Tuesday, January 15, 2019

DAYA RUSAK & AKAR MASALAH PROSTITUSI (ON LINE)



·       Tri Astuti Sugiyatmi
Diungkapnya kasus prostitusi on line artis berinisial  VA  dan AS di Surabaya- Jawa Timur mengundang keprihatinann sendiri. Sebenarnya  modus jualan tubuh yang diiklankan melalui media dalam jaringan    ini   bukan yang  pertama terungkap ke publik. Pada tahun 2015, prostitusi  on line artis juga sudah terungkap dan sudah ada yang ditangkap.   Ternyata bukan hanya artis pelakunya, yang menyedihkan prostitusi  jenis ini  juga ‘menjual’  pelajar dan mahasiswa seperti kejadian  di Jogja pada tahun 2017.
Sebenarnya kata on line yang mengikuti kata prostitusi  itu   berasal dari kata on dan line, on artinya hidup, line artinya saluran.Pengertian online adalah keadaan komputer yang terkoneksi/ terhubung ke jaringan Internet untuk  dapat mengakses internet/ melalui kegiatan browsing yang  bearti mencari informasi  di internet.  Saat ini promosi artis / pelajar/mahasiswa yang  “nyambi”  menawarkan kemolekan    tubuhnya   juga  bisa diakses di situs tertentu di internet atau  di  sosial media  yang tentu juga berbasis internet baik facebook, Twitter, telegram, WA.
Jika awalnya  kegiatan prostitusi  dibagi  berdasarkan status terdaftar  yaitu yang di lokalisasi  atau tidak  terdaftar  yaitu pada bangunan yang sebenarnya  bukan peruntukan pada kegiatan transaksi  seksual namun menyediakan wanita penghibur (yang sering disebut sebagai ladies)  yang dapat ‘ditawar’ juga laiknya pelacur di lokalisasi. Yang sering menyediakan kegiatan prostitusi terselubung  yang tidak terlokalisir seperti itu  biasanya  di  tempat hiburan malam  seperti  di hotel,  penginapan,   panti pijat,  karaoke, billyard  dan berbagai tempat lainnya.  Terdaftar dan tidak terdatar juga bisa dianggap legal dan illegal menurut kacamata Negara. Legal dalam arti bahwa keberadaannya diketahui oleh pemerintah setempat dan sebaliknya. Walaupun secara hukum agama manapun maka kedua jenis ini  tidak berbeda alias sama buruknya.
Dengan kemunculan prostitusi  jenis ini , maka  menurut penulis dapat ditambahkan  klasifikasi  baru yang berdasarkan  cara promosi atau pemasarannya yaitu on line dan off line.  Istilah off line sebagai kebalikan dari on line  adapat diartikan  bahwa pemasarannya    terputus atau tidak terhubung dengan jaringan internet.  Prostitusi ini jenis ini biasanya bersifat menetap tempatnya  pada Lokalisasi atau rumah bordil.  Namun bisa jadi dengan perkembangan gadget canggih yang sudah menjadi keseharian para PSK (pekerja seks komersial) maka kombinasi dari 2 hal tersebut  juga sangat mungkin terjadi.
Jika di akhir tahun 2018 beberapa Pemda- sesuai target Kemensos RI- sedang berjuang keras untuk mengembalikan para pelacur ke tengah keluarganya  dengan membubarkan lokalisasi maka terungkapnya prostitusi  jenis ini menjadikan program mulia ini  menjadi  seolah –olah menjadi  tidak ada artinya. Hal ini terjadi karena  daya rusak isu ini saat ini yang bila ditakar sangatlah   hebat.
Daya Rusak                                
Selama ini  menurut sepengetahuan penulis  memang belum ada penelitian  mendalam yang arahnya ke prostitusi on line.  Namun  melihat betapa  luasnya  jangkauan  internet di negara kita  dan besarnya pemakai media sosialnya maka  hampir dapat dipastikan bahwa  pemasaran prostitusi  melalui media  ini juga bisa jadi  akan mengikuti  polanya.  Jika penetrasi internet bisa dikatakan   menembus batas ruang, jarak dan waktu  (terus menerus) maka pemasaran prostitusi on line  juga demikian adanya. Bahwa ‘jualan’ ini bisa dilihat dari pojok bumi manapun sepanjang ada jaringan. 
Tentu saja “keunggulan’ dari yang on line dibanding off line adalah promosi bisa  berjalan secara total dan habis-habisan. Bagian-bagian yang diidentifikasi paling diminati oleh  konsumen dapat dengan detail tergambar  atau tershoot (gambar bergerak) secara jelas, bukan hanya sekedar wajah saja.
Berbeda dengan lokalisasi yang untuk  sekedar melihat wajah dan sosoknya  harus mendekat secara fisik ke lokasi dan ini  dianggap “berbahaya”  untuk kalangan tertentu seperti public figure misalnya, karena akan mudah teridentifikasi sosoknya  oleh orang lain. Itupun kalau mau melihat hanya lewat jendela kaca seperti layaknya melihat barang pajangan di sebuah toko. Hal itu yang dulu  tergambar di beberapa di  rumah bordil di kawasan gang  Dolly- lokalisasi yang cukup legendaris di Surabaya-yang sekarang sudah ditutup.  Tambahan informasi  hanya bisa  didapat melalui  mucikari atau penghubungnya. Itupun
Pada yang pemasaran on line  maka  produk yang ditawarkan  atau si artis  bisa  terpampang dengan detail dalam waktu 24 jam non stop. Sementara pada yang konvensional maka jika matahari sudah terbit alias sudah beranjak pagi maka  keriuhan “pasar” malam hari  itu juga seketika akan menurun.
Jika  pada yang off line para konsumen  atau katakan lelaki hidung belangnya  biasanya adalah para pekerja biasa-biasa  yang domisilinya   relative tidak  jauh dari lokasi. Walaupun dalam kasus tertentu adalah para lelaki kesepian yang sedang ‘transit’ di sebuah kota yang  jauh  dari  keluarganya.  Pada yang on line  kebanyakan  penikmatnya adalah kalangan berduit –mengingat mahalnya tariff -  antara  lokasi wanita  PSK   sebagai ‘pemberi jasa’ dan lelaki hidung belang sebagai konsumen  bisa jadi  sangat dekat atau bahkan sangat jauh maupun diantara keduanya.  Namun  khusus  pada  penikmat promosi PSK on line  bisa jadi sangat lebar rentang umur dan latar belakangnya.
Maka akan sangat beralasan bila  dibandingkan  dengan  prostitusi  off line yang   mempengaruhi  banyak hal  “hanya”  dalam skala lokal, maka prostitusi on line  - menurut hemat penulis- bisa jadi  lebih luas  dalam skala  nasional, regional bahkan global (bila  berupa sindikat perdagangan antar manusia antar Negara).
Hal-hal seperti di atas  kemungkinan   juga sudah terjadi juga sejak tahun –tahun pertama diungkapnya prostitusi dalam jaringan. Namun pada tahun ini menjadi cukup heboh karena ada beberapa isu yag mengiringinya. Isu artis VA  oleh   beberapa orang pada akhirnya dipakai sebagai  bahan olok-olok pada lembaga pernikahan  dan keluarga.  Sesuatu yang  oleh masyarakat timur sangat diagungkan.  Awalnya seorang netizen remaja yang mem-posting bahwa  value atau nilai diri seorang VA  yang dikaitkan dengan  nama merek produk  yang  terkenal mahal   dianggap  lebih  berkelas   daripada kedudukan istri – dari  sebuah rumah tangga/ keluarga normal.   Bayaran  seorang  VA yang fantastis yaitu 80 juta “sekali main” vs “bayaran” seorang istri yang hanya 10 juta per bulan  untuk memainkan berbagai peran seperti  koki, babby sitter ataupun pembantu untuk merujuk tugas istri sekaligus ibu rumahtangga tentu saja   memantik reaksi keras  sebagian besar netizen yang menganggap perandingan yang  tidak apple to apple. Apalagi  dalam  beberapa  tanggapan/komen yang muncul berikutnya  disebutkan bahwa seperangkat alat shalat  -  sebagai mahar dalam pernikahan dalam Islam- serta sejumlah rupiah  saja sudah mengikat seseorang istri/ibu  melakukan tugas  sekitar dapur, sumur serta kasur dalam seumur hidupnya.    Sesuatu yang  penulis anggap sebagai daya rusak yang tertinggi karena sudah menyentuh wilayah paling sensitive bagi wanita yang menjadikan  ketulusan pengabdian dalam menjalankan peran sebagai istri bagi suami serta  ibu bagi anak-anaknya    diusik secara serampangan.  
Walaupun pada akhirnya diklarifikasi bahwa postingan tersebut  adalah upaya  supaya tidak hanya menyorot perempuan  saja saat ada kasus prostitusi,  namun  pemilihan diksi yang kurang tepat mengakibatkan  diolok-oloknya ajaran agama yang semestinya menjadi dihormati adalah sebuah blunder bagi si pengunggah.
Akar Masalah
Menurut hemat penulis,  ini  menjadi blessing in disguise. Ada semacam berkah di dalam musibah. Bahwa  ternyata  kasus ini  dapat mengungkap dan  memetakan   pola pikir kebanyakan dari   remaja  kita.  Adalah apa yang bisa jadi menjadi akar masalah dari semuanya adalah  adanya pola pikir  hedonism yang hanya  berkutat pada kesenangan  dan kenikmatan materi  sebagai tujuan utama dalam hidupnya.    Bersenang-senang,   berpesta pora dan hura-hura dengan menghamburkan materi menjadi  gaya nya sehari-hari.   
Bahkan pada saat dalam kondisi kekurangan  materi  pada keluarganya -pun  seringkali para penganutnya  akan mencari  biaya sendiri sebagai penopang gaya hidupnya  dengan cara  main seks bebas  dengan  imbalan sedikit uang   dari para  om-om  (pada  beberapa kasus pelajar dan  ‘ayam  kampus’). Hal ini  juga sebagai cerminan  dari pola pikir pragmatism dimana  sisi praktis  atas hasil akhir dengan mengabaikan nilai moral yang ada sudah sangat menggejala di kalangan masyarakat.
Memang  hedonism serta pragmatism bukan hanya monopoli  si cewek  namun juga pada lelaki hidung belang sekaligus mucikarinya.  Namun mendiskusikan semacam sudut pandang   yang  hanya mengagungkan  kekayaan serta kebendaan  dan cenderung mengabaikan nilai rohani  (materialism ) sebagai akar dari  prostitusi menjadikan  beberapa pihak  menuding   bahwa   hal  itu  adalah nyinyiran dari  orang yang disebutnya   merasa lebih suci daripada para pelacur tadi.   Suatu pendapat yang seolah membela secara membabi buta pada VA.
Menurut hemat penulis memang banyak sekali cerita dibalik  sebuah prostitusi.  Namun intinya adalah ada yang terpaksa (dalam tekanan) dan secara suka rela. Namun bukan berarti bahwa empati kita menjadikan  kita menafikan suara hati nurani kita.  Diskursus  tentang hal –hal yang menjadi akar masalah prostitusi on line juga cukup penting.  Tentu saja tidak bisa wacana-wacana didiskusikan dengan  saling  mengolok, mencibir atau menegasikan satu sama lain seperti  “kebiasaan baru” para netizen.  Namun diharapkan  bahwa ini akan memperkaya  pemikiran, ide-ide serta gambaran yang kemudian bisa jadi akan  membangun sebuah  konsep  budaya baru bagaimana sikap terbaik  dalam  menghadapi  goncangan akibat  apapun.   Kesimpulannya bahwa  hal  ini  dibutuhkan untuk menjadi bekal   membesarkan para generasi milenial  untuk menyongsong masa depannya dengan cemerlang.  Bukan sebaliknya menyongsong masa depan dengan meriang akibat perilakunya sendiri di masa kini.


No comments: