Thursday, May 21, 2020

Membaca dan Menulis di Masa Pandemi



Membaca dan Menulis di Masa Pandemi
Pandemi itu sesuatu yang baru. Sangat baru. Wajar terjadinya 100 tahun sekali. Membaca dan menulisnya menjadi sebuah keharusan.
Membaca adalah perintah pertama dalam Al-Quran. Membaca sesuatu yang tersurat akan memperkaya wawasan dan memperluas cakrawala. "Membaca" yang tersirat akan membuat semakin bijak.
Dalam masa pandemi maka bacaan ringan juga berat seperti jurnal, chapter buku, buku dan semua ilmu berserak- serak. Rata-rata bahkan tak berbayar.
Bahkan yang menakjubkan, kita dengan background kesehatan dengan mudahnya bisa mengakses kajian dari chapter buku dari bidang lain, baik psikologi, ekonomi, sosial dan lainnya. Demikian juga sebaliknya istilah kedokteran dan kesehatan sudah sangat bisa diucapkan oleh ekonom, sosiolog, aparat keamanan, ahli hukum dan bahkan politisi.
Memang yang akhirnya banyak diakses dalam kajian memang bukan hanya buku. Karena buku bisa jadi menjadi pencapaian penulisan yang sangat tinggi dan butuh waktu sangat panjang dalam persiapannya. Apalagi sebagai sebagai topik baru maka yang terjadi orang baru menulis section atau chapter tertentu dalam jurnal.
Bila buku dalam masa tanpa sebelum pandemi sudah "tersingkirkan "oleh banyaknya media yang lebih menarik yang bisa bergerak dan bersuara. Dalam situasi pandemi bisa jadi nasibnya kurang lebih saja dengan sebelumnya.
Tapi sebenarnya dalam masa pandemi dimana relatif banyak waktu untuk diri sendiri maka bagusnya kegiatan terkait buku baik membacanya atau mungkin juga menulisnya menjadi salah satu tantangan menarik.
Membaca -bukan hanya buku-menjadikan kita seolah juga merasakan ketegangan di dalam ruang isolasi saat yang menuliskannya adalah seorang pasien yang sedang dirawat. Demikian juga saat kita membaca cerita para nakes yang kepanasan dalam baju hazmat yang berlapis-lapis, maka kita seolah juga ikut merasakan.
Membaca juga menjadikan kita punya relatif lebih baik dan komprehensif . Minimal kita kan punya pembanding daripada mikir sendirian. Kalau ada lebih dari satu maka berarti ada second opinion. Dalam masa yang penuh ketidakpastian ini maka ada satu hal dengan tinjauan dari berbagai jenis ilmu. Bahkan kadang ada beberapa teori yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini kita akan mempertimbangkan dan ujungnya memutuskan mana yang mau diikuti. Dalam hal ini tetap -kata guru - harus kritis, dengan tidak mengesampingkan logika.
Membaca menyediakan ruang untuk berdialog dengan diri sendiri, Dengannya maka sering memunculkan keberpihakan kita. Dimana posisi akan berlabuh. di sebelah kanan atau kiri.
Seringkali ada sesuatu yang mengharuskan kita harus memilih. tentu tetap harus ada ilmu sebelum memutuskan. Supaya bukan hal mentah yang kita yakini sudah ditelaah, tetapi dengan setengah-setengah.
Untuk mengikat sebuah makna maka harus dengan menuliskannya.
Menulis akan meninggalkan jejak. suatu waktu bisa akan menjadi sejarah. Minimal untuk diri sendiri dan keluarga.
Pandemi terlalu sayang untuk dilewatkan. Membacanya dan menuliskannya kembali berdasarkan sudut pandang kita sebagai seorang Ibu rumah tangga misalnya bisa menjadi kenangan suatu hari nanti. Syukur-syukur bisa menjadi sebuah bundelan kertas yang dijilid.
Selamat hari buku nasional ...3 hari lalu.

No comments: