Wednesday, January 30, 2019

Rokok, Cicilan Hutang dan Keselamatan Berkendara


Siang ini saat menunggu di lampu merah di sampingku ada seorang pengemudi ojek on lain yang menyalakan sebatang rokok dengan koreknya saat menunggu lampu untuk menjadi hijau. Posisi persis di sebelah kananku menjadikan aku memperhatikan dari balik jendela. DIa begitu menikmatinya… sedot… terus tiup….sedot lagi…tiup lagii… dst… Begitu lampu menjadi hijau dia bergegas melajukan mototrnya di depanku. Sepanjang jalan dia menyedot rokoknya dengan “sangat menjiwai”. Aku melihat dari asapnya yang menyeruak dan membumbung tinggi di atas helm hijaunya. Entah apakah si pengemudi sedang senang mendapat banyak penumpang bahkan bonusnya atau sebaliknya sedang gundah, karena sepi penumpang. Yang jelas apapun suasana hatinya maka rokok itu sudah “mencuri” isi kantongnya. 
Tentang hilangnya isi kantong karena rokok ada cerita tersendiri. Berkali-kali saat naik taksi on line ini biasanya cerita ke sana kemari. Rata-rata tentang jumlah penumpang hariannya, jumlah bonus, pekerjaan asli/sampingan saja dan cicilan mobilnya. 
Beberapa kali aku naik taksi on line dengan aroma menyengat rokok. Aroma yang sangat mengganggu penumpang pernah aku tanyakan sama pengemudi. Ada satu dua pengemudi yang mengaku memang dia yang merokok, jadi baunya terbawa di dalam mobilnya. BIsa dari asap yang menyeruak masuk lewat jendela saat si sopir istirahat sambil meroko atau memang menempel di bajunya. 
Beberapa kali memang si sopir mengaku bhwa itu ulah penumpangnya yang tidak mau tahu bahwa di dalam mobil ber AC pun dia maksa untuk merokok. Akibatnya penumpang yang belakangan kena imbasnya. Rata-rata pengemudi enggan menegur karena menganggap penumpangnya sebagai raja yang harus dipenuhi semua kemauannya. Aku sarankan: tempel saja stiker pak/mas di mobil…. Tapi rata-rata yang kusarankan begitu hanya senyum atau diam saja… 
Pada suatu waktu saat aku ‘wawancarai” dari mereka mengaku bahwa ada yang akhirnya mobilnya ditarik leasing lagi. Saat tidak sanggup membayar cicilan. Nah memang beragam alasan yang tidak bisa membayar cicilan. Ada yang bilang pendapatan menurun karena mobilnya makin lama makin banyak sementara jumah penumpang makin sepi karena satu dan lain hal. Satu yang mengenaskan adalah ada yang ditarik karena gaya hidup pengendaranya menjadi “jor-joran”. Menurut salah satu sopir rata-rata kalo mereka menunggu penumpang sambil kongkow dengan teman lainnya di warung kopi. Rata-rata sambil rokokan. Walaupun bagi sebagian pengendara taksi on line pengeluaran rokok dianggap masih cukup kecil tapi sejatinya itu yang bisa jadi berkontribusi pada ketidakmampuan membayar cicilan mobil yang berakibat ditariknya mobil. Ya mungkin memang akumulasi pengeluaran yang besar pasak daripada tiang. Memang banyak komponen pengeluaran , tapi intinya biaya untuk beli rokoknya harian sebenarnya sangatlah besar jika dikalkulasi dengan baik. Aku ajak pak Sopir untuk berhitung besaran uang yang dibuang untuk membeli rokok. Bila rokok 10.000 /per pak maka jika habisnya 1 bungkus per hari maka uang yang dibakar sebesar Rp. 10.000,- dalam sehari. Tentu saja jumlahnya akan semakiin bertambah sesuai berapa konsumsi batang rokoknya dalam sehari. Berapa yang dikeluarkan jika diakumulasikan sebulan…. 2 bulan dan seterusnya. Jumah yang sebenarnya bisa untuk membayar cicilan apa saja. Bukan hanya taksinya –lepas dari masalah RIBA lho ya- tapi juga yang lain rumah, perabot rumah tangga dll
Ya ….kampanye rokok kelihatannya tidak bisa didekati hanya dari perpektif kesehatan saja tetapi bisa jadi langsung mengena saat ditinjau dari ekonomi. Saat kondisi ekonomi semakin sulit maka salah satu cara berhemat secara paten adalah dengan mengurangi pengeluaran pada suatu hal yang tidak perlu, termasuk rokok. 
Setelah lepas dari lampu merah maka saat sudah di belokan maka aku kembali melihat sopir truk yang berjalan pelan namun agak di tengah. Tangan kanannya terjulur keluar dengan tetap menjepit rokok di antara jari ke -2 dan ke -3. Huh…aku melihat sopirnya nggk konsentrasi mneyetir. Buktinya jalannya sangat pelan tapi memilih lajur yang tengah. Biasanya lajur pelan ada di sebelah kiri. 
Beberapa kali aku juga melihat sopir-sopir begini di jalan tol. Saat dibutuhkan konsentrasi tinggi karena kecepatan yang diambil biasanya cukup tinggi maka merokok saat berkendara sangatlah riskan. Kecelakaan megintai sewaktu-waktu,
Perilaku merokok sata berkendara memang cukup buruk. Bila selama ini lengah dan tidak tertib berkendara merupakan pemicu terbesar kecelakaan di Indonesia sementara tercatat 280-an kecelakaan per hari yang merenggut 70-an nyawa per hari (Kompas 22/12/2017), maka merokok bisa jadi lengahnya pengemudi karena tidak berkonsentrsi . 
Sebuah penelitian di Jogja pada November 2010 yang dilakukan oleh Sahabudin dkk, ditemukan bahwa variabel merokok sambil berkendara tidak mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian kecelakaan lalu lintas namun merupakan faktor risiko terhadap kejadian Kecelakaan lalu lintas itu sendiri. Aku mengamati bahwa pada orang yang merokok akan cenderung melamun… walaupun saat tidak mengemudi sekalipun. Sehingga memang perhatian ke sekitar sangat menurun
Bila KLL sering terjadi karena 3 faktor yaitu faktor pengemudi, jalan dan kendaraan maka artinya perilaku merokok sambil berkendara sudah menjadi Faktor risiko terjadi KLL karena faktor pengemudi. 
Bila selama ini saat ada KLL selalu dicurigai apakah si sopir mabuk / dalam pengaruh alcohol atau tidak . Bila dalam pengaruh zat adiktif itu maka menjadi kesalahan besar yang akan memperberat hukuman. Tapi dalam kasus perilaku merokok saat berkendara memang masih dalam sebatas ‘keprihatinan’ saja. Belum menjadi isu kesehatan masyarakat yang cukup penting sebagai di Turki seperti dikemukakan oleh Connie Hoe, MSW, PhD seorang Assistant Scientist, dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health ( pembelajaran dari Tobacco Control and Road Safety di Turki di FKM UNiversitas Airlangga 25 Januari lalu). Ya usul saja sama petugas yang berwenang saat ada KLL, ada satu pertanyaan yang diajukan apakah sambil merokok ? Namanya usul kan boleh saja toh....?
(TAS-Surabaya, 28 Januari 2019)

No comments: