·
Tri
Astuti Sugiyatmi
Diungkapnya kasus prostitusi on line artis berinisial VA dan
AS di Surabaya- Jawa Timur mengundang keprihatinann sendiri. Sebenarnya modus jualan tubuh yang diiklankan melalui
media dalam jaringan ini bukan yang
pertama terungkap ke publik. Pada tahun 2015, prostitusi on line
artis juga sudah terungkap dan sudah ada yang ditangkap. Ternyata bukan hanya artis pelakunya, yang
menyedihkan prostitusi jenis ini juga ‘menjual’
pelajar dan mahasiswa seperti kejadian di Jogja pada tahun 2017.
Sebenarnya kata on line yang mengikuti kata
prostitusi itu berasal dari kata on dan line, on artinya
hidup, line artinya saluran.Pengertian online
adalah keadaan komputer yang terkoneksi/ terhubung ke jaringan Internet
untuk dapat mengakses internet/ melalui
kegiatan browsing yang bearti mencari informasi di internet.
Saat ini promosi artis / pelajar/mahasiswa yang “nyambi”
menawarkan kemolekan
tubuhnya juga bisa diakses di situs tertentu di internet
atau di
sosial media yang tentu juga
berbasis internet baik facebook, Twitter, telegram, WA.
Jika awalnya kegiatan prostitusi dibagi
berdasarkan status terdaftar
yaitu yang di lokalisasi atau
tidak terdaftar yaitu pada bangunan yang sebenarnya bukan peruntukan pada kegiatan transaksi seksual namun menyediakan wanita penghibur (yang
sering disebut sebagai ladies) yang dapat ‘ditawar’ juga laiknya pelacur di
lokalisasi. Yang sering menyediakan kegiatan prostitusi terselubung yang tidak terlokalisir seperti itu biasanya
di tempat hiburan malam seperti
di hotel, penginapan, panti pijat,
karaoke, billyard dan berbagai
tempat lainnya. Terdaftar dan tidak
terdatar juga bisa dianggap legal dan illegal menurut kacamata Negara. Legal
dalam arti bahwa keberadaannya diketahui oleh pemerintah setempat dan
sebaliknya. Walaupun secara hukum agama manapun maka kedua jenis ini tidak berbeda alias sama buruknya.
Dengan kemunculan prostitusi jenis ini , maka menurut penulis dapat ditambahkan klasifikasi
baru yang berdasarkan cara
promosi atau pemasarannya yaitu on line
dan off line. Istilah off
line sebagai kebalikan dari on line adapat diartikan bahwa pemasarannya terputus atau tidak terhubung dengan jaringan
internet. Prostitusi ini jenis ini
biasanya bersifat menetap tempatnya pada
Lokalisasi atau rumah bordil. Namun bisa
jadi dengan perkembangan gadget canggih yang sudah menjadi keseharian para PSK
(pekerja seks komersial) maka kombinasi dari 2 hal tersebut juga sangat mungkin terjadi.
Jika di akhir tahun 2018 beberapa
Pemda- sesuai target Kemensos RI- sedang berjuang keras untuk mengembalikan
para pelacur ke tengah keluarganya
dengan membubarkan lokalisasi maka terungkapnya prostitusi jenis ini menjadikan program mulia ini menjadi
seolah –olah menjadi tidak ada
artinya. Hal ini terjadi karena daya
rusak isu ini saat ini yang bila ditakar sangatlah hebat.
Daya Rusak
Selama ini menurut sepengetahuan penulis memang belum ada penelitian mendalam yang arahnya ke prostitusi on line. Namun
melihat betapa luasnya jangkauan internet di negara kita dan besarnya pemakai media sosialnya maka hampir dapat dipastikan bahwa pemasaran prostitusi melalui media ini juga bisa jadi akan mengikuti polanya.
Jika penetrasi internet bisa dikatakan
menembus batas ruang, jarak dan
waktu (terus menerus) maka pemasaran
prostitusi on line juga demikian adanya.
Bahwa ‘jualan’ ini bisa dilihat dari pojok bumi manapun sepanjang ada
jaringan.
Tentu saja “keunggulan’ dari yang
on line dibanding off line adalah promosi bisa
berjalan secara total dan habis-habisan. Bagian-bagian yang diidentifikasi
paling diminati oleh konsumen dapat
dengan detail tergambar atau tershoot (gambar
bergerak) secara jelas, bukan hanya sekedar wajah saja.
Berbeda dengan lokalisasi yang
untuk sekedar melihat wajah dan
sosoknya harus mendekat secara fisik ke
lokasi dan ini dianggap “berbahaya” untuk kalangan tertentu seperti public figure misalnya, karena akan
mudah teridentifikasi sosoknya oleh
orang lain. Itupun kalau mau melihat hanya lewat jendela kaca seperti layaknya
melihat barang pajangan di sebuah toko. Hal itu yang dulu tergambar di beberapa di rumah bordil di kawasan gang Dolly- lokalisasi yang cukup legendaris di
Surabaya-yang sekarang sudah ditutup.
Tambahan informasi hanya bisa didapat melalui mucikari atau penghubungnya. Itupun
Pada yang pemasaran on line
maka produk yang ditawarkan atau si artis
bisa terpampang dengan detail
dalam waktu 24 jam non stop. Sementara pada yang konvensional maka jika
matahari sudah terbit alias sudah beranjak pagi maka keriuhan “pasar” malam hari itu juga seketika akan menurun.
Jika pada yang off
line para konsumen atau katakan
lelaki hidung belangnya biasanya adalah
para pekerja biasa-biasa yang
domisilinya relative tidak jauh dari lokasi. Walaupun dalam kasus
tertentu adalah para lelaki kesepian yang sedang ‘transit’ di sebuah kota
yang jauh dari
keluarganya. Pada yang on line kebanyakan
penikmatnya adalah kalangan berduit –mengingat mahalnya tariff - antara
lokasi wanita PSK sebagai ‘pemberi jasa’ dan lelaki hidung
belang sebagai konsumen bisa jadi sangat dekat atau bahkan sangat jauh maupun
diantara keduanya. Namun khusus
pada penikmat promosi PSK on line bisa jadi sangat lebar rentang umur dan latar
belakangnya.
Maka akan sangat beralasan bila dibandingkan dengan prostitusi off line
yang mempengaruhi
banyak hal “hanya” dalam skala lokal, maka prostitusi on line
- menurut hemat penulis- bisa jadi lebih luas dalam skala nasional, regional bahkan global (bila berupa sindikat perdagangan antar manusia
antar Negara).
Hal-hal seperti di atas kemungkinan
juga sudah terjadi juga sejak tahun –tahun pertama diungkapnya
prostitusi dalam jaringan. Namun pada tahun ini menjadi cukup heboh karena ada
beberapa isu yag mengiringinya. Isu artis VA
oleh beberapa orang pada
akhirnya dipakai sebagai bahan olok-olok
pada lembaga pernikahan dan keluarga. Sesuatu yang
oleh masyarakat timur sangat diagungkan. Awalnya seorang netizen remaja yang mem-posting
bahwa value atau nilai diri seorang VA
yang dikaitkan dengan nama merek
produk yang terkenal mahal dianggap
lebih berkelas daripada kedudukan istri – dari sebuah rumah tangga/ keluarga normal. Bayaran seorang
VA yang fantastis yaitu 80 juta “sekali main” vs “bayaran” seorang istri
yang hanya 10 juta per bulan untuk
memainkan berbagai peran seperti koki, babby sitter ataupun pembantu untuk
merujuk tugas istri sekaligus ibu rumahtangga tentu saja memantik
reaksi keras sebagian besar netizen yang
menganggap perandingan yang tidak apple to apple. Apalagi dalam
beberapa tanggapan/komen yang muncul
berikutnya disebutkan bahwa seperangkat
alat shalat - sebagai mahar dalam pernikahan dalam Islam-
serta sejumlah rupiah saja sudah
mengikat seseorang istri/ibu melakukan
tugas sekitar dapur, sumur serta kasur
dalam seumur hidupnya. Sesuatu yang
penulis anggap sebagai daya rusak yang tertinggi karena sudah menyentuh
wilayah paling sensitive bagi wanita yang menjadikan ketulusan pengabdian dalam menjalankan peran
sebagai istri bagi suami serta ibu bagi
anak-anaknya diusik secara serampangan.
Walaupun pada akhirnya
diklarifikasi bahwa postingan tersebut
adalah upaya supaya tidak hanya
menyorot perempuan saja saat ada kasus
prostitusi, namun pemilihan diksi yang kurang tepat
mengakibatkan diolok-oloknya ajaran
agama yang semestinya menjadi dihormati adalah sebuah blunder bagi si
pengunggah.
Akar Masalah
Menurut hemat penulis, ini
menjadi blessing in disguise.
Ada semacam berkah di dalam musibah. Bahwa
ternyata kasus ini dapat mengungkap dan memetakan
pola pikir kebanyakan dari remaja
kita. Adalah apa yang bisa jadi
menjadi akar masalah dari semuanya adalah
adanya pola pikir hedonism yang
hanya berkutat pada kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidupnya. Bersenang-senang, berpesta pora dan hura-hura dengan
menghamburkan materi menjadi gaya nya
sehari-hari.
Bahkan pada saat dalam kondisi
kekurangan materi pada keluarganya -pun seringkali para penganutnya akan mencari
biaya sendiri sebagai penopang gaya hidupnya dengan cara main seks bebas dengan
imbalan sedikit uang dari para
om-om (pada beberapa kasus pelajar dan ‘ayam
kampus’). Hal ini juga sebagai
cerminan dari pola pikir pragmatism
dimana sisi praktis atas hasil akhir dengan mengabaikan nilai
moral yang ada sudah sangat menggejala di kalangan masyarakat.
Memang hedonism serta pragmatism bukan hanya
monopoli si cewek namun juga pada lelaki hidung belang sekaligus
mucikarinya. Namun mendiskusikan semacam
sudut pandang yang hanya mengagungkan kekayaan serta kebendaan dan cenderung mengabaikan nilai rohani (materialism ) sebagai akar dari prostitusi menjadikan beberapa pihak menuding
bahwa hal itu
adalah nyinyiran dari orang yang
disebutnya merasa lebih suci daripada
para pelacur tadi. Suatu pendapat yang seolah membela secara
membabi buta pada VA.
Menurut hemat penulis memang
banyak sekali cerita dibalik sebuah
prostitusi. Namun intinya adalah ada
yang terpaksa (dalam tekanan) dan secara suka rela. Namun bukan berarti bahwa
empati kita menjadikan kita menafikan
suara hati nurani kita. Diskursus tentang hal –hal yang menjadi akar masalah
prostitusi on line juga cukup
penting. Tentu saja tidak bisa
wacana-wacana didiskusikan dengan
saling mengolok, mencibir atau
menegasikan satu sama lain seperti
“kebiasaan baru” para netizen. Namun
diharapkan bahwa ini akan
memperkaya pemikiran, ide-ide serta
gambaran yang kemudian bisa jadi akan membangun sebuah konsep
budaya baru bagaimana sikap terbaik
dalam menghadapi goncangan akibat apapun.
Kesimpulannya bahwa hal ini
dibutuhkan untuk menjadi bekal
membesarkan para generasi milenial
untuk menyongsong masa depannya dengan cemerlang. Bukan sebaliknya menyongsong masa depan
dengan meriang akibat perilakunya
sendiri di masa kini.
No comments:
Post a Comment