Tuesday, October 2, 2018

Menyikapi Bencana


Badanku rasanya terangkat dan kembali jatuh di kasur itu menjadikanku secara spontan berteriak “astaghfirullah hal adhiem” dan aku kemudian bangun dari posisi tidur dan pelan-pelan kesadaran itu hadir. Namun suasana sangat gelap karena listrik mati. Aku bergegas bangun dan teriak “gempa Yah”….aku sama suami berjalan meraba-raba dalam gelap dan membangunkan si sulung. Tapi dia dengan pulasnya tetap tertidur di kursi kesayangannya… Di luar orang juga agak ramai kelihatan pada terbangun karena kaget….Adiknya sedang ada acara kemah atau mabit di sekolahnya. Saat itu kalau tidak salah tahun 2015 awal, gempa 6,1 SR mengguncang Tarakan. Alhamdulillah saat itu gempa hanya berlangsung berapa detik. Tapi itu sudah membuat Tarakan – sebuah pulau kecil di Kalimantan bagian utara yang terpisah dengan pulau Kalimantan – cukup heboh. Karena pagi dan siang berikutnya gempa yang relative lebih kecil juga masih terjadi…Kepanikan melanda kami. Alhamdulillah saat itu di kantor kami Dinas Kesehatan sudah disepakati titik kumpul saat terjadi gempa. Jadi kalau nggak salah ingat beberapa kali kami lari-lari keluar gedung saat itu…. Dan masuk lagi dengan cemas….. begitu seterusnya sampai pelan-pelan gempa makin menjarang dan menghilang….
Melihat fenomena gempa di banyak tempat –walaupun hanya dari TV- : Lombok dan Palu dengan kekuatan yang jauuh lebih besar menjadikanku ‘de javu’. Apalagi gempa dan tsunami Aceh yang menjadi disaster terbesar, juga gempa Jogja dan Padang yang aku menemui bekas-bekasnya saja . Saat ke Padang tahun berapa –lupa- aku masih melihat bangunan-bangunan penting masih luluh lantak. Juga di Yogya saat melihat hotel sebelah Plaza besar masih rusak akibat gempa. Juga mantan korban gempa di Sewon Bantul.
Fenomena gempa di Palu diikuti tsunami dan bergeraknya tanah bahkan sampai amblesnya bangunan di atasnya dan akhirnya tertelan menjadikan imajinasiku melayang pada cerita “Doomsday” yang pernah kudengar dan yang pasti akan terjadi suatu ketika kelak. Kiamat. Membayangkannya tidak sanggup rasanya karena hari ini dipertontonkan situasi saat hanya sepetak bagian bumi di sebuah sudut Pulau Sulawesi – sebagai bagian tengah dari Indonesia yang dilanda guncangan dan guyuran air dengan kecepatan tinggi serta tanah yang bergerak. Andai suatu ketika hari itu datang maka kengerian tentu akan dari semua arah, dari udara benda-benda langit akan jatuh dan bertumbukan, gunung-gunung akan memuntahkan isinya dan semuanya yang sudah ada saat ini akan datang dengan lebih keras dan lebih lama.
Aku bayangkan gempa yang hanya sekian detik saja sudah meretakkkan bangunan –bangunan apalagi bila bermenit-menit. Bila yang 6,1 SR saja menjadikanku luar biasa kaget apalagi yang 7,7 SR yang sudah meluluhlantakkan Palu atau bahkan lebih besar daripada 8,0 ataupun 8,5…..
Menyikapi sebuah bencana memang akan kembali pada bagaimana background dan mindset seseorang. Tentu saja seorang ahli BMKG atau geologi akan memandang dari sisi keilmuannya. Walaupu tetap saja ada sesuatu yang tetap tidak bisa ditebak : kapan tepatnya gempa bumi akan datang di sebuah tempat ?
Penelitian, riset, kajian mendalam bahwa Negara kita di lokasi pertemuan patahan bumi maupun jalur gunung api (ring of fire) semestinya makin memberikan kewaspadaan yang sangat tinggi bahwa sewaktu-waktu bencana akan bisa datang kapan saja. Nah bila berpikir dengan pola ini semestinya kita –sebagai bangsa dan negara – semestinya tidak akan “terkaget-kaget” apalagi gagap terhadap bencana dan penanganannya. Jujur sebelum Tsunami Aceh tahun 2004 maka istilah tsunami nggak aku kenal. Terminology “tsunami” itu sendiri mulai aku kenal sejak sering disebut-sebut saat itu. Seperti Likuifaksi alias fenomena tanah bergerak yang menenggelamkan dan mengubur salah satu tempat di Palu yang baru aku kenal sekarang.
Bagi seorang lain menyikapi sebuah bencana tidak hanya cukup dengan ilmu pengetahuan saja. Tetapi juga melibatkan semua unsur yang menyempurnakannya kita sebagai manusia. Hati, perasaan serta agama masing-masing…
Banyak sekali postingan ayat-ayat yang isinya tentang gempa atau musibah di dunia. Aku rasa ini adalah sesuatu yang sangat positif, sebagai upaya untuk saling berbagi ilmu dan mengingatkan dari sisi lain. Insyaallah tidak ada yang salah. Bahkan makin memperluas cakrawala kita. Betapa manusia memang tidak ada apa-apanya dibandingkan kekuasaan sang Pencipta Alam ini. Rumah-rumah mewah dengan pilar-pilar besar roboh bahkan bisa jadi menimbun tuannya di dalamnya. Mobil-mobil sebagian juga terbawa arus dan tertimbun lumpur. Barang-barang mewahnya juga rusak semua. Bahkan surat berharganyapun bisa jadi ikut terhempas air atau lumpur. Kalaupun masih ada maka kata seorang relawan --- BPN alias Badan Pertanahan Nasional_ akan kesulitan mendeteksinya karena ada pergeseran lokasi tanah yang selama ini tidak pernah terbayangkan…..
Memaknai bencana dengan sudut pandang iman juga aku yakini akan lebih mempersiapkan kesabaran yang luar biasa dalam menghadapinya. Bahwa memang hidup itu selalu berputar rodanya…. Bahwa ada masa sehat dan masa sakit, ada saat lapang dan sempit, ada saat aman dan bencana, ada saat bahagia dan sedih dst…dst…
Saat gempa di Palu juga maka rasanya kepalaku ikut bergoyang-goyang dan berputar-putar. Pusing dalam arti sebenarnya. Diawali dengan beberapa kejadian sebelumnya maka sangat lengkap ‘penderitaanku’. Namun melihat kasus di Palu menyadarkanku bahwa ada banyak hal diluar sana yang membuat aku harus selalu merasa bersyukur dan bersyukur selalu….. dan tentu saja juga bersabar atas nikmat pusingnya…
Apalagi saat kehadiran 2 keluarga yang selalu mensupport kami. Terimakasih atas semuanya….Hanya Allah swt sajalah yang bisa membalasnya… aamiin YRA.
Makin lengkap saat ada 2 tamuku yang lain datang. Yang 1 untuk bersih-bersih dan pijat-pijat. Satunya dari sebuah vendor aplikasi online dan satunya dari rekomendasi keluarga. Kedua tamuku mempunyai pola pandang yang sangat luar biasa terkait bencana dan kondisi harian-sebagai bahan perbincanganku dengan mereka berdua pada dua kesempatan yang berbeda.
Satu ibu muda dengan 2 anaknya yang menjadi single parent dan mengambil alih tanggung jawab keluarga dan rumah tangganya.. aku melihat sebuah kesungguhan di sana. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan tangkas, cekatan dan gembira. Walaupun aku menangkap kelelahan di matanya tapi ada harapan besar dalam semua upayanya. Dia hanya berharap pada rejeki yang baik-baik dan tidak macam-macam atau halal bagi kita umat Muslim. Aku kagum dengan sikap dan prinsipnya itu…
Satu lagi dengan ibu sudah 50 tahunan seorang single parent yang survive dengan membuka pijat, catering atau apa saja untuk membiayai 1 anaknya yang kuliah di sebuah fakultas teknik universitas swasta di Surabaya. Lagi-lagi aku belajar darinya bahwa cita-cita hidup mulia dengan menyekolahkan anaknya sampai setinggi mungkin (bahkan bercita-cita mau menyekolahkan sampai S2 nantinya) adalah sebuah upaya “seharusnya “ seorang ibu kepada anaknya adalah prinsipnya…
Beliau banyak bercerita juga tentang mencari nafkah yang tidak merugikan yang lain. Beliau sempat menyontohkan ada beberapa keluarganya yang kerjanya jualan minum-minum alcohol –sesuatu yang dianggap oleh ibu itu menjadi sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Satu hal kesamaan dengan tamuku siang sebelumnya adalah keduanya berprinsip bahwa mencari nafkah itu harus yang baik, tidak macam-macam, tidak merugikan, tidak criminal dll. Intinya Halal….
Jika situasi rumah tangga 2 tamuku yang terakhir bisa dibilang tidak menyenangkan atau bagi sebagian orang dianggap menjadi bencana, maka saya hanya bisa kagum dengan mereka yang menyikapi bencana dengan imannya (walaupun keduanya non muslim), dengan ketawakalannya dan kesungguhannya. Mereka berhasil melewati hari-harinya dengan kesulitan yang membelitnya dengan tetap menjaga harga diri. Sungguh luar biasa.
Namun hari ini sungguh aku menjadi speechless saat aku membaca & melihat tayangan yang dianggap sebagai “penjarahan” alias mengambil yang bukan haknya di Palu- sebuah kebalikan dari ‘ilmu’ dari kedua teman baruku tadi. Memang menjadi sesuatu karena bagi sebagian orang dianggap biasa saja karena sudah dikeluarkan “kebijakan “ yang arahnya ke sana. Namun menjadi sangat aneh saat semua yang bukan barang pokok juga menjadi sasaran…. TV, ban, emas ( betulkah? Saya juga tidak tahu pasti . Tapi begitulah dari media). Sesuatu yang samar-samar memang harus sangat hati-hati saat disampaikannya. Karena ternyata dampaknya bisa jadi diluar dari prediksi dan ekspektasi awal. Saya tidak mau masuk dalam pro kontra itu.
Sebagai orang awam saya hanya berharap suatu ketika kajian berlembar-lembar tentang bencana di Negara kita akan diturunkan dan diterjemahkan juga dalam dokumen-dokumen yang sifatnya lebih operasional di lapangan. Disaster Management. Sehingga potensi bencana alam menjadi lebih terpetakan dan semua perangkat lebih siap. Ini memang bukan barang yang mudah untuk dikerjakan. Tapi aku yakin bisa. Kita sudah pernah membuktikannya. Di Aceh. Padang, Jogja….
Jika itu terjadi maka saat bencana alam mengancam , harapannya semua korban bencana mendapatkan haknya secara adil. Bila bencana tidak membuat kita makin menyadari keterbatasan kita bahkan justru merampas nilai-nilai kemanusiaan kita maka hal apalagikah yang akan terjadi yang sanggup menggerakan hati kita? Kita semua berharap catatan tentang “penjarahan” hendaknya diakhiri saja. Semua bertobat dan memohon ampun. Termasuk kita orang yang diluar area bencana. Untuk lebih mendorong kita bahwa bantuan kita insyaallah akan ikut menjaga kehormatan mereka sebagai manusia. Pilihannya hanya hidup mulia atau mati dengan terhormat (died with dignity).
#nasehatuntukdirisendiri ( Sby, 1 Okt 2018)

No comments: