HIV-AIDS dan Perilaku Kita
Oleh: Tri Astuti Sugiyatmi
1 Desember ini kita peringati
sebagai hari AIDS sedunia. Memperingati
pada sebuah fenomena penyakit yang sejak
kemunculannya sampai sekarang masih mengharu biru umat manusia di dunia. AIDS sebagai sebuah kumpulan gejala akibat HIV
(virus yang memperlemah daya tahan tubuh manusia seringkali dihubungkan hanya dengan perilaku tidak sehat dan cenderung menyimpang dari
umat manusia. Akibatnya memang tidak bisa dielakan berbagai cap atau stempel buruk yang hampir
selalu menempel pada ODHA (orang dengan
HIV AIDS). BIasanya pemberian
stigma tadi hampir pasti akan
diikuti dengan pembedaan perlakuan (diskriminasi) yang cenderung tidak
menguntungkan dan bahkan merugikan bagi ODHA
maupun keluarganya.
Di beberapa daerah tertentu
diagnosa HIV - AIDS dianggap sebagai aib bagi si pelaku dan keluarganya.
Sehingga perlakuan buruk terhadap penderita dan keluarganya seringkali terjadi.
ODHA Dipandang sebelah mata, dihina, dikucilkan, dibuang dan diusir dari masyarakat terdekatnya. Pada beberapa kasus,
keluarganya sendiri justru yang memperlakukan hal yang demikian. AIDS pada
stadium akhir dengan tampilan fisik
yang parah dengan kemunculan
infeksi oportunistiknya yang bermacam-macam seperti batuk berkepanjangan, diare tidak
berkesudahan serta kehilangan berat badan yang sangat besar menjadikan fisiknya ibaratnya tinggal tulang
dan kulit – dianggap sebagai kondisi
yang sangat mengerikan. Bagi
sebagian kalangan penyakit ini sering disebut sebagai penyakit “kutukan”-
sebuah istilah yang seolah merujuk
pada “hukuman” yang diberikan dari Yang Maha Kuasa kepada manusia atas
perilaku buruknya. Dengan perkembangan data epidemiologi HIV AIDS yang ada
sekarang justru menunjukkan adanya pergeseran pola penderitanya, dimana istilah tersebut pada
akhirnya memudar untuk menyebut sudah terbantahkan.
Bila awalnya, data penderita HIV AIDS hanya menyerang kaum penyuka sesama
jenis (homoseks). Data terakhir menyatakan bahwa jumlah ibu rumah tangga biasa yang
punya bersuami laki-laki (heteroseksual) justru menempati prosentase tertinggi dari berbagai macam profesi lain, bahkan wanita
pekerja seksual (WPS) sekalipun. Kasus
HIV AIDS pada anak-anak yang tidak berdosa sebagai konsekuensi HIV-AIDS pada
ibunya yang tidak terkelola dengan baik, serta pada pasien penerima
transfusi darah misalnya, menunjukkan
bahwa sekarang HIV- AIDS menjadi penyakit yang bisa menyerang siapa saja. Termasuk dalam hal ini adalah para petugas
kesehatan yang setiap hari “bermain-main” dengan darah pasien.
Jadi menurut hemat penulis, ada
dua klasifikasi besar “jalur” untuk
seseorang menjadi ODHA. Yang pertama adalah ODHA hasil dari perilaku tidak sehatnya,
seperti perilaku seks bebas dan mengkonsumsi narkoba suntik. Yang kedua adalah yang karena “kecelakaan” untuk menyebut sebagai takdir, sesuatu yang sifatnya given yang tidak bisa
dipilih. Andaikan ada kesempatan memilih maka saya yakin ibu rumah tangga dan
anak yang tidak berdosa, tidak akan mau menerima penyakit yang
tanggungan psikologisnya bisa jadi lebih berat dari penyakitnya itu sendiri.
Begitu juga pada penerima transfusi darah yang pendonornya masih dalam masa window periode - dimana pada saat itu
walaupun virus sudah masuk dalam tubuh - tapi belum dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium yang ada.
Perilaku Sehat Bagi ODHA
Sebelum masuk dalam pembahasan
perilaku sehat maka perlu diketahui bahwa HIV ditularkan melalui media cairan kelamin pria (sperma) dan wanita
(cairan vagina), darah serta air susu ibu.
Dari sini terlihat bahwa HIV AIDS tidak menular lewat pernafasan seperti
flu pada umumnya atau gigitan nyamuk seperti pada penyakit demam berdarah
dengue (DBD) atau malaria. Sehingga sangat
tidak berdasar bila ODHA dikarantina dan kita tidak mau berhubungan sosial
dengan para ODHA yang ada. Bersalaman,
berpelukan, makan bersama, berenang, memakai toilet secara bersama bahkan hidup serumah dengan HIV AIDS terbukti
aman saja.
Memang akan menjadi masalah yang
cukup besar pada pasangan suami istri dimana salah satunya adalah positif
(diskordan). Tentu saja keinginannya
adalah yang negatif dipertahankan untuk tetap negatif, artinya baik suami/istri
yang positif diharapkan tidak menulari yang masih sehat. Pada saat pasangan yang terkena sudah membuka
statusnya pada istri / suaminya maka urusan akan menjadi lebih mudah. Tetap ada upaya dan jalan bagi pasangan diskordan yang ingin tetap “aman” saat
berhubungan seksual. Bahkan upaya yang sama
juga disarankan untuk dipakai juga pada pasangan yang dua-duanya sudah
dianggap positif sebagai upaya untuk menghindari pertukaran jenis virus antara
keduanya.
Pasangan sah dimana salah satu
ODHA atau bahkan dua-duanya ODHA juga terkadang menginginkan mempunyai keturunan. Ya siapa
yang bisa mengingkari bahwa ada hak dari pasangan suami istri sah untuk
mendapatkan keturunan sebagai penerusnya kelak, sekalipun salah satu pasangan
positif HIV atau bahkan dua-duanya. Khusus pada pasangan diskordan bila yang
terkena adalah suami maka untuk mendapatkan keturunan maka diupayakan pada saat
pembuahan terjadi diharapkan kondisi dari Si suami dalam kondisi terbaik (ada parameter
pengukurannya yaitu dengan menghitung
jumlah sel darah putih yang berfungsi sebagai tentara tubuh) dan jumlah virus
dalam tubuhnya (viral load) dalam
kondisi yang sangat kecil. Tentu saja ini adalah sebagai upaya supaya
pasangannya tetap diusahakan tidak tertular. Namun andaikan Si ibu sudah juga
menjadi ODHA maka ada beberapa program yang harus diikuti supaya bayi yang
dikandungnya mempunyai kemungkinan untuk tertularnya virus ini menjadi lebih kecil.
Program Pencegahan Ibu ke Anak
(PPIA) atau dulu dikenal sebagai Prevention
Mother To Child Transmission (PMTCT) sudah bisa membuktikan bahwa walaupun si janin menerima makanan lewat
plasenta dari ibunya dalam proses
kehamilannya, tetapi si bayi yang
berkembang menjadi anak ada kemungkinan tetap dinyatakan negatif pada saatnya
diperiksa nanti, saat ibunya patuh mengikuti saran dari program. Pada saat
sekarang ini ibu hamil dengan HIV positif di tubuhnya sudah harus meminum ARV (obat
anti retro viral) yang walaupun tidak membunuh si virus tetapi bisa menekan perkembangan laju virus. Selain
itu persalinan juga tetap harus
dilakukan dengan persiapan matang dan biasanya karena ada juga penularan lewat
ASI maka anak biasanya mendapat pengganti dari ASI. Keberhasilan PPIA biasanya
tergantung dari semua rangkaian saat kehamilan (antenatal), saat persalinan dan
saat laktasi.
Itulah berbagai perilaku yang
diharapkan bagi orang yang sudah “kadung” terkena HIV AIDS baik karena perilaku
buruknya di masa lalu maupun karena
karena “kecelakaan” tadi. Tapi yang jelas para ODHA memang juga harus paham
bagaimana supaya orang yang dalam lingkaran terdekatnya ( keluarga yang
dicintainya) tidak terkena penyakit ini.
Dalam beberapa kasus maka ODHA
yang sudah sadar akan cara penularan biasanya akan berterus terang kepada yang
merawat kesehatan kepadanya. Bisa
dipahami bahwa untuk melakukan hal ini biasanya akan sangat berat, karena
diperlukan kebesaran jiwa ODHA untuk melakukan hal ini. Pada akhirnya tentu
saja hal ini dikembalikan pada masing-masing ODHA khususnya dalam hal kesiapan
mentalnya.
Dengan dukungan dan dorongan dari keluarga tercinta dan
lingkungan besarnya maka perilaku buruk sebagai salah satu jalur menuju ODHA hendaknya
menjadi masa lalu dan sekarang saatnya untuk switch (mengubahnya) menjadi
lebih baik. Walaupun pahit memang itulah satu-satunya pilihan yang harus
ditempuh. Berdamai dengan masa lalu untuk menatap masa depan yang lebih baik.
Jauhi Perilaku yang Berisiko
Kementrian kesehatan menyatakan
bahwa dua hal yang menjadi penyumbang angka HIV AIDS terbanyak adalah melalui
transmisi seksual maupun pemakaian narkoba suntik. Dari keseluruhan ODHA di tahun 2012 maka hampir separohnya ( 47%)
adalah dari kalangan pemakai narkoba suntik ( penasun).
Khususnya dalam hal transmisi
seksual walaupun dinyatakan hubungan seksual cukup kecil kemungkinannnya untuk
menularkan HIV tetapi karena frekuensi dilakukannya tinggi dan dilakukan oleh secara lebih luas maka
kontribusinya dalam penularan ini juga cukup signifikan.
Dalam sebuah pemetaan yang
dilakukan KPA Nasional juga ditemukan fakta bahwa pada tahun 2012 dinyatakan
bahwa ada sekitar 6,9 juta pria pembeli seks. Ya sekali lagi pria. Bahwa si
pria inilah yang dengan berbagai macam
latar belakang pekerjaan akan membeli seks di luaran dengan wanita pekeja
seksual (WPS) maupun “ayam kampus” atau “ayam sekolah” dan membawanya pulang ke
rumah sehingga pada akhirnya akan menularkan pada istri dan ada risiko bagi
anak yang dikandung oleh istrinya. Pria seperti inilah yang kita kenal sebagai
LBT (lelaki Berisiko tinggi). Biasanya LBT mempunyai sebuah kesamaan seperti
mempunyai uang, mobile dalam
pekerjaannya maupun mempunyai sikap ingin diakui macho di lingkungannya (4M= man
with money, mobile, macho behavior).
Prostitusi online seperti yang banyak diliput oleh media massa pada waktu ini tentu saja sangat berisiko tertular HIV AIDS. Bagaimanapun cantiknya dan
sempurnanya tampilan luar si penjaja seks
maka risiko untuk terkena Infeksi menular seksual (IMS) dan otomatis sebagai pintu masuknya virus HIV
ke dalam tubuh menjadi lebih terbuka.
Begitu pula prostitusi “off line” atau
prostitusi konvensional, free sex
(hubungan seks secara bebas dan berganti pasangan) juga membuka peluang ke arah HIV AIDS. Tentu saja kembali bahwa yang menjadi
perantara adalah “ si pria tadi”.
Bagi para pria seperti ini, memang diharapkan sejak awal bahwa kuncinya
adalah Be faithful (setia dengan
pasangannya). Abstinence atau tidak
berhubungan seks sama sekali juga sangat disarankan bagi para pria yang jauh
dari keluarga. Ya ternyata pernyataan anggota KPAN beberapa waktu yang lalu
pada sebuah acara di gedung serbaguna walikota Tarakan bahwa perintah menjauhi zina dan “berpuasa”
dari seks sangat pas diterapkan dalam pencegahan HIV AIDS. Memang bisa jadi
agak rumit pendekatan bagi para kalangan
tertentu yang sudah tidak mempan lagi
diberi pemahaman tentang sebuah tata
nilai.
Data tentang seks bebas di kalangan pelajar khususnya di Kaltim saat
itu juga tidak kalah mengerikannya. Betapa data dari PKBI (Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia ) tahun 2010 yang mendapatkan data bahwa pelajar SMP dan
SMA kita (termasuk kota Tarakan tentunya) mencapai 20% dan naik menjadi 80% di
tahun 2012. Jangan hanya berpikir
mereka bahwa mereka hanya dengan berhubungan sesama temannya bahkan sekarang
ditengarai bahwa banyak juga mereka yang akan main dengan “si Om-Om LBT” dengan berbagai motif seperti ekonomi
maupun pola pikir hedonism dan pragmatism
yang sudah sangat keblinger.
Maka tak heran bila usia
penderita HIV AIDS juga ditemukan makin
muda umurnya- tentu saja diluar dari
anak yang tertular dari ibunya. Bila menilik bahwa waktu yang dibutuhkan mulai
masuknya HIV ke dalam tubuh sampai menjadi AIDS cukup lama 3-10 tahun, maka
bila sudah ada yang ditemukan AIDS pada usia muda / produktif maka dapat kita
bayangkan berapa saat HIV baru pertama kali masuk ke dalam tubuhnya.
Di sisi lain para pemakai narkoba
suntik yang cenderung bergantian memakai jarum suntik akan mempunyai risiko
yang berlipat-lipat pula untuk terkena yang diperingati setiap 1 Desember dalam setiap tahunnya ini. Bukan berarti bahwa pemakai narkoba non
suntik lebih aman, karena seringkali
kalangan ini kehilangan orientasi normalnya saat dalam pengaruh obat/
sabu misalnya dan dalam kondisi demikian maka
biasanya ada kecenderungan besar untuk bermain seks bebas juga.
Karena penularan HIV AIDS bisa
juga alat medis seperti alat kedokteran gigi, peralatan bedah, maupun alat
tusuk dan iris lainnya maka diharapkan bagi
para petugas kesehatan tetap melaksanakan kewaspadaan umum dalam melaksanakan
praktik medis, kebidanan dan keperawatan. Dalam hal ini semua pasien
diperlakukan sama dengan “praduga bersalah” bahwa semua adalah dianggap ODHA. Artinya bahwa dalam menghadapi pasien
penerapan standar universal precaution menjadi
sesuatu yang wajib dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tentu saja
maka diharapkan bahwa petugas kesehatan tetap melayani dengan baik
sesuai dengan standar-standar yang ada untuk semua kalangan.
Begitu tingginya paparan darah
dan berbagai specimen lainnya pada orang
yang berkecipung dalam bidang pelayanan medis maka para pengelola limbah
medis (termasuk didalamnya adalah para petugas cleaning service) sekalipun untuk tetap dapat memakai alat
pelindung diri (APD) sesuai yang dipersyaratkan.
Penutup
Maka menurut hemat penulis bagi semua pihak yang dalam tesnya sampai
sekarang dinyatakan negatif maka
diharapkan tetap menjauhi dari perilaku
berisiko. Bagi yang sudah terlanjur menjadi ODHA maka masih banyak cara dan
jalan untuk tetap menjadi bahagia. Mengubah gaya hidup menjadi lebih positif,
cegah jangan sampai keluarga terdekat ikut menjadi positif HIV AIDS maupun
mengikuti alur program termasuk dalam hal pengobatan.
Bagi para remaja dan pemuda tetaplah
dalam sebuah value yang murni. Sesuai dengan napas dari ABAT (Aku Bangga Aku
Tahu) : Jiwa yang tegar menolak menggunakan narkoba dan Hati yang murni menolak
perilaku seks bebas. Senada juga dengan motto dari Gen Re (generasi Berencana) –program dari
BKKBN- yaitu untuk menjauhi free sex, narkoba dan HIV AIDS.
No comments:
Post a Comment