Friday, April 15, 2016

Rokok : Tinjauan Beberapa Aspek

     Rokok : Tinjauan Beberapa Aspek
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi   
Dalam kunjungannya ke kota  kita beberapa waktu yang lalu 23/3/2016),  – saat  peresmian bandara Tarakan pada momen membagi  “kartu sakti”- Bapak Presiden kita memberi pesan  bahwa dana – dana bantuan yang diterima oleh warga yang membutuhkan hendaknya tidak  dipakai dan dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Presiden menyatakan   bahwa bantuan tersebut jangan untuk dibelikan rokok atau pulsa dan Beliau menyarankan untuk membelikan hal   yang berguna bagi  gizi anak bayi dan biaya sekolah.
Bagi penulis untuk pulsa memang cukup debatable.  Pulsa  untuk komunikasi seluler bisa jadi  memang hanya untuk fun atau  hura-hura tetapi bisa jadi sebaliknya,  justru  bisa menjadi kebutuhan untuk meningkatkan produktifitas akibat berjalannya komunikasi yang baik dengan keluarga maupun dengan jejaring kerjanya. Sehingga disini penulis hanya menyoroti  khusus pada permasalahan zat yang  sering menyebabkan ketergantungan (adiksi) bagi para pemakaianya yaitu rokok. 
Risiko Penyakit Kronis dan Penyakit Tidak Menular
Sudah menjadi rahasia umum bahwa  merokok menjadi salah satu faktor risiko  dari berbagai penyakit non infeksi kronis atau sering dikenal sebagai penyakit tidak menular (PTM).  Berbagai penyakit kanker, kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung, penyakit gagal ginjal serta stroke menjadi  kondisi yang sering dialami oleh para perokok.
Tetapi dalam kenyataannya  banyak yang berpikir orang miskin kan pasti penerima bantuan iuran  (PBI) dalam skema jaminan kesehatan nasional sehingga  dianggap tidak menjadi soal saat miskin  untuk tetap merokok toh bila sakit sudah tertolong dengan skema jaminan kesehatan yang dimilikinya.
Itu adalah sebuah pemikiran sempit dan menyesatkan.  Bila sampai sekarang bila ada perokok yang menderita penyakit yang digolongkan sebagai  penyakit kronis tetapi masih ditanggung oleh BPJS kesehatan atau Kartu Indonesia Sehat (KIS) nya maka jangan merasa tenang-tenang saja.  Hal yang menyangkut kebijakan (policy)  yang bisa jadi bisa berubah di masa mendatang.  
Dengan ada kesulitan masalah keuangan di tubuh BPJS kesehatan,  maka menurut hemat penulis  regulasi  bagi perokok yang sakit kronis bisa jadi menjadi sebuah pilihan yang paling rasional untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu itu.   Mantan Menkes Nafsiah Mboi  pernah memberikan alternatif  bahwa orang yang pola hidupnya lebih berisiko sebaiknya membayar iuran jaminan kesehatan lebih tinggi daripada yang pola hidupnya sehat.   
Walaupun kebijakan seperti ini belum diterapkan tetapi sebaiknya Para perokok juga sudah harus berpikir bahwa dengan sakit maka kerugiannya bukan hanya sekedar pengeluaran biaya saat di RS saja, -yang selama ini bisa ditanggung BPJS.  Kerugian saat sakit juga menyangkuti  hilangnya pendapatan yang seharusnya didapat  pada saat dia sehat dan bekerja, juga biaya yang hilang pada saat keluarga juga kehilangan waktu untuk  bekerja  karena harus menungguinya di RS atau bahkan biaya yang dikeluarkan  untuk  transportasi dan berbagai keperluan lain oleh  pendampingnya. Berbagai biaya yang dikeluarkan  serta  kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendapatan  (opportunity cost)  sudah semestinya menjadi pemikiran para perokok juga  supaya tidak menjadi penyesalan di kemudian hari saat penyakit kronis menghampirinya.
Penyakit kronis tersebut seringkali  mengharuskan pasien  untuk  mendapatkan tindakan cuci darah, kemoterapi, radioterapi,  operasi, pemasangan ring jantung dan berbagai tindakan medis berbiaya mahal yang bila  tidak ada penjamin biaya maka menjadikan pengidapnya dan keluarganya bisa  menjadi miskin mendadak. Istilah katastrofik sering digunakan untuk menyebut penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan gaya hidup yang baik (pola makan  gizi seimbang,  dapat mengelola emosi untuk tidak stress berlebihan, beraktifitas fisik atau olahraga yang rutin dan cukup serta tidak mengkonsumsi rokok dan atau alkohol).
Tinjauan sisi sosbud dan ekonomi
Dalam kehidupan  sehari-hari,  merokok menjadi kegiatan   yang  bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan bersama siapa saja. Merokok menjadi kegiatan yang sudah dimulai saat pagi buta –saat perokok bangun tidur, saat siang hari maupun malam hari saat lembur. Merokok sering juga dikerjakan bukan hanya saat di luar rumah seperti di kantor, transportasi umum seperti bis dan angkot, tetapi juga di ruang terhormat para anggota dewan,  ruang kantor  ber AC sekalipun ataupun sambil membaca Koran dan menikmati kopi di samping anak dan istri di rumah.  Merokok juga  dilakukan  sambil kongkow membicarakan  hasil skor sepakbola semalam, sambil main kartu, sambil nyetir mobil dan sambil ke toilet  untuk membuang bau.
Banyak sekali alasan dan motivasi orang untuk merokok. Apalagi bagi perokok yang sudah  dalam kategori kecanduan. Maka jika isu kesehatan menjadi tidak penting dan menarik bagi mereka maka hitung-hitungan ekonomi menjadi suatu alternative untuk menghentikan kebiasaannya.  Berapa rokok yang dihabiskan dalam sehari dan berapa uang yang dihabiskan untuk itu bisa dikalkulasi. Jika katakana 10.000 saja pengeluaran merokok per hari. Maka dalam seminggu, sebulan bahkan satu tahun dan lima tahun bisa dikalkulasi berapa uang yang ‘hilang” yang andaikan ada maka mungkin sudah bisa dipakai untuk banyak hal: cicilan rumah, kendaraan bermotor atau bahkan uang muka naik haji.  Dan bila saat ini kita masih berkutat pada benda 9 cm yang cenderung dituhankan (menurut Taufik Ismail) maka kerugian akan menjadi berlipat-lipat. Membayar pajak (baca : cukai rokok)  untuk sebuah investasi sakit pada saatnya kelak!

Karena berbagai alasan di atas maka  penulis sangat setuju dengan pernyataan bapak kepala Negara kita itu. Dan di level kita  jangan kita memakai  istilah “uang rokok”  sebagai uang tips atau upah bagi pekerja atau orang yang  membantu pekerjaan kita.  Karena dengan istilah itu maka uang tips yang sebenarnya bisa menjadi tambahan penghasilan bagi para pekerja non formal akan dengan mudah dibelanjakan menjadi rokok yang akan meracuni dirinya, serta perokok pasif di sekitarnya termasuk anak dan istrinya.  Jadi, ayo  jangan beli  rokok ! seperti ajakan Bapak Presiden kepada kita semua.(dimuat di Radar Tarakan, 14 April 2016)

No comments: