Friday, January 22, 2016

The real terrorist is…

The real terrorist is…
Peristiwa Kamis kemarin di Sarinah-Thamrin Jakarta mengagetkan kita semua. Ledakan bom kembali terjadi. Saya yang sedang berada di Bogor- yang relative dekat dengan ibu kota, tidak seperti biasanya yang lebih dekat ke perbatasan- ikut larut dalam isu itu. Apalagi berita, foto, ulasan sampai opini bertebaran di social media yang sangat mudah diakses dari wifi hotel. Tayangan televisi, Koran dan perbincangan di berbagai kesempatan pun masih terkait isu itu.
Ya setelah beberapa lama keadaan aman (setelah berbagai peristiwa bom sebelumnya), maka ledakan kali ini seolah menjadi rangkaian peristiwa serupa di luar sana. Ada bom London, Paris dll. Yang jelas siapapun korbannya dan dimanapun kejadiannya maka peristiwa terorisme menjadi sebuah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Saya rasa semua sepakat tentang hal itu. Namun yang seringkali menjadi perdebatan apakah agama tertentu mengajarkan terorisme ? 
Dalam banyak media mainstream itu, tuduhan itu seringkali disematkan pada Islam dan muslim sebagai penganutnya sebagai teroris. Seringkali mereka menisbahkan teroris dengan symbol-simbol yang hanya dianggap dekat dengan muslim. Berjilbab, bercadar, celana cingkrang, berjenggot dst…dst. Sesuatu yang sangat debatable. Pelabelan serampangan yang membuat situasi menjadi gampang saling curiga, menuduh, menghakimi dan pada akhirnya membuat situasi tidak equal. 
Banyak muslim yang berpenampilan demikian menjadi tertuduh, walaupun di banyak kasus juga terbantahkan. Mengenai agama yang dianut sebenarnya bisa jadi berbeda. Tapi penyematan cap dan stempel teroris seolah – olah hanya khusus bagi para muslim. Untuk yang lain hanya cukup istilah fundamentalis atau mungkin loyalis atau apalah yang secara rasa bahasa sangat jauh berbeda. Begitulah situasi yang ada secara opini public dalam berbagai mayoritas media yang ada.
Kebetulan dalam bulan- bulan ini ada pemutaran film “Bulan Terbelah di Langit Amerika (BTLA)” yang menuturkan tentang dituduhnya salah seorang korban serangan September 2001 di Amerika yang kebetulan muslim sebagai teroris. Ini karena dia dianggap cukup misterius saat-saat menjelang peristiwa itu (dapat paket dari Afghanistan yang dianggap sebagai paket suci dari Allah). Pada hari naas itu dia juga menelpon keluarganya dengan kata-kata yang dianggap masih misteri maka penyematan julukan teroris tidak dapat dihindarkan. Bahkan keluarganya (baca istrinya) juga setengah mempercayainya. Apalagi namanya tidak tercantum sebagai salah satu korban dari tragedi terbesar umat manusia atas nama kekerasan itu. Ya akhirnya waktu jualah yang berbicara dan mengabarkan kebenaran, saat ada keterlibatan Hanum, seorang Jurnalis dan Rangga suami Hanum sekaligus mahasiswa doctoral di Austria, sebagai tokoh sentral dalam film itu. Dari investigasinya mereka akhirnya berhasil mengungkat bahwaa Abe atau Husein itu justru seorang pahlawan, khususnya bagi seorang Philippus Brown. Brown sendiri sebagai tokoh yang sangat terkenal karena kedermawanannya saat itu dan yang banyak bergerak di bidang kemanusiaan. Dalam sebuah kesempatan Brown akhirnya mengungkapkan apa dan bagaimana si Abe yang muslim itu justru menolongnya dalam peristiwa runtuhnya menara WTC itu. Diceritakan bahwa sekarang power of giving Philippus Brown yang awalnya membuat sejumlah tanda tanya besar di publik apa yang menyebabkan dia mengalami titik balik dari sikap sebelumnya yang sangat berlawanan. 
Itulah data yang ditemukan Hanum yang memang ditugasi pimpinannya di Surat kabarnya di Wina, untuk mengatakan bahwa : Would the World be Better Without Islam ?
Dan pada akhirnya JHanum pun mendapatkan kenyataan bahwa Brown pun yang miliarder dunia justru sangat kagum dengan Islam dan justru menyatakan hal yang sebaliknya. Ya philipus Brown yang non muslim pun mengakui bahwa dengan Islam dunia akan damai. Tidak benar bahwa akan lebih baik dunia tanpa Islam.
Senada dengan hal tersebut maka dalam novel ayat-ayat cinta 2 karya Habiburrahman el Shiraezi juga menyatakan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin. Fahri – seorang akademisi yang kaya raya di sebuah universitas di Inggris sekaligus pengusaha - diceritakan justru banyak menolong tetangga-tetangganya yang nota bene adalah tidak seagama dengannya. Dalam menolong pun tidak tanggung-tanggung. Hampir seluruh tetangganya yang mendapatkan sentuhan tangan dan hatinya berubah menjadi lebih baik. Bukan hanya dari sisi harta yang disedekahkan dalam jumlah yang sangat wow dan luar biasa tetapi juga ternyata dari sudut pemikiran yang juga amazing. 
Fahri sebagai seorang yang dianggap representasi muslim (lulusan dari Al Azhar Kairo dan Eropa) ditantang berdebat dengan 2 orang professor lain. Satu professor mengatakan dunia dianggap akan damai sejahtera tanpa agama. Ya paham inilah yang sekarang mulai menggejala. Bahwa agama dianggap sumber perpecahan, kekacauan, peperangan dll. Fahri menjawab bahwa sejatinya tanpa agama pun manusia masih juga bunuh membunuh. Berapa banyak korban manusia yang berjatuhan sebagai ambisi dari pihak/golongan/partai yang menganggap agama adalah candu. Komunis, katakan sudah jelas banyak menelan korban di berbagai tempat. Bahkan di negeri tercinta pada peristiwa Madiun 1948 serta tahun 1965. Artinya terbantahkan bahwa dunia akan damai dengan ajaran-ajaran yang mengabaikan agama. Jadi sangatlah tidak masuk akal kalau agama menjadi sesuatu yang harus dijauhi. 
Sementara satu professor yang lain beranggapan bahwa semua agama itu sama. Menurut Fahri hal ini juga tdidak masuk akal. Karena kenyataannya adalah berbeda. Bahwa ada perbedaan diantara agama itu adalah sesuatu yang wajar. Yang penting bahwa urusan akidah dan ibadah tidak bercampur-campur. Selebihnya muamalah antara sesama pemeluk agama adalah sangat dianjurkan. Bahkan dalam bukunya disampaikan bahwa Fahri _seorang yang hafal Alquran itu- justru menolong nenek yang akan pergi ke sinagog, sesuai agama yang dianutnya. Dan pada orang yang ditolong sekalipun seperti pada Keira, Jason Fahri sangat menghargai apa agama yang dianutnya.
Memang itu semua adalah berasal dari sebuah novel sebagai sumbernya. Namun, saya sebagai pembaca meyakini bahwa hal itu sangat menginspirasi dan hal itu memang bukan hal yang mustahil.
Seperti Sabtu pagi hari terakhir libur panjang tahun baru 2016 ini. Saya sedang menunggu di bandara Soetta dengan anak saya. Setelah check in maka naik ke lantai 2. Karena belum bisa masuk ruang tunggu sesuai dengan gate pesawat yang akan ditumpangi maka mencari tempat duduk yang lebih nyaman untuk menunggu dalam beberapa waktu. Pilihan jatuh dekat charger yang sedang ada seorang asing yang sedang asyik bekerja. Setelah permisi, aku duduk dekat nya. Saat sedang ngobrol dengan anak ternyata ada buku jatuh dari tas yang sedang ditata dari Bule itu. Oh ternyata Alquran. Spontan saya mau mengambilkan. Iseng-iseng bertanya : Are You Moslem ? ternyata jawabannya sungguh membuat aku jadi malu. “Belum, tapi saya akan mencoba. Ini sungguh berat…..”. 
Akhirnya saya menanyakan untuk memuaskan rasa penasaran : kenapa kamu tertarik sama Islam ? peristiwa apa dan bagaimana yang membuat kamu tertarik dengan Islam. Apakah karena isu-isu teroris di luar sana ? atau karena peristiwa WTC September 2001? Atau karena yang lain? 
Dia bilang bahwa memang keluarganya tidak happy dia belajar agama baru. Tapi dia merasa baik-baik saja untuk terus belajar. Dengan isu teroris yang saya singgung, dia bilang tidak khawatir dengan hal itu. Karena itu adalah stereotip yang diberikan oleh pihak-pihak lain yang sebenarnya hanya cocok pada segelintir muslim yang sempit pemikirannya. Atau bahkan non muslim yang melakukan perbuatan kekerasan.
“Saya justru khawatir dengan calon kandidat presiden Negara besar yang melarang muslim masuk ke negaranya. Calon presiden yang apakah kamu tahu ? siapakah dia?” Ya…ya saya bisa menangkap maksudnya. “Saya khawatir dengan dia….. he is the real terrorist …………. “ Dia menebarkan kebencian… “
Aku ternganga mendengar penuturannya…. Apakah kamu sungguh-sungguh? Dia mengangguk cepat. Ya aku berkali-kali mendengar nama calon presiden Negara adi daya itu berkali-kali disebut-sebut… Insyaallah nggak salah aku menangkap maksudnya…tentu saja ini debatable bagi yang sepaham dengan tokoh yang melarang muslim masuk negaranya itu. Tapi dari sini setidaknya aku makin tahu bahwa di luar sana – walaupun non muslim – juga tidak setuju dengan pendapat mainstream tadi. 
Akhirnya karena jam sudah menunjukkan waktu boarding nya dia maka cepat-cepat dia berbenah. Aku masih termangu. Dia menunjukkan nama dan paspornya berwarna merah itu. Canada.
Maka saat hari ini, aku melewati tempat yang sama saat aku ngobrol tentang Islam dan teroris dengan si Canada sekitar 2 minggu lalu. Ya hari ini 2 hari pasca pengeboman Sarinah Thamrin itu saat isu-isu yang hampir selalu memojokkan Islam sebagai agama masih menjadi raja di media, maka harus aku katakan pada diriku dan dunia bahwa sesungguhnya Islam adalah damai dan cinta. Aku setuju sengan Fahri yang menyatakan Islam yang sangat agung itu masih seringkali tertutupi oleh perilaku pemeluknya. Maka akhirnya aku berkesimpulan bahwa teroris yang sebenarnya adalah sang penebar kebencian dan cenderung memakai kekerasan untuk mencapai tujuannya. Wallahualam….(by. Tri Astuti Sugiyatmi, soeta dan Bpn)

No comments: