Sunday, April 22, 2018

Konde dan Tembang Mijil dari Ibuku


Konde bagiku menjadi sangat familiar. Sebagai keluarga dari Jawa aku sejak kecil sangat akrab bergaul dengan nya. Ibuku –sebagai seorang guru di Desa- saat itu selalu memakainya saat akan berangkat mengajar. ibu akan berangkat ke sekolahnya di SDN Kaliwedi dan belakangan pindah ke SDN Cindaga I dengan memakai konde setelah kadang-kadang aku atau kakakku ikut membetulkan letaknya dari belakang. Saat itu pakaian ibu juga masih dengan jarit/jarik/ kain panjang dan kebayanya. Saat itu ibu kadang-kadang naik sepeda onthel, naik dokar atau kadang kendaraan Colt yang membawanya ke sekolahnya yang dekat dengan ‘gunung”. Sebenarnya mungkin lebih tepatnya adalah di lokasi berbukit yang agak jauh dari keramaian.
Saat itu tetanggaku juga berperan sebagai perias manten gaya Jawa yang membuatku seringsekali ikut melihat –dengan putri dari tetanggaku itu tentunya – bagaimana susunan konde, tusuknya, jepitnya, dan semua perangkat bagi pengantin Jawa di rumahnya. Bukan hanya konde, tetapi juga bajunya, kuluk (topinya) serta selopnya. Juga melati-melati sebagai penghias keris di belakang baju pengantin pria atau di ujung dari konde Jawa bagi pengantin perempuannya.
Dalam perkembangannya maka konde ibuku kadang-kadang sudah tidak berpadu dengan jarik dan kebaya tetapi dengan seragam KORPRInya, dengan Pakaian harian seorang ibu guru (atasan batik dengan bawahan polos; seragam semacam kain jas untuk atasan bahu panjang dan bawahan rok atau dengan seragam atau dengan seragam cantiknya Bhayangkari yang pink itu.
Jadi aku cukup akrab dengan konde, tusuk konde atau hanral ataupun jaring hitam (lupa namanya)yang untuk menyelimuti rambut ibuku yang awalnya hitam yangdalam beberapa waktu kemudian menjadi memutih. Beberapa kali saat menjadi Kartini kecil pun aku berkonde. Karnaval dan menari Bondhan di acara Agustusan di panggung kampungku.
ibuku yang seorang pendidik memang juga sering menyanyikan kidung-kidung Jawa yang sangat indah menurut beliau. Mocopat. Kami di rumah sering tebak-tebakan nama-nama lagu Jawa dan artinya secara sekilas. Sayang diantara sekian macapat aku hanya hafal lagu Mijil kalo nggak salah ….
Dedalane…guna lawan sekti …..
kudhu andhap ashor…
wani ngalah …luhur wekasane…
tumungkulo ..yen di pun dukani…..
Bapang dhen simpangi ….
Ono catur mungkur….
Menurut ibuku filosofi lagu ini sangat tinggi. Saat itu ibu menceritakan dengan bahasa Jawa krama halus, walaupun kami tinggal di daerah yang bahasanya Nyong –kowe alias Ngapak-ngapak. Aku tidak terlalu paham dengan semua apa yang ibu sampaikan. Tapi dengan terjemahan bebas dan era kekinian maka sekarang dapat aku sarikan bahwa Mijil adalah sebuah kelahiran/ keluaran. Baris pertama menunjukkan sebuah jalan (dedalane) untuk menuju kemanfaatan (guna) dan ‘kesaktian’ ( soft skill sebagai bekalmenjadi ketangguhan ). Baris ke dua alias harus rendah hati dan empan papan atau tahu diri lah dengan situasi dan kondisi sekitar. Baris ketiga adalah berani mengalah adalah sebuah sikap yang luhur…. Baris keempat : menunduklah atau tidak membantah maksudnya saat dimarahi. Saat dimarahi atau dikritik artinya kita disuruh untuk merenung atau introspeksi diri. Baris ke lima berarti menjauhi hura-hura dan hore-hore, karena kata Bapang kata seorang ahli adalah tari-tarian yang mengarah kesenangan atau hedon kali untuk jaman sekarang. Yang terakhir adalah untuk menjauhi segala yang menyebabkan ketidakbaikan. Secara leksikal adalah menghindari pergunjingan. tentu dalam era kekinian tentu saja bisa lebih luas dari hanya sekedar itu. Bisa jadi menghindari hoax yang sebenarnya.
Masih banyak sekali lagu Jawa Mocopatan yang sering dinyanyikan ibu. Aku hanya menjadi penikmat saat ibu menyenandungkannya saat riyep-riyep mau tidur atau saat santai sambil milihin kerikil di antara beras di atas tampah. Sebuah kenangan indah seorang anak dengan ibunya yang tidak akan pernah terhapus oleh apapun.
Jaman berubah dan waktu terus berputar. Pada akhir hidupnya Alhamdulillah ibu sudah seringkali mengenakan kerudung panjang (seperti pashmina saat ini) yang di taruh di atas kepala dan ujungnya di lilitkan sedikit ke depan dada tanpa sebuah pengait-pun (seperti peniti atau bros).
Jika saat ini muncul berita kontroversial yang membandingkan konde dengan cadar (baca : hijab) dan suara kidung vs adzan membuat banyak orang kaget. Seperti diriku juga. Membandingkan sesuatu yang tidak sebanding pastilah menghasilkan sesuatu yang tidak pas. Ya sesuatu yang sebenarnya juga semuanya sudah tahu bahwa satu adalah produk budaya hasil kreatifitas manusia dan satunya adalah produk dari sang Pencipta Manusia (bagi yang mengimani tentunya). Membandingkan dengan serampangan akan kontraproduktif dengan kerja besar sebuah bangsa yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukannya.
Dengan tidak bermaksud membandingkannya dengan produk dari firman Allah swt dalam ayat- ayat suci nya , maka kidung Jawa khususnya Mijil walaupun hasil kreatifitas manusia dan budaya bagiku menjadi sangat fit dengan ajaran Islam yang ada. Bagiku, semua yang tertera dalam Mijil sangatlah Islami….....Aku bukan ahlinya di sini tetapi melihat yang tersurat dan tersirat di Tembang Mijil itu membatku jadi ingat ceramah UAS. Bahwa lagu-lagu kalau itu menjadi mengingatkan pada sang Maha Pencipta maka adalah sangat boleh. Tentu saja akan sangat berbeda dengan lagu, puisi atau apapun yang justru membawa penyanyi dan pendengarnya menjauh dari pengertian akan hakikat sebagai manusia tentu akan sangat disayangkan.
Jika sekarang aku jarang menyanyikannya kidung mijil itu bukan karena aku benci tapi memang seringkali tidak ada ‘tarikan atau romantisme ‘ yang menyebabkanku menyenandungkannya. Pernah beberapa kali aku menyenandungkannya di depan anakku maka komentarnya adalah bahwa itu lagu yang serupa dengan pembuka dari flm “Sepatu Dahlan”. Salah satu film nasional yang menampilkan budaya Jawa yang sempat ditonton anakku. Sekilas aku pernah menceritakan tentang arti lagu itu dan kebiasaan ibuku alias nenek dari anakku dulu saat kecil.
Saat kontroversi hari ini, maka saat itulah aku menjadi sedih. Tarikan Mijil ibuku begitu kuat sehingga aku ikut larut menuliskannya saat ini. Menurutku, Tidak ada yang salah dengan kidung Mijil dan kondhe dari ibuku. Karena dari Beliaulah aku tumbuh dan membesar dengan hijab sederhanaku kini dan nanti insyaallah... dan dari beliaulah aku mengantarkan anak-anakku untuk ikut memahami ayat-ayat dan kidung-kidung Cinta dari Illahi Robbi.
Ibu Indonesia…
Tidak ada yang salah dengan konde dari sebagian anak-anakmu
Tidak ada yang keliru dengan hijab dari sebagian anak-anakmu
Karena itulah arti sebuah keragaman sejati
di Indonesiaku, Indonesiamu dan Indonesia kita….
(Tri Astuti Sugiyatmi, Surabaya, 3 April 2018)

No comments: