Wednesday, May 29, 2019

Jelang Hari Anti Tembakau Sedunia, 31 Mei 2019 Menitipkan Agenda Pengendalian Tembakau Menjadi Komitmen Presiden /Wapres Terpilih


Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi*
Dalam beberapa waktu ini kejadian terkait dengan perilaku merokok menjadi viral. Yang pertama adalah sikap melawan seorang siswa SMP swasta di Gresik pada gurunya akibat ditegur saat merokok. Tak berselang lama ada berita yang tidak kalah menyedihkan dari kota Blitar kala seorang suami tega membunuh istrinya dan anaknya di depan keluarga lainnya karena dilarang beli rokok sebelumnya. Kebetulan keduanya terjadi di Jawa Timur. Sesungguhnya masih banyak sekali perilaku merokok yang terkait dengan sopan santun, etika, disiplin bahkan hukum tetapi kedua kasus di atas cukup menjadikan kita semakin paham bahwa permasalahan terkait rokok tidaklah sederhana.
Kebijakan Setengah Hati
Kebijakan pengendalian tembakau yang sering disingkat sebagai TC (tobacco control) selama ini menjadi kebijakan setengah hati. Bukan hanya pada pemerintahan saat ini tetapi juga jauh sebelumnya. Selama ini pertimbangan rokok menjadi sumber pendapatan negara lewat cukai dan menyediakan lapangan kerja seolah menjadi pembenar kenaikan produksi rokok yang awalnya 260 Miliar batang pada tahun 2015 menjadi 400 miliar-500 batang sampai 2019. Dengan asumsi bila semua produksi itu hanya dipasarkan di dalam negeri maka pada saat itu – menurut hitungan pakar- bayi baru lahir pun seakan sudah dipaksa untuk menghisap rokok sebanyak 2000 batang !. Bila negara lain memproteksi rakyatnya dari bahaya asap rokok maka Indonesia justru membiarkan rakyatnya untuk menjadi pasar paling menggiurkan bagi industri rokok dari dalam maupun luar negeri.
Mungkin kita-kita hanya bisa mengelus dada disuguhi cerita-cerita memilukan dari berbagai kenakalan remaja yang sudah kadung kecanduan zat yang mengandung 4000 jenis racun ini. Video viral ini rasanya untuk yang kesekian kalinya dengan pelaku anak-anak di bawah umur atau usia sekolah. Bahkan baby smoker alias perokok yang usianya 2 tahun juga rekornya ada di Negara kita. Perokok muda (5-14 tahun) mengalami kenaikan yang sangat signifikan dari 9,6 % pada 1995 menjadi 19,2 % pada 2010.
Keinginan mulai mencoba rokok bagi anak-anak bisa jadi karena menariknya berbagai iklan yang terpasang di jalan utama kota-kota besar maupun di pojok-pojok warung dekat sekolah. Penempatan rokok diberbagai supermarket/ minimarket pada lokasi yang sangat premium, yaitu di bagian depan dan mudah terlihat menjadikan “virus” rokok makin mengganas. Didukung pula penjualan rokok yang sangat bebas tanpa mengenal batas umur. Seorang anak bisa membeli satu batang – dua batang dengan harga yang terjangkau karena masih diperkenankannya penjualan secara eceran.
Dengan melihat kenyataan ini maka ke depan tantangan untuk mendidik anak –anak generasi milenial akan semakin besar. Perilaku merokok yang seringkali menjadi “uji coba” pertama sebelum beranjak pada zat-zat lain yang lebih berbahaya, maka dapat dipastikan jika tanpa pengaturan yang lebih baik bisa jadi akan menjadi pintu masuk kepada kecanduan miras bahkan narkoba. Peredaran vape/vapour atau rokok elektrik yang digembar-gemborkan lebih aman daripada rokok konvensional, ternyata juga bisa dicampur dengan bahan-bahan yang mengandung zat berbahaya yang tergolong narkoba. Maka anak-anak sekarang yang akan menjadi pemuda pada 2030- an saat bonus demografi seharusnya dituai namun justru bisa menjadi beban dan bencana bila sudah terpapar rokok atau zat berbahaya sejak dini.
Lain lagi pada perokok dewasa, walaupun perilaku merokok dianggap menjadi sebuah pilihan namun kenyataannya bahwa bila sudah kecanduan maka akan sangat sulit untuk menghentikannya, seperti kasus Bapak di Blitar tadi. Biasanya para perokok ini berhenti saat terserang penyakit degenaratif kronis seperti kanker, jantung, stroke, gagal ginjal, kencing manis, tekanan darah tinggi dll. Yang jelas para pecandu akan menghabiskan sedemikian banyak uangnya untuk dibakar, termasuk yang miskin sekalipun. Urusan rokok menjadi no 2 terpenting setelah bahan pangan pokok (jenis padi-padian). Urusan seperti pendidikan dan kesehatan sama sekali tidak menjadi prioritas. Apalagi mereka berpikir toh sebagai orang miskin untuk urusan sakit sudah ditanggung oleh BPJSK melalui program penerima bantuan iuran (PBI). Padahal kenyataannya bila sudah terlanjur sakit maka akan masih sangat membutuhkan biaya lain yang cukup besar.
Di sisi lain, BPJS Kesehatan kabarnya mengeluarkan dana yang cukup besar yaitu mencapai 33 % untuk membiayai penyakit akibat rokok yang trendnya terus naik itu. Akibat ikutannya akan menjadi sangat panjang karena menyangkut tersendatnya biaya operasional RS maupun ditariknya beberapa obat tertentu dan makin ketatnya tindakan yang dianggap berbiaya tinggi.
Namun informasi tersebut menjadi tertutupi atau memang sengaja dikaburkan saat pajak rokok dipakai untuk menambal defisit BPJSK pasca ditandatanganinya Permenkes no 53 tahun 2017. Banyak pegiat tobacco industry (TI) yang salah paham, gagal paham atau pura-pura tidak paham saat memanfaatkan momentum yang ada untuk “menghantam” program TC. Pengenaan pajak rokok sebagai penerapan sin tax law (yang dikenal dengan “pajak dosa”) sebagai salah satu upaya untuk pengendalian peredaran barang legal berbahaya ini justru dibalik menjadi bahan olok-olok.
Akibatnya sampai sekarang terkait usulan kenaikan cukai rokok sebagai instrument pengendalian yang digagas oleh pegiat TC, - yang akan dibebankan pada konsumen melalui kenaikan harga rokok - malah ditentang oleh para kalangan TI.
Menurut hemat penulis, carut marut dalam pengendalian produk tembakau tetap tidak akan pernah selesai bila penangannnya menjadi sektoral. Penerapan Kawasan Tanpa Rokok di sebagian kecil Pemerintah Kota/ Daerah menjadi bukti bahwa komitmen-lah yang paling penting dari pucuk pimpinan tertinggi.
Usulan
Seperti kita ketahui sampai sekarang Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) yang disuarakan banyak kalangan yang akan menjadi dasar untuk pengendalian tembakau beserta turunannya (termasuk rokok) sampai sekarang masih mengambang. Indonesia menjadi satu-satunya Negara di kawasan Asia Pacifik yang belum meratifikasi dan menandatanganinya.
Terminologi FCTC menjadi amanat yang secara eksplisit tercantum dalam Rencana Strategis Kementrian Kesehatan (Kemenkes) 2015-2019. Tentu saja dokumen itu juga turunan dari visi misi seorang presiden - yang kebetulan ini menjadi tahun terakhir -yang menjadi acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan visi misi pembangunan dalam bidang kesehatan.
Memang akan menjadi berat saat FCTC seolah hanya urusan kementrian kesehatan semata. Karena sesungguhnya urusan pengendalian tembakau adalah urusan lintas departemen. Namun sesungguhnya bila hal itu dibiarkan mengambang seperti saat ini maka “harga yang harus dibayar” jauh melebihi rupiah yang diberikan .
Menurut hemat penulis hal - hal ini akan menjadi sebuah isu pengendalian tembakau yang cukup menarik yang sangat relevan dengan kondisi saat ini. Selain itu, isu pengendalian tembakau memang sudah saatnya dibahas oleh calon pucuk pimpinan tertinggi Negara yaitu capres /cawapres saat debat maupun presiden terpilih pasca sidang sengketa pemilu nantinya. Akankah urusan pengendalian tembakau juga menjadi salah satu komitmen para calon pemimpin Negara kita untuk periode berikutnya ?
*Tri Astuti Sugiyatmi

No comments: