Tuesday, March 13, 2018

Yang Tersisa dari KLB Asmat : Revisi UU Wabah Semestinya Masuk Prioritas Prolegnas 2018

                                                      
            Aksi pemberian “kartu kuning” oleh Zaadit Taqwa, sang Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), kepada presiden Jokowi pada acara dies natalis ke -68 Universitas Indonesia (UI) masih ramai dibicarakan. Salah satu isu yang menjadi tuntutan utama yaitu penyelesaian Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Papua yang sudah memakan banyak sekali korban sakit dan meninggal. Tanggapan yang muncul terhadap latar belakang atau alasan aksi dibalik tuntutannya menuai pro kontra yang luar biasa dimasyarakat.
            Di tengah pro kontra cara penyampaian tuntutan yang dianggap tidak lazim itu, Bupati Asmat Elisa Kambu dalam rapat kordinasi di Posko Satgas KLB Campak dan Gizi Buruk di Asmat per tanggal 5 Februari 2018 menyatakan bahwa status KLB dinyatakan dicabut dengan berbagai pertimbangan.
            Pada banyak kasus, saat sudah berlalu dari maraknya pemberitaan media maka kebiasaan kita sebagai bangsa cenderung akan melupakan dan tidak mengambil sebuah pelajaran pada suatu hal. Untuk itu penulis mencoba menganalisis yang menjadi dasar bagi tindakan kita selanjutnya.
Hubungan Campak dan Gizi Buruk
            Banyak analisis yang berkembang terkait dengan KLB campak yang kedua ini setelah sebelumnya 11 tahun bebas campak. Biangnya dianggap angka cakupan imunisasi yang masih rendah. Memang campak termasuk dalam kelompok penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. KLB kali ini dianggap terjadi usai pesta budaya pada Oktober tahun lalu. Berkumpulnya masyarakat dalam jumlah besar termasuk yang dari pedalaman yang masyarakatnya tidak terimunisasi menyebabkan rentannya terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara itu (air borne disease).         Apalagi bila sejak awal asupan gizi dari bayi atau anak sudah bermasalah maka akan mempermudah jenis penyakit apapun untuk menyerang, termasuk campak.
           Dari sisi medis, kasus gizi buruk bisa jadi merupakan komplikasi dari penyakit campak itu sendiri. Gejala utama campak yaitu panas tinggi dengan bercak kemerahan di kulit yang disertai satu dari batuk, pilek atau mata merah ini menyebabkan bayi/balita malas untuk menyusu atau makan. Jelas terlihat bahwa kasus gizi buruk bisa muncul di awal saat asupan makanan tidak terpenuhi yang mempermudah masuknya virus campak ke dalam tubuh ataupun gejala ikutan di akhir sebagai komplikasi akibat campak. Pada kasus lain gizi buruk bisa berdiri sendiri karena kurangnya asuspan makanan dalam waktu panjang ataupun berkaitan dengan penyakit infeksi lain selain campak.
          Di sisi lain campak masuk dalam kategori penyakit menular ynag dapat menimbulkan KLB bahkan wabah. Sementara gizi buruk bukan termasuk dalam kategori penyakit yang dapat menular namun kemunculan dan kejadiannya juga bisa menyebabkan suatu daerah masuk dalam status KLB.    Walaupun berbeda secara klasifikasi tetapi yang jelas bahwa keduanya menjadi sangat erat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus gizi buruk akan 13 X lebih mudah jatuh pada kematian dibandingkan pada anak dengan gizi normal. Maka sangat masuk akal bila sekitar pada kasus di Asmat 60-an bayi meninggal

Analisis KLB
         Dari kasus KLB campak di Papua dan banyak KLB difteri di 20 Provinsi lain yang masih berlangsung sampai sekarang - yang juga sudah memakan banyak korban jiwa ini -maka seharusnya membuat kita makin sadar bahwa ancaman penyakit menular ini masih tinggi ditengah naiknya kasus penyakit tidak menular (PTM) seperti stroke, jantung, ginjal.
          Disadari bahwa satu hal yang juga cukup krusial dalam pengendalian KLB adalah pola pembiayaan wabah. Jika disatu sisi penyakit yang masuk dalam kategori kronis dan tidak menular karena sifatnya yang katastrofik (penyakit berbiaya tinggi) maka akan dijamin oleh asuransi bagi pesertanya maka penyakit yang masuk dalam kategori wabah justru tidak. Karena di dalam regulasi yang mengatur wabah yang ada dinyatakan bahwa urusan pembiayaan dibebankan pada pemerintah dan pemerintah daerah namun dalam pelaksanaan di lapangan banyak sekali kendala yang terjadi.
Sementara sudah diketahui secara luas bahwa penanggulangan KLB/wabah adalah juga sangat memakan biaya terutama untuk pelaksanaan ORI (Outbreak Response Immunization) maupun penanganan penyakitnya bagi korban terdampak.
        Terkait dengan pembiayaan KLB maka ada sebuah temuan menarik yang terungkap pada pertemuan progam surveilans epidemiologi Kemenkes yang penulis ikuti pada awal tahun 2017 adalah adanya keengganan daerah untuk merilis pernyataan KLB secara resmi.
Dengan pernyataan resmi maka citra daerah akan ternoda disamping alasan utama bahwa daerah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membiayai kasus yang rawat inap di RS termasuk para pemilik dan pemegang kartu asuransi kesehatan sekalipun. Hal ini akan berimbas tergerusnya keuangan daerah yang mengalaminya. Apalagi dalam kondisi keuangan di beberapa daerah yang mengalami defisit anggaran.
       Akibatnya dapat ditebak, menyimpan atau lebih tepatnya menyembunyikan informasi KLB menjadi pilihan yang paling realistis walaupun sebenarnya merugikan karena menjadikan tidak adanya kesadaran bersama khususnya masyarakat terhadap bahaya KLB/wabah.
Pada saat pertemuan yang dihadiri juga oleh lintas sektor juga mengungkapkan beberapa hal terkait solusi penanggulangan KLB. Pada saat itu perwakilan dari BPJS menyatakan secara lisan bahwa bagi para pemilik kartu KIS/BPJS yang terkena penyakit yang dinyatakan KLB maka itu bisa ditagihkan kepada BPJS sebagai pembayar. Pengobatan dan tindakan di RS merupakan upaya kuratif yang merupakan domain BPJS pada saat ini. Yang menjadi tanggungan Pemerintah Daerah (Pemda) hanyalah biaya bagi masyarakat yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
         Namun dalam kenyataannya di lapangan /daerah bisa berbeda. Ada pandangan bahwa KLB merupakan force majeur yang tidak dapat ditanggung oleh asuransi. Akibatnya, kebijakan pembiayaan bagi peserta BPJS yang terkena penyakit yang dinyatakan KLB ditanggapi secara berbeda – beda di level cabang. Yang tersering adalah pada akhirnya dikembalikan ke Pemda masing-masing.
          Kendala lain dalam pencegahan dan penanggulangan KLB adalah seperti koordinasi antar jejaring dan kemitraan dalam pengendalian KLB juga masih belum terpetakan dengan baik. Sementara Langkah –langkah penanggulangan KLB yang sudah jelas tahapannya tentu membutuhkan koordinasi yang baik antar sektor dan profesi. Dalam UU no 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyatakan bahwa epidemic sebuah penyakit menjadi salah satu bencana non alam juga masih belum terlalu jelas dalam level teknis.
Harapan
         Banyaknya permasalahan yang belum terselesaikan di berbagai level baik dari sisi regulasi, kebijakan serta teknis dalam kaitannya dengan KLB karena merujuk bahwa hulu dari permasalahan ini belum clear. Terakhir kita masih menggunakan UU no 4 tahun 1984 tentang wabah, dimana dalam banyak hal sudah sangat tidak relevan dengan kondisi terkini terutama koordinasi dalam hal pembiayaan.    Disamping juga munculnya isu-isu terkait penyakit menular baru (new emerging) dan penyakit yang muncul kembali (re-emerging) yang belum sepenuhnya terwadahi.
          Akhirnya tidak tuntasnya KLB di suatu daerah akan menimbulkan ancaman yang sama di lain waktu di tempat yang sama maupun berbeda. Untuk bukti tidak perlu
menunggu lama, dalam hitungan hari maka KLB campak sudah menyebar dari Kabupaten Asmat ke beberapa kabupaten lain seperti ke Pegunungan Bintang yang juga di Provinsi Papua. Kasus difteri yang awalnya muncul dari Jatim dengan beberapa Kabupaten pada tahun 2009, akhirnya menyebar secara luas.
         Bila Zaadit Taqwa sudah mewakili masyarakat dalam mengkritisi pemerintah sebagai eksekutif terkait tugas-tugasnya dalam hal kesehatan, maka dalam kesempatan ini menurut hemat penulis perlu juga diimbangi dari kerja-kerja legislative dalam memilih dan memilah prioritas RUU yang harus dibahas dalam Prolegnas tahun ini.
           Akhirnya hanya berharap bahwa KLB campak di Asmat dan KLB difteri di 95 kota/kab di 20 Provinsi ini – yang notabene sudah sangat mengkhawatirkan- bisa menjadi momentum untuk mendorong pembahasan RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang perubahan UU Wabah no 4 tahun 1984 menjadi prioritas dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini. Yang terjadi bahwa dari 50 RUU prioritas yang sudah ditetapkan sejak Desember tahun lalu, tidak ditemukan RUU yang terkait KLB/wabah di dalamnya. Maka harapan berikutnya bahwa dalam evaluasi prioritas Prolegnas berikutnya ini menjadi prioritas. Bandingkan dengan RUU pertembakauan yang kontraproduktif dengan kesehatan (baca: pro rokok) sebagai inisiatif DPR menjadi urutan ke-12 atau masuk kategori sangat prioritas. Maka saat urusan rokok lebih penting dari KLB dan wabah maka patut dipertanyakan masihkan para wakil rakyat memikirkan dan memperjuangkan kesehatan sebagai salah satu kebutuhan dasar para konstituennya ?
Wahai para wakil rakyat, ditunggu komitmen dan action –nya untuk mengubah atau bahkan membalik situasi ini ! (Tri Astuti Sugiyatmi).

No comments: