Pandemi adalah situasi yang tidak normal. Datangnya aja 100 tahun an sekal maka semua hal memang menjadi istimewa. Namun banyak yang gagap saat menanggapinya. Dari sini pandemi pada akhirnya memilih dan memilah leader yang sebenarnya. Pandemi menguji kesiapan, kemampuan dan ketahanan pada semua level. Mulai individu, organisasi, sampai negara.
Seorang leader semestinya memiliki kemampuan leadership mengelola isu pandemi dengan cermat.
Sayangnya seringkali aroma lain ikut tercium. Saat keputusan semestinya diambil berdasarkan bukti yang ada. Namun sayang dalam hal ini banyak keputusannya bukan berdasarkan rekomendasi dari ahlinya.
Sebenarnya itu yang menyebabkan rasa "frustasi" banyak tenaga medis. Terlalu premature keputusan yang diambil.
Oke lah... kita kan hanya rakyat yang hanya bisa menyuarakan keprihatinan dengan suara lirih.
Tidak lepas dari itu, maka akhirnya banyak yang abai bahkan sangat abai. Cenderung meremehkan. Apalagi yang bicara demikian adalah seorang yang punya pengikut banyak.
Seorang influencer. Seorang yang akan meng- influence atau mempengaruhi pola pikir dan ujungnya perilaku para yang mengidolakannya. Influencer di medsos - sementara saat wfh ini semua akhirnya larinya juga ke dunia maya. Maka omongannya sedikit banyak akan mempengaruhi pemikiran satu dua orang yang memang sudah bosan untuk tinggal di rumah saja.
Sebenarnya inilah yang ditakutkan. Saat para pemegang kebijakan terlalu " grusa grusu" maka efek dominonya yang akhirnya akan saling "getok tular" dan ujungnya akan menggerakan dan merobohkan kartu atau apapun yang dilewati oleh kelerang yang dipantik dari ujung papan.
Maka ujungnya adalah ada para nakes dan RS yang sudah mulai kewalahan. Sebenarnya bukan mulai tapi sudah sedang dan akan. Entah sampai kapan.
Akhirnya pertimbangan kesehatan menjadi yang terakhir dipertimbangkan
Padahal ini adalah darurat kesehatan maayarakat.
Jika melihat warga dunia sudah mulai melakukan pelonggaran memang rasanya iri. Tapi mereka masuk dalam pembatasan memang lebih dulu. Wajar bila mereka leoas lebih dulu. Bila kita dalam suasana "nggege mongso" alias belum saatnya maka di bawah itu seperti seorang influencer yang akhirnya minta maaf karena sudah memberikan edukasi negatif terkait pemakaian masker dan cuci tangan - sesuatu yang sudah susah payah dibangun dari awal pandemi.
Seharusnya dia meminta maaf juga dalam situasi yang sama seperti saat dia memberikan info yang misleading itu. Permintaan maaf saat ada salah- salah sebut di surat kabar sebelumnya misalnya. Maka permintaan maaf itu juga harus sebesar saat pertama diunggah. Supaya adil. Yang terjadi banyak permohonan maaf hanya sekedarnya sehingga orang yang sudah kadung percaya tidak mendengar ralatnya.
Masyarakat sudah kadung ambyaar.... euforia. Semestinya pelonggaran pun - bila sudah memungkinkan- harus disikapi secara hati - hati. Jangan seperti melakukan selebrasi kemenangan seorang pelari di ujung finish. Namun kelengahan itu akhirnya yang harus dibayar dengan mahal, saat ternyata pelari lain tiba- tiba melesat kilat melampaui dirinya.
Itu pembelajaran pada sebuah video yang ada di Youtube.
Kekalahan yang berasal dari sebuah kelengahan. Sesuatu yang aku bayangkan akan diratapi secara terus menerus, bila itu terjadi. Saat itu waktu sudah tidak bisa diputar lagi.
Saatnya ayo masing- masing kuatkan diri. New normal sudah digaungkan. Tapi mari buat penyesuaian contigency plan untuk diri sendiri saja. Tetap berusaha untuk selalu positif. Bismillah..
No comments:
Post a Comment