Saturday, May 21, 2016

Kasus Yuyun, Sinergi Miras & Rokok


Kematian  bocah Yuyun (14 tahun) yang mengenaskan  setelah mendapat perlakuan tidak senonoh dari  14  pria  yang dalam pengaruh alcohol / minuman keras,   menyebabkan keprihatinan yang cukup mendalam dari banyak pihak. Pelaku –pelaku  pemerkosaan yang sebagian masih remaja (17 tahun 5 orang dan sisanya dibawah 20 tahun) menyebabkan keprihatinan tersendiri. Dalam kasus ini yang mengemuka adalah dari sisi minuman kerasnya (miras)- yaitu zat yang mengandung alcohol  dengan berbagai variasi prosentase yang mempunyai sifat memabukkan dan menghilangkan akal sehat para pelakunya.  Dalam kasus  ini,  tuak sejenis minuman tradisional beralkohol di daerah Rejang Lebong Bengkulu yang dituduh menjadi penyebab gelap matanya segerombolan pemuda  untuk bersama – sama menodai Yuyun sampai menemui ajalnya.
Kebijakan Tentang Miras
Berbicara tentang peredaran miras  memang sebelum peristiwa ini mengemuka, sudah pernah mengalami pro kontra.  Awalnya Kebijakan Mentri Perdagangan yang pertama di Kabinet Jokowi ini  yaitu  Rahmat Gobel sebenarnya  sempat melarang peredaran miras diperjualbelikan di minimarket. Hal ini  mendapat dukungan dari banyak kalangan dengan banyak argumentasi antara lain masalah kesehatan, nilai –nilai  moral, budaya serta agama mayoritas masyarakat. Toh bila masih ada yang membutuhkan dengan beberapa alasan, masih bisa diakses di layanan supermarket, dimana jumlahnya lebih sedikit serta  posisi dan lokas tertentu yang lebih sulit dijangkau oleh masyarakat dibandingkan dengan bila dijual di minimarket. Jadi  regulasi  yang ada sudah cukup mewadahi berbagai kepentingan itu.
Namun kemudian pada September 2015 dimana setelah pergantian Menteri Perdagangan maka ada pergantian kebijakan. Pada saat itu diluncurkan paket ekonomi yang diantaranya adalah terkait dengan diperbolehkannya miras diperdagangkan di minimarket.   Saat itulah pro kontra  mengemuka. Dan bila flash back ke diskusi –diskusi sebelumnya  maka beredarnya  miras secara lebih bebas ditengarai akan menyebabkan  kerusakan  mental dan moral para pemuda kita pada saatnya nanti.
Sementara alcohol yang menjadi  racun bagi tubuh maka seringkali  bisa menyebabkan gangguan  yang terkait dengan hati. Salah satu tugas hati adalah membuang produk limbah yang tidak bisa dibuang oleh ginjal  maka  gangguan fungsi hati  sering terjadi pada pengkonsumsi alcohol dalam jangka lama. Pada beberapa kasus   hal ini berujung pada kasus  kanker hati  dimana hatinya akan mengeras dan tidak bisa berfungsi dengan baik dan harus diganti hatinya (transplantasi liver).
Persamaan dan Perbedaan  Alkohol (Miras) dengan Rokok
Dalam kasus Yuyun maka berkembang bahwa  kita dalam kondisi darurat miras. Menurut hemat penulis maka kondisi kita tidak hanya dalam kondisi darurat miras tetapi juga darurat rokok.  Hal ini karena ada banyak  persamaan antara miras dengan rokok  dan adanya hubungan yang cukup erat keduanya. Alkohol serta nikotin di dalam rokok masuk dalam klasifikasi zat adiktif adalah zat-zat yang bisa membuat ketagihan jika dikonsumsi secara rutin.  
Persamaan lain antara miras dan tembakau (baca”: rokok)  yaitu bahwa keduanya dituduh menjadi factor risiko (FR) kemunculan penyakit  tidak menular (PTM). Dalam jangka panjang  miras akan bergabung dengan FR yang lain seperti pola makan yang tidak seimbang, kurangnya pola gerak/ aktifitas fisik atau olehraga,  merokok serta  jeleknya pengelolaan stress maka akan menimbulkan penyakit seperti penyakit  jantung, kencing manis, kanker, darah tinggi, stroke, gagal ginjal, dll. Istilah PTM sendiri merujuk pada klaster penyakit yang penyebabnya adalah banyak factor yang akan “bersinergi” menghasilkan manifestasi diagnose penyakit yang ‘mengerikan’ dan cenderung memakan biaya besar dan membuat miskin bagi pengidapnya (katastrofik).
Satu hal yang menarik ternyata ada  hubungan antara rokok  dan alkoho sebagaimana disebutkan dalam sebuah penelitian Noah R. Gubner dari Center forTobacco  Control Research and Education, University of California menyatakan  ada hubungan antara  alkohol dan rokok ( Detik com, 5/5/2016).  Dalam penelitian itu dinyatakan bahwa konsumsi alkohol akan mempengaruhi  proses penyerapan nikotin di dalam tubuh.  Semakin sering alcohol sering diminum maka proses penyerapan nikotin akan makin meningkat dan hal inilah yang menyebabkan dosis nikotin harus ditambah yang artinya jumlah nikotin (baca: batang rokok) yang dihisap juga semakin banyak.  Akibatnya  maka perokok lebih kecanduan dan lebih sulit berhenti. Dapat disimpulkan bahwa rokok dan alkohol terbukti bersinergi.  
Memang dalam kasus Yuyun belum  ada informasi tentang kebiasaan merokok pada pelakunya tetapi  biasanya sebelum sampai ke kecanduan alcohol maka para remaja kita mulai dulu dengan mencoba-coba rokok dulu.  Karena rokok  dari dulu sampai sekarang tidak ada larangan yang secara tegas mengatur peredarannya.  Rokok adalah barang tidak normal yang  legal. Jadi ini menjadi sebuah lingkaran setan yang sulit untuk diputus mata rantainya. Khusus dalam hal ini  penulis  merasa yakin bila digali lebih lanjut, maka besar kemungkinan para pemabuk itu juga menjadi pecandu rokok. 
Karena sama –sama sebagai zat adiktif, maka regulasi dalam undang-undang khususnya UU kesehatan no 36 tahun 2009 sudah cukup jelas. Namun dalam secara teknis  akan diatur kembali dalam peraturan pemerintah dan peraturan perundangan di bawahnya. PP tentang pengendalian/ pengamanan  tembakau juga sudah jelas  tercantum pada PP no 109/2012.  Sementara untuk miras sudah ada Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang juga berbicara tentang peredaran  dan definisi miras.
Namun dalam perjalanannya banyak dinamika yang muncul seperti pada masalah Permendag pada kasus  penjualan miras seperti diatas.  Dalam hal tembakau / rokok maka sekarang sudah muncul RUU pertembakauan yang diinisiasi oleh industri tembakau  yang sudah masuk prolegnas (Program legislasi nasional) pada tahun ini. Dua dinamika terakhir ini justru ditengarai akan memperlemah pengendalian zat adiktif. Belum lagi adanya peta  jalan tembakau yang dikeluarkan oleh Kementrian perdagangan yang menargetkan produksi rokok besar-besaran pada tahun ini sampai tahun 2019 maka tentu saja akan menarget para perokok pemula  dari kaum muda untuk mengkonsumsinya.
Dalam tinjauan sisi agama (baca : Islam) yang penulis pahami,  miras (minuman yang memabukkan)  diberi label hukum haram. Artinya penganutnya tidak boleh mengkonsumsinya. Sementara hukum rokok masih berbeda para ulama menyikapinya. Sebagian mengharamkan. sebagian memberi hukum makruh  bahkan ada yang hanya dalam kategori mubah. Yang jelas setahu penulis  tidak ada ulama yang menghukumi rokok dalam kategori sunnah ( melakukan berpahala, tidak melakukan tidak apa-apa) maupun wajib ( mengharuskan, bila tidak melakukan akan berdosa). Sehingga dari hal tersebut di atas dapat disimpulkan  bahwa  manfaat bahwa rokok memang dianggap sangatlah kecil sementara mudharatnya sudah jelas akan  merugikan kesehatan bagi para pemakainya dan orang di sekitarnya.
Munculnya dinamika pro kontra  terhadap manfaat  miras khususnya  memang pernah mengemuka karena beragamnya latar belakang masyarakat dalam hal budaya, agama dan adat istiadat dimana perlu juga dipikirkan akan kebutuhan “ruang” tersendiri untuk menampung kebutuhan –kebutuhan mereka seperti turis asing, kepentingan adat  di daerah tertentu. Walaupun disadari oleh banyak pihak  bahwa sebenarnya semua efek buruk pada kesehatan akibat miras dan rokok tidak ada  hubungan khusus dengan latar belakang apapun pada pemakainya.
Tetapi dengan munculnya kasus Yuyun ini maka menurut penulis pemerintah sudah selayaknya mempertimbangkan kembali matang-matang akibat lemahnya kebijakan miras dan rokok dimana data dan fakta terkait kesehatan  sudah  tidak terbantahkan lagi. Dalam hubungannya dengan keragaman masyarakat dalam hal agama dan adat istiadat,  pemerintahlah yang harus meramunya secara adil  supaya tidak  mengabaikan kesehatan masyarakat secara umum. 
Kasus Yuyun membuat pemerintah dan para pengambil kebikan harus kembali segera bercermin, untuk melihat apa kekurangannya  dan apa yang salah dari kebijakan publik  (public policy) yang sudah diambil. Menurut hemat penulis maka solusinya adalah sebuah regulasi yang pro terhadap kesehatan masyarakat baik terhadap miras dan rokok secara  adil. Bila tidak maka kasus ini  hanya akan berulang di lain waktu sebagai bom waktu dan kita hanya bisa meratapinya  tanpa tahu kapan semua akan berakhir (radar tarakan, april 2016))


No comments: