena penularan HIV AIDS bisa juga alat medis seperti alat kedokteran gigi, peralatan bedah, maupun alat tusuk dan iris lainnya maka  diharapkan bagi para petugas kesehatan tetap melaksanakan kewaspadaan umum dalam melaksanakan praktik medis, kebidanan dan keperawatan. Dalam hal ini semua pasien diperlakukan sama dengan “praduga bersalah” bahwa semua adalah dianggap  ODHA. Artinya bahwa dalam menghadapi pasien penerapan standar universal precaution menjadi sesuatu yang wajib dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.  Tentu saja  maka diharapkan bahwa petugas kesehatan tetap melayani dengan baik sesuai dengan standar-standar yang ada untuk semua kalangan.
Begitu tingginya paparan darah dan berbagai specimen lainnya pada orang  yang berkecipung dalam bidang pelayanan medis maka para pengelola limbah medis (termasuk didalamnya adalah para petugas cleaning service) sekalipun untuk tetap dapat memakai alat pelindung diri (APD) sesuai yang dipersyaratkan.
Penutup
Maka menurut hemat penulis  bagi semua pihak yang dalam tesnya sampai sekarang dinyatakan negatif  maka diharapkan tetap  menjauhi dari perilaku berisiko. Bagi yang sudah terlanjur menjadi ODHA maka masih banyak cara dan jalan untuk tetap menjadi bahagia. Mengubah gaya hidup menjadi lebih positif, cegah jangan sampai keluarga terdekat ikut menjadi positif HIV AIDS maupun mengikuti alur program termasuk dalam hal pengobatan.
Bagi para remaja dan pemuda tetaplah dalam sebuah value yang murni. Sesuai dengan napas dari ABAT (Aku Bangga Aku Tahu) : Jiwa yang tegar menolak menggunakan narkoba dan Hati yang murni menolak perilaku seks bebas. Senada juga dengan motto dari  Gen Re (generasi Berencana) –program dari BKKBN- yaitu untuk menjauhi free sex, narkoba dan HIV AIDS.   

No comments: