Menadah Air Hujan : memanen tanpa menanam
Seonggok sampah gleas
plastic yang berisi air mineral bertumpuk di sudut penampungan sampah sementara itu. Gelas dan botol mineral sisa sampah orang yang hajatan/pertemuan biasanya akan berhambur di
dekat TPS yang dekat rumah. Juga pagi
ini saat aku buang sampah di tengah pagi buta ini.
Menariknya rata-rata
masih ada separuh atau bahkan masih ¾ gelas air mineral itu masih terisi
Seringkali saat kita minum air kemasan maka sisanya kita buang begitu saja. Padahal
masih ada setengah bahkan tiga perempat
botol. Jadi untuk mengambil ukuran air
minum sebenarnya kita harus “menakar” dulu kemampuan kita untuk menghabiskan.
Bila kira-kira dengan satu gelas sudah cukup maka tidak perlu mengambil air
mineral ukuran 500 ml, 600 ml atau bahkan 1 liter.
Bila yang tersedia memang cukup besar dan kita tidak mampu
menghabiskan maka bila masih ada sisa/ lebih maka sebaiknya sebisa mungkin tetap termanfaatkan. Karenanya saya
seringkali membawa botol –botol air mineral
sisa dari hajatan, pertemuan.
Kadang saya cuek saja dengan gaya pegang botol sekeluar dari pertemuan. Bukan
masalah apa-apa tapi karena merasa
sayang sisa airnya terbuang percuma.
Padahal sebetulnya masih bisa diminum lagi atau kalo sdh tdk layak ya untuk
cuci tangan atau siram-siram tanaman..
Pertemuan di hotel seringali setiap sesi
akan berganti air mineral yang di atas meja kita. Bila setiap sesi kita buka air mineral baru maka bisa
dibayangkan betapa banyak air yang terbuang setelahnya.
Saya salut sama teman-teman yang membawa air minum dalam
botol tersendiri. Biasanya orang2 itu
lebih menghargai baik isinya yaitu air minumnya maupun penggunaan
kemasan habis pakai itu. Cara berhemat
sumber daya yang terbatas dengan sangat cerdas.
Ya berbicara pemanfaatan sumber daya khususnya air maka
banyak hal yang selama ini kita kerjakan
sebaiknya kita telaah lagi. Sepulang dari TPS jalan yang kulalui pagi itu sebagian ada yang basah dan sebagian kering
total. Sepeda yang kukayuh pagi itu keluar dari rumah saat gerimis kecil
kemudian sampai tempat pembuangan sampah
gerimis sementara agak membesar.
Saat berbalik arah pulang ternyata jalan yang saat pergi masih kering ternyata
sdh basah, tapi gerimis di wilayah itu sudah berhenti. Saya sudah berharap mudah-mudahan di komplek perumahan sudah hujan
juga.
Giliran masuk ke komplek perumahanku ternyata kering sama sekali. Padahal sudah
berhari-hari berbagai ukuran container air mulai dari ember dan bak sudah berjejer rapi di bawah talang. Untuk
memenuhi kebutuhan air bersih kami yang paling murah meriah sebenarnya adalah air hujan itu. Tapi ternyata pagi itu harapan
untuk mendapat air hujan kembali pupus.
Ya saat sebagian wilayah di ibukota terendam banjir di
hari-hari ini maka kami justru sedang menunggu –nunggu hujan turun. Kita – warga kota pulau- memang
sedikit banyak tergantung dengan air hujan untuk sumber air bersih. Jadi
menanti air hujan turun adalah menjadi bagian penting dari salah
satu rutinitas dalam hidup kami..
Walaupun ada aliran air dari PDAM tapi di tempat yang sumber airnya
hanya mengandalkan air permukaan, maka tidak ada hujan juga berarti kering juga
air dari PDAM nya. walaupun di sebagian tempat ada sumber air,
tapi tentu saja untuk membawanya sampai
ke saluran air di rumah kita juga butuh upaya. Yang paling gampang adalah
dengan membeli air profil/tangki. Tapi membeli air bersih pun harus antri.
Kadang-kadang antara hari pemesanan dan pemenuhan pesanan seringkali ada jeda
yang cukup lama. Karena di “musim kering’ seperti ini semuanya antri mau beli
air bersih.
Jadi wajar bila hari-hari ini kita selalu berhitung dengan mendung dan angin—sesuatu yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Ada nya drum, profil, ember-ember yang
terbuka di bawah talang air sebagai wadah
yang sengaja kita siapkan untuk menampung air hujan yang turun manjadikan istilah
memanen air hujan menjadi jamak di telinga.
Inilah kayaknya salah satu kasus memanen yang tidak perlu menanam dulu.
…..Padahal jamaknya untuk menuai
sesuatu maka harus ada yang ditanam sebelumnya. Panen padi setelah menyemai padi. Di kasus yang lain walaupun kiasan tapi
mirip juga :siapa menabur angin maka akan menuai badai.. Jadi menyemai dan
menanam dulu, baru akan memanen hasilnya.
Sehingga menurut hemat saya istilah memanen air hujan agaknya
berlebihan. Kita tidak punya
peran dalam menurunkan hujan-walaupun di beberapa kasus ada hujan buatan. Tapi
sesungguhnya sangt kecil atau bahkan
hampir tidak pernah ikut andil di
dalamnya dalam penentuan siklus-siklusnya tadi. Dalam perkembangan ilmu ada banyak upaya menjaga ketersediaan siklus air seperti pembuatan biopori, upaya menjaga
lingkungan /tanaman/hutan, tapi ternyata dalam “pemilihan” lokasi hujan kita sama sekali berperan.
Jadi menurutku yang
agak tepat kayaknya adalah ‘menadah” air
hujan. Cuma istilah menadah/menampung terkesan hanya menunggu saja dan cenderung tidak “seksi”. Dalam memanen air hujan di sini ada peran aktif untuk menahan air
hujan yang datang supaya tidak lari begitu saja ke pembuangan akhirnya yaitu laut.
Jadi walaupun berlebihan istilah memanen air hujan dianggap bisa mewakili sebuah upaya untuk memanfaatkan sumber daya yang ada (air
hujan) untuk sebesar-besar manfaat.
Ya istilah memanen air hujan dimana kita memanen tanpa
menanam menjadikan kita perlu “malu”
untuk membuang- buang sumber daya air
yang ada. Karena ternyata kita semata-mata hanya menadahkan ‘tangan” saja.
Menadah berarti kita hanya menunggu dan bergantung dengan kemurahan yang akan
memberi. Kepada Sang Pembuat dan Pembagi air hujan saja
kita bergantung . Jadi marilah kita berhemat air.!!
No comments:
Post a Comment