Kematian bocah Yuyun (14 tahun) yang mengenaskan setelah mendapat perlakuan tidak senonoh
dari 14
pria yang dalam pengaruh alcohol
/ minuman keras, menyebabkan
keprihatinan yang cukup mendalam dari banyak pihak. Pelaku –pelaku pemerkosaan yang sebagian masih remaja (17
tahun 5 orang dan sisanya dibawah 20 tahun) menyebabkan keprihatinan
tersendiri. Dalam kasus ini yang mengemuka adalah dari sisi minuman kerasnya
(miras)- yaitu zat yang mengandung alcohol dengan berbagai variasi prosentase yang
mempunyai sifat memabukkan dan menghilangkan akal sehat para pelakunya. Dalam kasus
ini, tuak sejenis minuman
tradisional beralkohol di daerah Rejang Lebong Bengkulu yang dituduh menjadi
penyebab gelap matanya segerombolan pemuda
untuk bersama – sama menodai Yuyun sampai menemui ajalnya.
Kebijakan Tentang Miras
Berbicara tentang peredaran
miras memang sebelum peristiwa ini
mengemuka, sudah pernah mengalami pro kontra.
Awalnya Kebijakan Mentri Perdagangan yang pertama di Kabinet Jokowi ini yaitu
Rahmat Gobel sebenarnya sempat
melarang peredaran miras diperjualbelikan di minimarket. Hal ini mendapat dukungan dari banyak kalangan dengan
banyak argumentasi antara lain masalah kesehatan, nilai –nilai moral, budaya serta agama mayoritas
masyarakat. Toh bila masih ada yang membutuhkan dengan beberapa alasan, masih
bisa diakses di layanan supermarket, dimana jumlahnya lebih sedikit serta posisi dan lokas tertentu yang lebih sulit
dijangkau oleh masyarakat dibandingkan dengan bila dijual di minimarket. Jadi regulasi
yang ada sudah cukup mewadahi berbagai kepentingan itu.
Namun kemudian pada September
2015 dimana setelah pergantian Menteri Perdagangan maka ada pergantian
kebijakan. Pada saat itu diluncurkan paket ekonomi yang diantaranya adalah
terkait dengan diperbolehkannya miras diperdagangkan di minimarket. Saat
itulah pro kontra mengemuka. Dan bila
flash back ke diskusi –diskusi sebelumnya
maka beredarnya miras secara
lebih bebas ditengarai akan menyebabkan kerusakan mental dan moral para pemuda kita pada
saatnya nanti.
Sementara alcohol yang menjadi racun bagi tubuh maka seringkali bisa menyebabkan gangguan yang terkait dengan hati. Salah satu tugas
hati adalah membuang produk limbah yang tidak bisa dibuang oleh ginjal maka
gangguan fungsi hati sering
terjadi pada pengkonsumsi alcohol dalam jangka lama. Pada beberapa kasus hal ini berujung pada kasus kanker hati dimana hatinya akan mengeras dan tidak bisa
berfungsi dengan baik dan harus diganti hatinya (transplantasi liver).
Persamaan dan Perbedaan Alkohol
(Miras) dengan Rokok
Dalam kasus Yuyun maka berkembang
bahwa kita dalam kondisi darurat miras.
Menurut hemat penulis maka kondisi kita tidak hanya dalam kondisi darurat miras
tetapi juga darurat rokok. Hal ini
karena ada banyak persamaan antara miras
dengan rokok dan adanya hubungan yang
cukup erat keduanya. Alkohol serta nikotin di dalam rokok masuk dalam
klasifikasi zat adiktif adalah zat-zat yang bisa membuat ketagihan jika
dikonsumsi secara rutin.
Persamaan lain antara miras dan
tembakau (baca”: rokok) yaitu bahwa
keduanya dituduh menjadi factor risiko (FR) kemunculan penyakit tidak menular (PTM). Dalam jangka
panjang miras akan bergabung dengan FR
yang lain seperti pola makan yang tidak seimbang, kurangnya pola gerak/
aktifitas fisik atau olehraga, merokok
serta jeleknya pengelolaan stress maka
akan menimbulkan penyakit seperti penyakit
jantung, kencing manis, kanker, darah tinggi, stroke, gagal ginjal, dll.
Istilah PTM sendiri merujuk pada klaster penyakit yang penyebabnya adalah
banyak factor yang akan “bersinergi” menghasilkan manifestasi diagnose penyakit
yang ‘mengerikan’ dan cenderung memakan biaya besar dan membuat miskin bagi
pengidapnya (katastrofik).
Satu hal yang menarik ternyata
ada hubungan antara rokok dan alkoho sebagaimana disebutkan dalam
sebuah penelitian Noah R. Gubner dari Center
forTobacco Control Research and
Education, University of California menyatakan ada hubungan antara alkohol dan rokok ( Detik com,
5/5/2016). Dalam penelitian itu dinyatakan
bahwa konsumsi alkohol akan mempengaruhi
proses penyerapan nikotin di dalam tubuh. Semakin sering alcohol sering diminum maka
proses penyerapan nikotin akan makin meningkat dan hal inilah yang menyebabkan
dosis nikotin harus ditambah yang artinya jumlah nikotin (baca: batang rokok)
yang dihisap juga semakin banyak. Akibatnya maka perokok lebih kecanduan dan lebih sulit
berhenti. Dapat disimpulkan bahwa rokok dan alkohol terbukti bersinergi.
Memang dalam kasus Yuyun
belum ada informasi tentang kebiasaan
merokok pada pelakunya tetapi biasanya
sebelum sampai ke kecanduan alcohol maka para remaja kita mulai dulu dengan
mencoba-coba rokok dulu. Karena
rokok dari dulu sampai sekarang tidak
ada larangan yang secara tegas mengatur peredarannya. Rokok adalah barang tidak normal yang legal. Jadi ini menjadi sebuah lingkaran
setan yang sulit untuk diputus mata rantainya. Khusus dalam hal ini penulis
merasa yakin bila digali lebih lanjut, maka besar kemungkinan para
pemabuk itu juga menjadi pecandu rokok.
Karena sama –sama sebagai zat
adiktif, maka regulasi dalam undang-undang khususnya UU kesehatan no 36 tahun
2009 sudah cukup jelas. Namun dalam secara teknis akan diatur kembali dalam peraturan
pemerintah dan peraturan perundangan di bawahnya. PP tentang pengendalian/
pengamanan tembakau juga sudah jelas tercantum pada PP no 109/2012. Sementara untuk miras sudah ada Keppres Nomor
3 Tahun 1997 yang juga berbicara tentang peredaran dan definisi miras.
Namun dalam perjalanannya banyak
dinamika yang muncul seperti pada masalah Permendag pada kasus penjualan miras seperti diatas. Dalam hal tembakau / rokok maka sekarang sudah
muncul RUU pertembakauan yang diinisiasi oleh industri tembakau yang sudah masuk prolegnas (Program legislasi
nasional) pada tahun ini. Dua dinamika terakhir ini justru ditengarai akan memperlemah
pengendalian zat adiktif. Belum lagi adanya peta jalan tembakau yang dikeluarkan oleh Kementrian
perdagangan yang menargetkan produksi rokok besar-besaran pada tahun ini sampai
tahun 2019 maka tentu saja akan menarget para perokok pemula dari kaum muda untuk mengkonsumsinya.
Dalam tinjauan sisi agama (baca :
Islam) yang penulis pahami, miras
(minuman yang memabukkan) diberi label
hukum haram. Artinya penganutnya tidak boleh mengkonsumsinya. Sementara hukum
rokok masih berbeda para ulama menyikapinya. Sebagian mengharamkan. sebagian memberi
hukum makruh bahkan ada yang hanya dalam
kategori mubah. Yang jelas setahu penulis
tidak ada ulama yang menghukumi rokok dalam kategori sunnah ( melakukan
berpahala, tidak melakukan tidak apa-apa) maupun wajib ( mengharuskan, bila
tidak melakukan akan berdosa). Sehingga dari hal tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa manfaat bahwa rokok memang dianggap sangatlah
kecil sementara mudharatnya sudah jelas akan merugikan kesehatan bagi para pemakainya dan orang
di sekitarnya.
Munculnya dinamika pro
kontra terhadap manfaat miras khususnya memang pernah mengemuka karena beragamnya
latar belakang masyarakat dalam hal budaya, agama dan adat istiadat dimana
perlu juga dipikirkan akan kebutuhan “ruang” tersendiri untuk menampung
kebutuhan –kebutuhan mereka seperti turis asing, kepentingan adat di daerah tertentu. Walaupun disadari oleh
banyak pihak bahwa sebenarnya semua efek
buruk pada kesehatan akibat miras dan rokok tidak ada hubungan khusus dengan latar belakang apapun
pada pemakainya.
Tetapi dengan munculnya kasus
Yuyun ini maka menurut penulis pemerintah sudah selayaknya mempertimbangkan
kembali matang-matang akibat lemahnya kebijakan miras dan rokok dimana data dan
fakta terkait kesehatan sudah tidak terbantahkan lagi. Dalam hubungannya
dengan keragaman masyarakat dalam hal agama dan adat istiadat, pemerintahlah yang harus meramunya secara adil
supaya tidak mengabaikan kesehatan masyarakat secara umum.
Kasus Yuyun membuat pemerintah dan
para pengambil kebikan harus kembali segera bercermin, untuk melihat apa
kekurangannya dan apa yang salah dari
kebijakan publik (public policy) yang sudah diambil. Menurut hemat penulis maka
solusinya adalah sebuah regulasi yang pro terhadap kesehatan masyarakat baik
terhadap miras dan rokok secara adil.
Bila tidak maka kasus ini hanya akan
berulang di lain waktu sebagai bom waktu dan kita hanya bisa meratapinya tanpa tahu kapan semua akan berakhir (radar tarakan, april 2016))
No comments:
Post a Comment