Saturday, September 15, 2018

Saat Krisis Air Melanda


Saat sebelum adzan subuh berkumandang, kita sudah berburu air. Ya air. Dari tandon asrama Ekanita depan kamarku (kamar 17) untuk dipindah ke kamar mandi asrama di pojok kanan kiri bangunan asrama. . Saat air masih lancar mengalir maka kita maka kita hanyaa antri timbanya saja. Aku no 1, kemudian ada teriakan dari sisi kamar lain aku ….no 2…. Atau menyebut nama Tri ….no 3….dst…
Yah itu sekilas saat dulu selalu “berebut” air di tendon asrama. Saat pertama masuk asrama sebenarnya air sangat berlimpah. Saat itu karena sangat belimpah seringkali saat menyalakan pompa air seringkali tidak memperhatikan kapan air akan penuh di bak. Akibatnya air tumpah-tumpah…
Bisa jadi setelah dievaluasi pemakaian airnya yang tinggi sekali (kita nggak tahu persis sebenarnya) tapi setelah itu ada masa paceklik air. Tandon depan kamar yang ukurannya kira-kira 3 m X 3 m X 2 m seringkali masih penuh, dan saat itulah kita antri timba dan gledekan. Gledekan itu adalah papan yang disusun dengan di bawahnya ada rodanya dan diberikan tarikan atau dorongan dari kayu juga. Sedangkan ember maupun jambangan besar ditaruh diatas papan itu. Tapi gledekan hanya ada 4 untuk seluruh penghuni mahasiswa yang mencapai 60 orang. Jadi saat itu selain antri ember, antri gledekan juga di samping antri KM, WC dan semua sumber daya bersama yang dipakai ramai-ramai. Bila di India ada inovasi Water wheel akhir-akhir ini (membawa air dengan tabung berbentuk roda dengan dorongan yang dihubungkna dengan as dari tabung itu. Membawa air tidk perlu dengan meggendong pada punggung / pinggang maupun disunggi di atas kepalanya. Ya intinya sangat membantu masyarakat india saat mencari air di daerah pedesaan. Dengan gledekan kita anak asrama sudah sangat senang…. Setelah sering pompa arnya bermasalah.
Semakin lama supplay air makin berkurang. Kadang untuk anak sejumlah 60 orang itu, seringkali tendon hanya terisi separuhnya saja. Juga kadang pernah hanya 1/3 saja. Anak asrama tidak kekurangan akal. Jadi ada beberapa anak asrama yang ke kampus bawa handuk sama sabun…he..he. Seringkali juga pagi-pagi sudah ke masjid mau nunut mandi… Bahkan beberapa kali kita mandi di ring 1 sebuah kampus…yang sekarang sudah pindah. Itu masa lalu.
Bila sekarang beredar di WAG dan linimasa sebuah himbauan dari sebuah instansi pengolah air bahwa di kotaku – Tarakan sumber air baku mulai mengering , sehingga diharapkan masyarakat untuk menampung air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka aku sudah tidak terlalu kaget lagi. Air adalah sumber daya alam yang keberadaannya terbatas, walaupun memang ada siklus air yang jumlahnya dianggap tetap antara yang menguap dan yang turun ke bumi… (CMIIW). Tapi distribusinya dan pemanfaatannnya yang bisa jadi – saat jumlahnya cukup atau cenderung berlebih –seringkali menjadikan kita seringkali menyia-nyiakan.
Jadi ingat saat datang pertama ke Tarakan maka baru menyadari bahwa sumber air utama di rumah dinas puskesmas Mamburungan adalah air hujan. Bila lama nggak hujan baru nyari / beli air dari pedagang air. Sumur tidak ada. Tarakan itu kota minyak jadi beberapa tempat sumur itu airnya agak merah, mengandung besi katanya. Jadi bila dulu di daerah asal kalau memakai air tidak pernah berpikir suatu saat akan kehabisan maka di rumdin tadi bisa beraktifitas yang benyak menggunakan air saat hujan turun. Nyuci, ngepel, bersih2 biasanya dilakukan saat hujan turun. Tandon air yang berupa profil tank itu langsung terhubung dengan talang air. Karena tendon tidak seberapa besar maka Jam berapapun air hujan turun dengan segera akan memenuhi bak mandi, ember, atau apapun yang bisa dipakai untuk menampung air hujan itu. Seringkali tengah malam butapun kami akan langsung menghidupkan mesin cuci supaya air hujan yang turun bisa dmanfaatkan sebanyak banyaknya.
Sekarang di beberapa titik sudah ada saluran PDAM. Tapi meskipun demikian krena kota pulau yang relative sumber air baku dari sungai / embung sangat terbatas maka meskipun sudah ada saluran PDAM tetapi hamper semua rumah juga masih mempunyai tandon air yang cukup besar. Bahkan sebagaian tetap dari air hujan.
Air hujan walaupun dirasakan tidak keset saat dipakai mandi dengan air sabun namun itu tetap menjadi sumber air penting. Bahkan sebagian masyarakat juga minum ataupun memasak dari air hujan ini. Air hujan menjadi salah satu yang paling ditunggu saat semua sumber air “habis”.
Karena lebih dari seminggu tdak turun-didaerah dengan karakteristik pulau kecil memang bisa menjadi kemarau laiknya kemarau panjang di pulau Jawa misalnya. Embung dan sungai cepat mengering karena memang struktur tanahnya berpasir yang mana air mudah masuk maupun menguap ( wah yang ini nggak paham banget bagaimana mekanismenya sih…CMIIW)… Tapi akibat kemarau temporer itu yang menyebabkan tadi ada himbauan untuk menampung air….
Menjadi masalah saat menanmpung air tetapi karena sayang sama air akhirnya masyarakat tidak memperhatikan bagaimana penampungannya. Jadi memang penyakitnya saat menampung air adalah tidak menutupnya atau tidak mengurasnya. Yah seringkali komentarnya air aja sulit kok mau dikuras !
Yah memang ada kenyataan seperti itu. Jadi inilah pentingnya TAD (topi anti DBD)…lebay ya namanya ? he..he. Bukan topi di atas kepala tapi di atas kepala ember, profil tank, drum dll.. Maklum kalo di daerah ‘tadah hujan’ maka harapannya sewaktu-waktu hujan akan bisa turun tetap bisa tertampung. Tengah malam sekalipun. Dan TAD yang terbuat dari jarring halus tetap memungkinkan hujan memenuhi drum, ember dan profil tank yang dipasang dibawah talang air. TAD menjadi salah satu upaya menjaga air dari kotoran kasar dan halus. Seringkali talang penuh dengan berbagai kotoran misalnya dari rontokan daun-daun tanaman yang sudah membusuk, kadang kalo di areal pantai maka kotoran itu bisa jadi adalah bangkai tikus dan pernah bangkai kucing !!. Pada gilirannya TAD itu menjadi upaya untuk menjaga persediaan air yang sebisa mungkin juga bebas jentik-jentik nyamuk. Memang kadang sulit terjai karena kita juga masih buka tutup TADnya. Apalagi saat buka lupa pasang lagi (kebanyakan yang sering). TAD akan lebih efekif saat drumnya juga sdh didesain outletnya ada di bawah dengan kran air. TAD diharapkan juga akan mengatasi tingginya jentik pada daerah yang relative kesulitan air itu.
Sekarang di Surabaya, air cukup melimpah. Air hujan kadang tidak terlalu ditunggu kehadirannya secara langsung oleh bak-bak tampungan air besar penduduknya seperti laiknya di Tarakan. Namun kembali melihat kesulitan air bersih di kotaku maka jadi mikir air hujan di daerah ini seringkali ‘terbuang’ dan kurang dimanfaatkan. Dia akan meluncur dari saluran talang ke got-got, lalu sungai dan muaranya di laut.
Air hujan masih seringkali dianggap menjadi sumber banjir malah di beberapa pemukiman yang dekat dengan got-got besar. Depan perumahan juga seringkali saat musim hujan airnya sangat tinggi. Bahkan beberapa kali mobil pendek ataupun sepeda motor sangat kesulitan melewatinya karena tingginya air.
Ya mungkin di kota bisa jadi memang tidak butuh penampungan air hujan . Namun masih mungkin untuk ditahan jangan terlalu cepat larinya ke got-got. Mencoba memanfaatkan air hujan di daerah berlimpah air memang menjadi sesuatu yang tidak menemukan alasannya kecuali untuk menyiram tanaman. Butuh pemikiran bagaimana manfaat memanen air hujan ini. Bisa jadi menjadi salah satu sumber utama depo air bagi pemadam kebakaran. Tapi lagi-lagi memang butuh effort yang bisa jadi tidak seimbang dengan hasilnya. Mngkin para ahli –ahli saja yang bisa menjawab. Mungkin untuk kita ibu-ibu RT maka membuat lubang di halaman rumah kita yang bisa menjadi jalan air ke dalam tanah saat hujan turun tidak langsung meluncur ke got yang kata ahli adalah biopori (CMIIW ya....). Aku membayangkan suatu ketika daerah yang tadinya sumber air permukaannya berlimpah bisa jadi suatu ketika juga mengalami kemarau yang amat sangat panjang. Prediksi bahwa akan ada kemarau panjang dalam tahun-tahun mendatang dalam pikiranku menjadikan bahwa tetap harus ada gerakan penghematan pemanfaatan air di manapun.
Saat kemarau tahun ini (bila dulu pelajaran geografi dibilang april s.d oktober dalam setiap tahunnya), maka tanaman akan menjadi mengering dan berwarna kecoklatan. Di Surabaya yang sangat panas untuk menjaga rumput tetap hijau maka menyiram air ke rumput atau taman butuh minimal 2 kali sehari. Pagi –sore. Lagi-lagi mendengar dan membaca kotaku yang sedang krisis air maka aku kadang merasa sayang menyiramkan air bersih dari PDAM ke rumput. Aku kumpulkan air bekas cucian sayuran/ beras/ ikan / buah ntuk di disiram ke taman. Aku hitung setiap hari bisa ada sekitar 2 ember besar air sisa cucian itu. Tentu juga bukan air yang campur detergent ya. Kalau yang terakhir ya langsung buang aja sih.
Atau bisa juga buat kran wudhu di dekat taman, jadi air buangan wudhu juga bisa menjadi sumber air bagi tanaman. Oh ya sdh ada juga orang kreatif yang menghitung berapa air wudhu yang bisa ditampung dalam seharinya dan dimanfaaatkan untuk tadi siram-siram tanaman. Ada juga yang menampung juga air bekas buangan AC atau kulkas rumah tangga dan bisa juga dimanfaatkan untuk siram-siram tanaman.
Semua sumber daya adalah terbatas jumlahnya. Maka berhematlah baik di saat lapang dan apalagi saat krisis !!
(TAS, Surabaya, Medio September 2018)
Komentar
Iis Aisah Ahadyah Paceklik atau kekeringan juga melanda Kota Tarakan di sini entah kenapa hujan mulai jarang, padahal di sini tdk ada musim seperti di Jawa hujan kapan saja bisa datang dan pergi mengisi lumbung air kotaku, tetapi kini hujan mulai jarang embung2 pun mulai kering. Ya Alloh kalau kami bersalah pada alamMu dan tidak mengindahkan Lingkungan ciptaanMu ampuni kami...

No comments: