Wednesday, June 6, 2018

Eco Campus & Eco House


Eco Campus & Eco House
Memasuki  gerbang sebuah kampus teknologi negeri  di Surabaya ini, mata dimanjakan dengan suasana hijau. Pohon-pohon   dan rumput membuat mata menjadi  rileks. adeem rasanya. ditambah   lingkungan yang sangat bersih…makin membuat  nyaman yang luar biasa.
Masjidnya   yang sangat bagus  di desain terbuka. Di bagian bawah sekat-sekat dindingnya terdiri dari ukiran kayu yang  desainnya ada lubang-lubang di dalamnya. Aku melihat jendela besar di lantai 2 dengan  kaca  bening yang terbuka .  Atapnya cukup tinggi dengan angin2 yang juga terbuka.  saat siang hari Pencahayaan  tidak perlu bantuan listrik. Sinar mataharai   sudah sangat memadai.  Tanpa AC hanya kipas angin beberapa buah.  untuk di atas  hanya sekitar 5 kipas besar kalau tidak salah. Aku lihat di bagian bawah lebih banyak kipasnya.  Demikian juga di bagian WC dan tempat wudhu,  pencahayaan sudah sangat bagus tanpa lampu pada siang hari. Lagi-lagi pemakaian listrik bisa jadi sangat irit.
Menurutku  - sebagai  orang luar yang  hanya sesekali lewat dan mampir di masjidnya maka itu hanya sebagian kecil perwujudan eco campus dari kampus ITS.  Ya ITS sendiri mengusung tagline  Eco Campus. sesuatu yang menurutku  sangat luar biasa.  Terukur dan tangible.
Sebagai orang awam dalam hal lingkungan dan hal-hal terkait di dalamnya  aku  sangat yakin bahwa  visi besar bisa jadi akan membentuk karakter siapa yang ada di dalamnya   bahkan orang lewat sekalipun –seperti aku -untuk menjadi  lebih ngeh dengan isu lingkungan yang ada.
Selama ini isu lingkungan  bagi orang awam seakan-akan menjadi sesuatu yang jauh di awang-awang. Tidak membumi atau katakan kurang bisa dipahami. sehingga isu lingkungan belum menyentuh banyak kalangan luas. Isu itu seolah-olah hanya milik sebagian orang saja.
Dulu aku tahunya isu lingkungan hanya sampah , reboisasi ( sudah kenal sejak SD…he..he) dan penanaman pohon saja.  Sebelum pertama datang ke Tarakan  pernah sempat merekam  (tepatnya memfoto) sampah  yang  yang ada di lingkungan rumah. Ya saat itu aku kasih judul: sampah di bawah rumah, sampah di bawah sekolah. karena sebagain rumah di pesisir adalah rumah panggung maka bawahnya menjadi tempat tersangkutnya sampah yang di bawa oleh air laut. Yang akhirnya menggunung dan menimbulkan pemandangan yang menyedihkan. Saat itu aku mengikutkan foto-foto itu dalam sebuah  pameran di Gedung Gadis seingatku.  aku sendiri tidak datang saat itu…lucu ya…
Keprihatinan masalah sampah juga ‘menyerang’ saat aku ke Tanjung Pasir dan Batu. Melalui jalan panjang akhirnya dilakukan gerakan bersih2 lingkungan dan pantai bersama2 dengan mahasiswa akademi keperawatan sama orang kelurahan setempat dengan dibantu warga sekitar.  Saat itu mungkin sekitar 2005-2008.
Ternyata  saat ada pertemuan memang  terungkap bahwa sebagian penghuni pantai lebih memilih membuang sampah ke laut karena lebih mudah. Toh akan tersapu ombak juga. jadi  sampah dalam sekejap akan hilang dari pandangan mata…he..he. memang iya juga sih. Tapi ini  berlaku bagi yang rumahnya  agak ke tenagah. sementara bagi yang  tepat di atas pantai maka sampah-sampah itu suatu ketika akan dikirimkan oleh ombak ke situ dan akhirnya nyangkut di sela-sela kayu log kalimanatan yang besar=besar. Nyangkut di sela-sela tiang rumah/jembatan kayu. Dan pada ujungnya terlihat sangat kumuh.
Hal seperti inilah yang sampai sekarang ternyata masih juga ‘lestari’ di pemukiman yang di pantai. Hari ini bila kita masuk ke lingkungan pemukiman pantai  maka akan sangat mengherankan bagi “orang-orang darat”. Sampah sudah menjadi teman akrab bagi mereka. Maka lingkaran setan masalah kesehatan juga bisa dari sini. angka-angka infeksi sangat tinggi .   
Saat  menjadi anggota sebuah team dalam perubahan iklim  di kotaku sdh dalam perspektif yang lebih luas.   Dari situ aku berkenalan dengan isu lingkungan secara langsung. Isu perubahan iklim memenag menjadi barang baru bagi kami orang kesehatan. Padahal menurut penelitian bahwa perubahan iklim akan sangat berpengaruh pada banyak aspek dan ujung-ujungnya pasti akan ke kesehatan sebagai hili dari semua aspek kehidupan.  kekeringan yang terlalu panjang menyebabakan bahan pangan menurun dan ujung-ujungna masalah gizi dan penyakit akan muncul. Begitu juga jika banjir besar muncul maka penyakit musiman diare, penyakit kulit dan lain juga akan muncul.  Khusus bagi kami yang hidup di pulau kecil dimana sebagian besar warganya menampung air hujan untuk kegiatan sehari-harinya maka DBD menjadi ancaman nyata. tentu saja hubungannya bahwa si nyamuk sebagai vector tular DBD akan beranak pinak di situ.
keterlibatanku awalnya karena  adanya TAD (topi Anti DBD ) yang aku gagas bersama teman2 di P2P  (program pencegahan dan  pengendalian Penyakit )  untuk merespon tingginya DBD di tempatku.  Ternyata hal sederhana (yang awalnya coba-coba dan trial error) menjadi  barang menarik bagi sebuah lembaga donor untuk mengembangkannya lebih lanjut. dan ini dianggap sebagai sebuah kegatan adaptasi bagi perubahan iklim.  Bahkan terakhir kabar dari seorang di bagian kesehatan lingkungan kemenkes RI – yang disampaikan dalam sebuah forum resmi  di prov Kaltara-menyatakan bahwa TAD sebagai keg iatan adapatasi  sudah ‘diakui’ dan didaftarkan ke lembaga yang katanya di bawah PBB yang ngurusin tentang perubahan iklim. Entah lah….tidak terlalu jelas juga kabarnya. Harapannya memang benar adanya bukan hanya akan menyenangkan  aku sebagai   salah satu yang terlibat di dalamnya.
Dalam tataran pemikiran dan operasional  isu-isu lingkungan  sekarang  sudah lebih membumi . Juga lebih terstruktur. Alhamdulillah aku melihat munculnya gerakn peduli sampah dan sebangsanya   yang didinisiasi oleh teman-teman di bagian lingkungan saat ini  akan menyasar ke sana juga.  Angan-angan  TAD ditandemkan dengan pengelolaan sampah karena akan memberi efek  yang lebih baik mudahan-mudahan  bisa menjadi  sebuah kenyataan, suatu saat nanti.
Menerapkan ramah lingkungan di tingkat rumah tangga menjadi gampang-gampang sulit. Upaya memilah sampah dalam Rumah tangga juga menjadi sesuatu yang bisa dikerjakan. Saat di Tarakan aku beberapa  mengontak bapak pemulung yang akan membawa kertas, botol,  gelas bekas air mineral yang sudah aku sisishkan.  Namun jujur  seringkali juga terlewat artinya aku campur saja antara sampah basah dan kering.  Malas biasa sebagai pengganggunya.  jangan ditiru ya !…sementara kalau di Surabaya aku melihat petugas kebersihan juga sudah otomatis memilah sampah. memang ternyata benar bahwa sampah masih memiliki nilai ekonomi yang cukup besar jika dikelola dengan baik.  
Dulu pernah mencoba keranjang takakura di puskesmas. Tapi  di rumah tangga  masih belum juga. saat ini bila ada sisa makanan yang sudah cenderung di buang maka aku langsung pendam di bawah pohon di depan rumah…he..he
Yang masih sulit adalah mengurangi pemakaian plastic. sekarang hamper semua toko menyediakan plastic untuk membawa belanjaan pembeli.  selama ini plastic menjadi barang wajib yang harus ada. bahkan di pasar membeli 4 item barang di tempat yang berbeda  maka plastiknya juga 4. Kalau aku meniadakan plastik sama sekali belum bisa.  Tapi minimal plastic itu jangan sekali pakai langsung buang. dimanfaatkan untuk yang lain dulu. Demikian juga kertas kalo mau buang kadang harus dipakai di 2 sisi…Maka saat lihat ada petugas tata usaha yang langsung meremas kertas dan membuangnya saat ada kesalahan ketik sedikit maka aku juga merasa sayang……. yah kalo itu memang belum memikirkan before printing, think wisely.  Minimal kertas  atau Koran yang sudah tidak dipakai bisa dikasihkanatau dijual ke pedagang pasar untuk mbungkus cabai…he..
Oh ya satu lagi jika anda sayang lingkungan maka jangan cemari udara dengan asap rokok. he..he. Udara sudah sangat kotor,. jangan menambahnya dengan  asap rokok!!
jika Eco campus sudah ada, bisa diciptakan eco house kali ya….. Maka selamat hari lingkungan seduania ya…
                                                                                                                                (Tri Astuti Sugiyatmi  6 Juni 2018)

No comments: