Eco Campus & Eco House
Memasuki gerbang
sebuah kampus teknologi negeri di
Surabaya ini, mata dimanjakan dengan suasana hijau. Pohon-pohon dan rumput membuat mata menjadi rileks. adeem rasanya. ditambah lingkungan yang sangat bersih…makin
membuat nyaman yang luar biasa.
Masjidnya yang sangat bagus di desain terbuka. Di bagian bawah
sekat-sekat dindingnya terdiri dari ukiran kayu yang desainnya ada lubang-lubang di dalamnya. Aku
melihat jendela besar di lantai 2 dengan
kaca bening yang terbuka . Atapnya cukup tinggi dengan angin2 yang juga
terbuka. saat siang hari
Pencahayaan tidak perlu bantuan listrik.
Sinar mataharai sudah sangat memadai. Tanpa AC hanya kipas angin beberapa buah. untuk di atas
hanya sekitar 5 kipas besar kalau tidak salah. Aku lihat di bagian bawah
lebih banyak kipasnya. Demikian juga di
bagian WC dan tempat wudhu, pencahayaan
sudah sangat bagus tanpa lampu pada siang hari. Lagi-lagi pemakaian listrik bisa
jadi sangat irit.
Menurutku -
sebagai orang luar yang hanya sesekali lewat dan mampir di masjidnya
maka itu hanya sebagian kecil perwujudan eco campus dari kampus ITS. Ya ITS sendiri mengusung tagline Eco Campus. sesuatu yang menurutku sangat luar biasa. Terukur dan tangible.
Sebagai orang awam dalam hal lingkungan dan hal-hal terkait
di dalamnya aku sangat yakin bahwa visi besar bisa jadi akan membentuk karakter siapa
yang ada di dalamnya bahkan orang lewat
sekalipun –seperti aku -untuk menjadi lebih
ngeh dengan isu lingkungan yang ada.
Selama ini isu lingkungan
bagi orang awam seakan-akan menjadi sesuatu yang jauh di awang-awang.
Tidak membumi atau katakan kurang bisa dipahami. sehingga isu lingkungan belum
menyentuh banyak kalangan luas. Isu itu seolah-olah hanya milik sebagian orang
saja.
Dulu aku tahunya isu lingkungan hanya sampah , reboisasi (
sudah kenal sejak SD…he..he) dan penanaman pohon saja. Sebelum pertama datang ke Tarakan pernah sempat merekam (tepatnya memfoto) sampah yang
yang ada di lingkungan rumah. Ya saat itu aku kasih judul: sampah di
bawah rumah, sampah di bawah sekolah. karena sebagain rumah di pesisir adalah
rumah panggung maka bawahnya menjadi tempat tersangkutnya sampah yang di bawa
oleh air laut. Yang akhirnya menggunung dan menimbulkan pemandangan yang
menyedihkan. Saat itu aku mengikutkan foto-foto itu dalam sebuah pameran di Gedung Gadis seingatku. aku sendiri tidak datang saat itu…lucu ya…
Keprihatinan masalah sampah juga ‘menyerang’ saat aku ke
Tanjung Pasir dan Batu. Melalui jalan panjang akhirnya dilakukan gerakan
bersih2 lingkungan dan pantai bersama2 dengan mahasiswa akademi keperawatan
sama orang kelurahan setempat dengan dibantu warga sekitar. Saat itu mungkin sekitar 2005-2008.
Ternyata saat ada
pertemuan memang terungkap bahwa
sebagian penghuni pantai lebih memilih membuang sampah ke laut karena lebih
mudah. Toh akan tersapu ombak juga. jadi
sampah dalam sekejap akan hilang dari pandangan mata…he..he. memang iya
juga sih. Tapi ini berlaku bagi yang
rumahnya agak ke tenagah. sementara bagi
yang tepat di atas pantai maka
sampah-sampah itu suatu ketika akan dikirimkan oleh ombak ke situ dan akhirnya
nyangkut di sela-sela kayu log kalimanatan yang besar=besar. Nyangkut di
sela-sela tiang rumah/jembatan kayu. Dan pada ujungnya terlihat sangat kumuh.
Hal seperti inilah yang sampai sekarang ternyata masih juga
‘lestari’ di pemukiman yang di pantai. Hari ini bila kita masuk ke lingkungan
pemukiman pantai maka akan sangat
mengherankan bagi “orang-orang darat”. Sampah sudah menjadi teman akrab bagi
mereka. Maka lingkaran setan masalah kesehatan juga bisa dari sini. angka-angka
infeksi sangat tinggi .
Saat menjadi anggota
sebuah team dalam perubahan iklim di
kotaku sdh dalam perspektif yang lebih luas.
Dari situ aku berkenalan dengan isu lingkungan secara langsung. Isu
perubahan iklim memenag menjadi barang baru bagi kami orang kesehatan. Padahal
menurut penelitian bahwa perubahan iklim akan sangat berpengaruh pada banyak
aspek dan ujung-ujungnya pasti akan ke kesehatan sebagai hili dari semua aspek
kehidupan. kekeringan yang terlalu
panjang menyebabakan bahan pangan menurun dan ujung-ujungna masalah gizi dan
penyakit akan muncul. Begitu juga jika banjir besar muncul maka penyakit
musiman diare, penyakit kulit dan lain juga akan muncul. Khusus bagi kami yang hidup di pulau kecil
dimana sebagian besar warganya menampung air hujan untuk kegiatan sehari-harinya
maka DBD menjadi ancaman nyata. tentu saja hubungannya bahwa si nyamuk sebagai
vector tular DBD akan beranak pinak di situ.
keterlibatanku awalnya karena adanya TAD (topi Anti DBD ) yang aku gagas
bersama teman2 di P2P (program
pencegahan dan pengendalian Penyakit
) untuk merespon tingginya DBD di
tempatku. Ternyata hal sederhana (yang
awalnya coba-coba dan trial error) menjadi
barang menarik bagi sebuah lembaga donor untuk mengembangkannya lebih
lanjut. dan ini dianggap sebagai sebuah kegatan adaptasi bagi perubahan
iklim. Bahkan terakhir kabar dari
seorang di bagian kesehatan lingkungan kemenkes RI – yang disampaikan dalam
sebuah forum resmi di prov Kaltara-menyatakan
bahwa TAD sebagai keg iatan adapatasi
sudah ‘diakui’ dan didaftarkan ke lembaga yang katanya di bawah PBB yang
ngurusin tentang perubahan iklim. Entah lah….tidak terlalu jelas juga kabarnya.
Harapannya memang benar adanya bukan hanya akan menyenangkan aku sebagai
salah satu yang terlibat di dalamnya.
Dalam tataran pemikiran dan operasional isu-isu lingkungan sekarang
sudah lebih membumi . Juga lebih terstruktur. Alhamdulillah aku melihat
munculnya gerakn peduli sampah dan sebangsanya
yang didinisiasi oleh teman-teman di bagian lingkungan saat ini akan menyasar ke sana juga. Angan-angan
TAD ditandemkan dengan pengelolaan sampah karena akan memberi efek yang lebih baik mudahan-mudahan bisa menjadi
sebuah kenyataan, suatu saat nanti.
Menerapkan ramah lingkungan di tingkat rumah tangga menjadi
gampang-gampang sulit. Upaya memilah sampah dalam Rumah tangga juga menjadi
sesuatu yang bisa dikerjakan. Saat di Tarakan aku beberapa mengontak bapak pemulung yang akan membawa
kertas, botol, gelas bekas air mineral
yang sudah aku sisishkan. Namun
jujur seringkali juga terlewat artinya
aku campur saja antara sampah basah dan kering.
Malas biasa sebagai pengganggunya.
jangan ditiru ya !…sementara kalau di Surabaya aku melihat petugas
kebersihan juga sudah otomatis memilah sampah. memang ternyata benar bahwa
sampah masih memiliki nilai ekonomi yang cukup besar jika dikelola dengan baik.
Dulu pernah mencoba keranjang takakura di puskesmas. Tapi di rumah tangga masih belum juga. saat ini bila ada sisa
makanan yang sudah cenderung di buang maka aku langsung pendam di bawah pohon
di depan rumah…he..he
Yang masih sulit adalah mengurangi pemakaian plastic.
sekarang hamper semua toko menyediakan plastic untuk membawa belanjaan
pembeli. selama ini plastic menjadi
barang wajib yang harus ada. bahkan di pasar membeli 4 item barang di tempat
yang berbeda maka plastiknya juga 4.
Kalau aku meniadakan plastik sama sekali belum bisa. Tapi minimal plastic itu jangan sekali pakai
langsung buang. dimanfaatkan untuk yang lain dulu. Demikian juga kertas kalo
mau buang kadang harus dipakai di 2 sisi…Maka saat lihat ada petugas tata usaha
yang langsung meremas kertas dan membuangnya saat ada kesalahan ketik sedikit
maka aku juga merasa sayang……. yah kalo itu memang belum memikirkan before
printing, think wisely. Minimal
kertas atau Koran yang sudah tidak
dipakai bisa dikasihkanatau dijual ke pedagang pasar untuk mbungkus cabai…he..
Oh ya satu lagi jika anda sayang lingkungan maka jangan
cemari udara dengan asap rokok. he..he. Udara sudah sangat kotor,. jangan
menambahnya dengan asap rokok!!
jika Eco campus sudah ada, bisa diciptakan eco house kali
ya….. Maka selamat hari lingkungan seduania ya…
(Tri
Astuti Sugiyatmi 6 Juni 2018)
No comments:
Post a Comment