Rokok : Tinjauan Beberapa Aspek
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi
Dalam kunjungannya ke kota kita beberapa waktu yang lalu 23/3/2016), – saat
peresmian bandara Tarakan pada momen membagi “kartu sakti”- Bapak Presiden kita memberi
pesan bahwa dana – dana bantuan yang
diterima oleh warga yang membutuhkan hendaknya tidak dipakai dan dibelanjakan untuk hal-hal yang
tidak bermanfaat. Presiden menyatakan
bahwa bantuan tersebut jangan untuk dibelikan rokok atau pulsa dan
Beliau menyarankan untuk membelikan hal
yang berguna bagi gizi anak bayi
dan biaya sekolah.
Bagi penulis untuk pulsa memang
cukup debatable. Pulsa
untuk komunikasi seluler bisa jadi
memang hanya untuk fun atau hura-hura tetapi bisa jadi sebaliknya, justru
bisa menjadi kebutuhan untuk meningkatkan produktifitas akibat
berjalannya komunikasi yang baik dengan keluarga maupun dengan jejaring
kerjanya. Sehingga disini penulis hanya menyoroti khusus pada permasalahan zat yang sering menyebabkan ketergantungan (adiksi)
bagi para pemakaianya yaitu rokok.
Risiko Penyakit Kronis dan Penyakit Tidak Menular
Sudah menjadi rahasia umum
bahwa merokok menjadi salah satu faktor
risiko dari berbagai penyakit non
infeksi kronis atau sering dikenal sebagai penyakit tidak menular (PTM). Berbagai penyakit kanker, kencing manis,
darah tinggi, penyakit jantung, penyakit gagal ginjal serta stroke menjadi kondisi yang sering dialami oleh para
perokok.
Tetapi dalam kenyataannya banyak yang berpikir orang miskin kan pasti
penerima bantuan iuran (PBI) dalam skema
jaminan kesehatan nasional sehingga
dianggap tidak menjadi soal saat miskin
untuk tetap merokok toh bila sakit sudah tertolong dengan skema jaminan
kesehatan yang dimilikinya.
Itu adalah sebuah pemikiran
sempit dan menyesatkan. Bila sampai
sekarang bila ada perokok yang menderita penyakit yang digolongkan sebagai penyakit kronis tetapi masih ditanggung oleh BPJS
kesehatan atau Kartu Indonesia Sehat (KIS) nya maka jangan merasa tenang-tenang
saja. Hal yang menyangkut kebijakan
(policy) yang bisa jadi bisa berubah di
masa mendatang.
Dengan ada kesulitan masalah
keuangan di tubuh BPJS kesehatan, maka
menurut hemat penulis regulasi bagi perokok yang sakit kronis bisa jadi
menjadi sebuah pilihan yang paling rasional untuk mengurangi pengeluaran yang
tidak perlu itu. Mantan Menkes Nafsiah
Mboi pernah memberikan alternatif bahwa orang yang pola hidupnya lebih berisiko
sebaiknya membayar iuran jaminan kesehatan lebih tinggi daripada yang pola
hidupnya sehat.
Walaupun kebijakan seperti ini
belum diterapkan tetapi sebaiknya Para perokok juga sudah harus berpikir bahwa
dengan sakit maka kerugiannya bukan hanya sekedar pengeluaran biaya saat di RS
saja, -yang selama ini bisa ditanggung BPJS.
Kerugian saat sakit juga menyangkuti
hilangnya pendapatan yang seharusnya didapat pada saat dia sehat dan bekerja, juga biaya
yang hilang pada saat keluarga juga kehilangan waktu untuk bekerja
karena harus menungguinya di RS atau bahkan biaya yang dikeluarkan untuk
transportasi dan berbagai keperluan lain oleh pendampingnya. Berbagai biaya yang
dikeluarkan serta kehilangan kesempatan untuk mendapatkan
pendapatan (opportunity cost) sudah
semestinya menjadi pemikiran para perokok juga
supaya tidak menjadi penyesalan di kemudian hari saat penyakit kronis
menghampirinya.
Penyakit kronis tersebut
seringkali mengharuskan pasien untuk
mendapatkan tindakan cuci darah, kemoterapi, radioterapi, operasi, pemasangan ring jantung dan berbagai
tindakan medis berbiaya mahal yang bila
tidak ada penjamin biaya maka menjadikan pengidapnya dan keluarganya
bisa menjadi miskin mendadak. Istilah katastrofik
sering digunakan untuk menyebut penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan
gaya hidup yang baik (pola makan gizi
seimbang, dapat mengelola emosi untuk
tidak stress berlebihan, beraktifitas fisik atau olahraga yang rutin dan cukup
serta tidak mengkonsumsi rokok dan atau alkohol).
Tinjauan sisi sosbud
dan ekonomi
Dalam kehidupan sehari-hari,
merokok menjadi kegiatan
yang bisa dilakukan dimana saja,
kapan saja dan bersama siapa saja. Merokok menjadi kegiatan yang sudah dimulai
saat pagi buta –saat perokok bangun tidur, saat siang hari maupun malam hari
saat lembur. Merokok sering juga dikerjakan bukan hanya saat di luar rumah
seperti di kantor, transportasi umum seperti bis dan angkot, tetapi juga di
ruang terhormat para anggota dewan,
ruang kantor ber AC sekalipun
ataupun sambil membaca Koran dan menikmati kopi di samping anak dan istri di
rumah. Merokok juga dilakukan
sambil kongkow membicarakan hasil
skor sepakbola semalam, sambil main kartu, sambil nyetir mobil dan sambil ke
toilet untuk membuang bau.
Banyak sekali alasan dan motivasi
orang untuk merokok. Apalagi bagi perokok yang sudah dalam kategori kecanduan. Maka jika isu kesehatan
menjadi tidak penting dan menarik bagi mereka maka hitung-hitungan ekonomi
menjadi suatu alternative untuk menghentikan kebiasaannya. Berapa rokok yang dihabiskan dalam sehari dan
berapa uang yang dihabiskan untuk itu bisa dikalkulasi. Jika katakana 10.000
saja pengeluaran merokok per hari. Maka dalam seminggu, sebulan bahkan satu
tahun dan lima tahun bisa dikalkulasi berapa uang yang ‘hilang” yang andaikan
ada maka mungkin sudah bisa dipakai untuk banyak hal: cicilan rumah, kendaraan
bermotor atau bahkan uang muka naik haji.
Dan bila saat ini kita masih berkutat pada benda 9 cm yang cenderung
dituhankan (menurut Taufik Ismail) maka kerugian akan menjadi berlipat-lipat.
Membayar pajak (baca : cukai rokok)
untuk sebuah investasi sakit pada saatnya kelak!
Karena berbagai alasan di atas
maka penulis sangat setuju dengan
pernyataan bapak kepala Negara kita itu. Dan di level kita jangan kita memakai istilah “uang rokok” sebagai uang tips atau upah bagi pekerja atau
orang yang membantu pekerjaan kita. Karena dengan istilah itu maka uang tips yang
sebenarnya bisa menjadi tambahan penghasilan bagi para pekerja non formal akan
dengan mudah dibelanjakan menjadi rokok yang akan meracuni dirinya, serta
perokok pasif di sekitarnya termasuk anak dan istrinya. Jadi, ayo
jangan beli rokok ! seperti
ajakan Bapak Presiden kepada kita semua.(dimuat di Radar Tarakan, 14 April 2016)
No comments:
Post a Comment