Saturday, May 12, 2018

Menadah Air Hujan : memanen tanpa menanam


Menadah Air Hujan : memanen tanpa menanam

Seonggok sampah  gleas plastic yang berisi air mineral bertumpuk di sudut  penampungan sampah sementara itu.  Gelas dan botol mineral  sisa sampah orang yang  hajatan/pertemuan biasanya akan berhambur di dekat TPS yang dekat rumah.  Juga pagi ini saat aku buang sampah di tengah pagi buta ini.

Menariknya rata-rata  masih ada separuh atau bahkan masih ¾ gelas air mineral itu masih terisi Seringkali saat kita minum air kemasan maka sisanya kita buang begitu saja. Padahal masih ada  setengah bahkan tiga perempat botol. Jadi untuk mengambil ukuran   air minum sebenarnya kita harus “menakar” dulu kemampuan kita untuk menghabiskan. Bila kira-kira dengan satu gelas sudah cukup maka tidak perlu mengambil air mineral ukuran 500 ml, 600 ml atau bahkan 1 liter.

Bila yang tersedia memang cukup besar dan kita tidak mampu menghabiskan maka bila masih ada sisa/ lebih maka sebaiknya sebisa mungkin  tetap termanfaatkan. Karenanya saya seringkali membawa botol –botol air mineral  sisa  dari hajatan, pertemuan. Kadang saya cuek saja dengan gaya pegang botol sekeluar dari pertemuan. Bukan masalah apa-apa tapi karena  merasa sayang sisa airnya terbuang  percuma. Padahal sebetulnya masih bisa diminum lagi atau kalo sdh tdk layak ya untuk cuci tangan atau siram-siram  tanaman.. Pertemuan di hotel seringali setiap sesi  akan berganti air mineral yang di atas meja kita. Bila setiap  sesi kita buka air mineral baru maka bisa dibayangkan betapa banyak air yang terbuang setelahnya.

Saya salut sama teman-teman yang membawa air minum dalam botol tersendiri. Biasanya orang2 itu  lebih menghargai baik isinya yaitu air minumnya maupun penggunaan kemasan habis pakai itu. Cara berhemat  sumber daya yang terbatas dengan sangat cerdas.

Ya berbicara pemanfaatan sumber daya khususnya air maka banyak hal yang selama ini  kita kerjakan sebaiknya  kita telaah lagi.   Sepulang dari TPS  jalan yang kulalui pagi itu  sebagian ada yang basah dan sebagian kering total. Sepeda yang kukayuh pagi itu keluar dari rumah saat  gerimis kecil  kemudian sampai tempat pembuangan sampah   gerimis sementara agak membesar. Saat berbalik arah pulang ternyata jalan yang saat pergi masih kering ternyata sdh basah, tapi gerimis di wilayah itu sudah berhenti.  Saya sudah berharap  mudah-mudahan di komplek perumahan sudah hujan juga.

Giliran masuk ke komplek perumahanku  ternyata kering sama sekali. Padahal sudah berhari-hari berbagai ukuran container air mulai dari ember dan  bak sudah berjejer rapi di bawah talang. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih kami yang paling murah meriah  sebenarnya adalah  air hujan itu. Tapi ternyata pagi itu harapan untuk mendapat air hujan kembali pupus.

Ya saat sebagian wilayah di ibukota terendam banjir di hari-hari ini maka  kami justru  sedang menunggu –nunggu hujan  turun. Kita – warga kota pulau- memang sedikit banyak tergantung dengan air hujan untuk sumber air bersih. Jadi menanti  air hujan turun  adalah menjadi bagian penting dari salah satu  rutinitas dalam  hidup kami..   Walaupun ada aliran air dari PDAM tapi di tempat yang sumber airnya hanya mengandalkan air permukaan, maka tidak ada hujan juga berarti kering juga air dari  PDAM nya.  walaupun di sebagian tempat ada sumber air, tapi  tentu saja untuk membawanya sampai ke saluran air di rumah kita juga butuh upaya. Yang paling gampang adalah dengan membeli air profil/tangki. Tapi membeli air bersih pun harus antri. Kadang-kadang antara hari pemesanan dan pemenuhan pesanan seringkali ada jeda yang cukup lama. Karena di “musim kering’ seperti ini semuanya antri mau beli air bersih.

Jadi wajar bila hari-hari ini kita selalu berhitung  dengan mendung dan angin—sesuatu  yang ditunggu-tunggu kehadirannya.  Ada nya drum, profil, ember-ember yang terbuka  di bawah talang air sebagai wadah yang sengaja kita siapkan untuk menampung air hujan yang turun manjadikan istilah memanen air hujan menjadi jamak di telinga.

Inilah kayaknya salah satu kasus memanen yang tidak perlu  menanam dulu.  …..Padahal  jamaknya untuk menuai sesuatu maka harus ada yang ditanam sebelumnya.   Panen padi setelah menyemai  padi. Di kasus yang lain walaupun kiasan tapi mirip juga :siapa menabur angin maka akan menuai badai.. Jadi menyemai dan menanam dulu, baru akan memanen hasilnya.

Sehingga menurut hemat saya istilah memanen air hujan agaknya  berlebihan.  Kita tidak punya peran dalam menurunkan hujan-walaupun di beberapa kasus ada hujan buatan. Tapi sesungguhnya  sangt kecil  atau  bahkan  hampir tidak pernah ikut andil  di dalamnya dalam penentuan siklus-siklusnya tadi. Dalam  perkembangan ilmu   ada banyak   upaya  menjaga ketersediaan  siklus air  seperti pembuatan biopori, upaya menjaga lingkungan /tanaman/hutan, tapi ternyata dalam “pemilihan”  lokasi hujan kita sama sekali berperan.

Jadi  menurutku yang agak  tepat kayaknya adalah ‘menadah” air hujan. Cuma istilah menadah/menampung terkesan hanya menunggu saja dan  cenderung  tidak “seksi”. Dalam memanen air hujan  di sini ada peran aktif untuk menahan air hujan yang datang supaya tidak lari begitu saja ke pembuangan  akhirnya yaitu laut.

Jadi walaupun berlebihan istilah  memanen air hujan  dianggap bisa mewakili sebuah upaya  untuk memanfaatkan sumber daya yang ada (air hujan) untuk sebesar-besar manfaat.

Ya istilah memanen air hujan dimana kita memanen tanpa menanam  menjadikan kita perlu “malu” untuk membuang- buang  sumber daya air yang ada. Karena ternyata kita semata-mata hanya menadahkan ‘tangan” saja. Menadah berarti kita hanya menunggu dan bergantung dengan kemurahan yang akan memberi. Kepada Sang Pembuat dan Pembagi  air  hujan saja  kita bergantung . Jadi marilah kita berhemat  air.!!

No comments: