Thursday, September 1, 2016

Beda Indonesia dan Malaysia dalam Pengendalian Rokok


“Beberapa orang membuntuti di belakang petugas yang berseragam dan memakai pengenal itu. Sesekali mengendap-endap di antara bangunan itu untuk menunggu. Tidak lama kemudian, tangkap tangan terjadi! Bukan operasi tangkap tangan (OTT) yang lain, tapi OTT kepada para perokok yang masih bandel: merokok di kawasan terlarang seperti di rumah sakit, gedung pemerintah dan terminal. Itu sekilas adalah gambaran di sebuah kota di negera jiran kita, Malaysia yang sudah menerapkan kebijakan penegakan kawasan tanpa rokok (KTR) secara ketat”
Jangan kaget bila kejadiannya bukan baru-baru ini tetapi pada tahun 2008 alias 8 tahun yang lalu saat penulis mendapat kesempatan kursus tentang kesehatan dimana ada materi tentang Pengendalian tembakau (tobacco control =TC). Jangan heran bila saat itu pemerintah Negara itu sudah merasa harus bertanggung jawab dengan pengendalian tembakau karena tercatat Negara itu sudah menandatangani dan meratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau internasional alias FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) pada tahun 2003 dan 2005. Tentu saja pertimbangannya dilakukan demi untuk melindungi kesehatan masyarakat luas.
Bandingkan dengan kondisi negeri ini saat ini yang ketinggalan sangat jauh. Sampai sekarang di negara kita justru dengan sangat telanjang terlihat ada tarik menarik kepentingan TC dan para pegiat tembakau (tobacco industry=TI). Negara kita masih belum berorientasi pada masalah kesehatan masyarakat tapi masih rancu dengan berbagai masalah lain.
Kebijakan setengah hati ?
Dalam sebuah kesempatan pembagian “kartu sakti” beberapa waktu lalu di Kota Tarakan, Pak Presiden menyatakan bahwa dana bantuan yang diterima oleh warga yang membutuhkan hendaknya tidak dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat seperti rokok. Pernyataan bernas, cerdas dan bijak ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa Beliau sangat memahami tentang efek buruk dari rokok khususnya sisi ekonomi dan kesehatan. Tentu saja dalam kaitannya dengan kemiskinan maupun rumah tangga miskin sebagai penerima berbagai kartu tersebut.
Jika pernyataan pak Jokowi dalam kesempatan tersebut sangat mendukung pengendalian tembakau tetapi sampai sekarang maka dapat dikatakan bahwa banyak kebijakan nasional di level makro di bawah kendali Presiden justru terlihat sebaliknya. Pemerintah masih membiarkan masyarakat kita dalam ancaman produk rokok yang semakin menggurita.
Bahkan di Indonesia Kerangka Kerja yang disuarakan banyak kalangan untuk menjadi dasar untuk pengendalian tembakau beserta racun dan asapnya, sampai sekarang masih mengambang. Indonesia juga menjadi satu-satunya Negara di Asia yang tidak mau menandatangani apalagi meratifikasinya. Presiden belum menganggap hal itu menjadi penting. Akibatnya dapat ditebak kondisi perokok pemula yang paling tinggi di dunia, bahkan ada juga beberapa balita perokok, bebasnya merokok di berbagai tempat umum, harga rokok yang nomor 3 termurah serta berbagai kemudahan lain terkait merokok.
FCTC yang jelas-jelas menjadi amanat eksplisit dalam Rencana Strategis Kementrian Kesehatan (Kemenkes) 2015-2019 masih ditentang di sana sini lewat pernyataan para tokoh tertentu maupun dengan munculnya berbagai wacana sampai aturan di kementerian lain.
Kementrian perindustrian justru dengan sangat telanjang mengubah peta jalan industri tembakau dengan menargetkan produksi rokok sebesar 5-7,4% per tahun sampai tahun 2020. Padahal pertumbuhan penduduk hanya 1,2 % per tahun. Artinya sasaran berikutnya untuk menjadi perokok adalah anak-anak pada saat pasar di orang dewasa sudah mulai jenuh. Produksi rokok yang awalnya 260 Miliar batang pada tahun 2015 akan dinaikkan per tahun sampai 2019 menjadi sampai 400 miliar-500 batang. Dengan asumsi bila semua produksi itu hanya dipasarkan di dalam negeri maka pada saat itu - menurut Prof Hasbullah Thabrany dari UI- bayi baru lahir pun sekan sudah dipaksa untuk menghisap rokok sebanyak 2000 batang !. Bila negara lain memproteksi rakyatnya dari bahaya asap rokok maka Indonesia justru membiarkan rakyatnya untuk menjadi pasar paling menggiurkan bagi industri rokok dari dalam maupun luar negeri.
RUU pertembakauan yang dipaksakan masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) menunjukkan hal sebaliknya dengan kebijakan TC. RUU Pertembakauan sudah diketahui umum bahwa kemunculannya merupakan usulan sebuah perusahaan rokok yang juga sangat berpotensi melemahkan aspek perlindungan masyarakat akibat konsumsi rokok.
Pada saat yang sama para aktivis TI membawa dan memainkan isu tembakau beserta petani tembakau sebagai alasan utama menolak FCTC. Mungkin kita perlu bercermin pada Cina-kiblat baru pemerintahan sekarang,. Di Negara penghasil tembakau terbesar sekaligus jumlah perokok terbesar ini justru sudah menandatangani dan meratifikasi FCTC ini pada belasan tahun yang lalu.
Dalam kasus lain, walaupun sempat dibatalkan tetapi usulan kretek sebagai warisan budaya dalam RUU Kebudayaan juga cukup memprihatinkan dan menguras energi bangsa ini. Yang terbaru Kehadiran pameran world tobacco process and machine (WTPM) baru-baru ini di Jakarta semakin mengukuhkan bahwa Indonesia menjadi target penjualan produk tembakau ini secara global. “Asbak raksasa” bernama Indonesia sedang berproses bahkan dengan dukungan dari aparat-aparat pemerintah sekalipun
Bila kita masih bertahan pada status quo sekarang maka kita hanya menunggu tanggal mainnya saja saat serangan epidemi tembakau itu akan “berbuah“ pada saatnya kelak. Saat itulah maka apa yang menjadi cita-cita dalam nawacita ke -5 pak Jokowi menjadi sulit tercapai. Dalam kompetisi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) kemungkinan terbesar yang akan terjadi adalah kita hanya akan jadi penonton saja. Saat sumber daya manusia tidak mempunyai kualitas yang diharapkan karena sakit-sakitan atau bahkan mati muda. Apalagi di level regional maupun internasional.
Harapan
Maka semestinya saat pak Jokowi menyerukan bahwa jangan merokok ! sudah seharusnya kementrian terkait akan segera menerjemahkan untuk aplikasinya di lapangan. Saat presiden menyerukan hal demikian tapi beberapa kementrian masih ‘ngotot’ bergerilya dengan segala upaya pro industri tembakau menunjukkan belum baiknya koordinasi di level pemerintah sendiri. Seruan pak Jokowi ibarat hanya angin lalu yang tidak berbekas apapun. Dan kita semua menginginkan bahwa hal ini tidak terjadi.(latepost) ditulis jelang 31 mei 2016
LikeShow more reactions
Comment

No comments: